Share

Langkah Viki Selanjutnya

Lalu bagaimana dengan Viki? Semenjak bertengkar hebat dengan Pras kala itu, Arum tidak pernah lagi berkomunikasi dengannya. Viki terus menerus telpon dan mengirim pesan, tapi Arum tidak pernah merespon. Bahkan untuk bertemu di kantor pun mereka hampir tak pernah, karena Arum selalu berhasil menghindar. Tentu saja Viki mendengar kabar bahwa Arum sudah bercerai dari gosip-gosip karyawan lain, tapi dia belum yakin selama Arum belum menceritakan semua padanya.

Empat bulan lalu, saat Viki sedang merokok di jam istiharat mereka.

"Aku pengen ngomong serius nih sebagai cowok sama cowok!" Agus mendekat pada Viki yang terlihat sedang asyik dengan batang rokoknya.

"Apaan sih? Sok serius banget!" kata Viki tanpa tahu apa yang terjadi.

"Kamu tahu enggak kalo Arum tuh lagi proses cerai sama suaminya?" Selidik Agus yang merupakan biang gosip paling tenar seantero kantor.

"Hah! Serius?" Viki tentu saja terkejut.

"Sok kaget segala sih! Kan kamu lagi deket sama Arum belakangan ini. Masa enggak tau kalo Arum mau cerai?" Agus masih sangat penasaran.

"Aku beneran enggak ngerti! Ya tahu ini juga dari kamu barusan," ujar Viki jujur.

Agus mencoba meneliti wajah Viki. Memastikan tidak ada kebohongan disana. Tampaknya memang Viki tidak tahu mengenai kabar itu.

"Padahal aku baru mau minta kamu tanggung jawab!" kata Agus santai.

"Lah hubungannya apaan? Kenapa aku yang tanggung jawab?" tanya Viki bingung.

"Lah gimana. Kan mereka cerai karena kamu katanya! Kamu beneran enggak ngerti apa-apa?" Agus bicara lagi.

"Gosip banget kamu ya! Kabar aja baru denger sekarang, kok bisa-bisanya aku jadi dibilang pebinor!" Viki mulai emosi.

"Ya masalahnya kedekatan kalian itu udah jadi rahasia umum, Bro. Kayanya semua orang di kantor ini juga tau deh kalo kamu sama Arum deket belakangan. Otomatis ya pas Arum cerai ya wajar lah kalo mereka pikir itu karena kamu! Makanya kamu juga sih emang suka aja cari perkara. Udah tau Arum punya suami, masih aja kamu pepet terus!" Agus menutup pembicaraannya.

Viki jadi berpikir malam itu di kamar kosnya. Kamar sederhana ala anak kos laki-laki yang tidak terlalu rapi, tapi cukup nyaman juga. Membaringkan tubuhnya dengan satu tangan menyangga di belakang kepalanya di atas ranjang berukuran minimalis dengan kasur yang mulai menipis busanya. Dia jadi tahu alasannya kenapa Arum tidak lagi membalas pesan atau mengangkat teleponnya.

Pantes aja dia gak pernah bales chat aku lagi. Ternyata lagi proses cerai sama suaminya. Dan apa beneran itu karena aku? Kalau iya ya aku harus minta maaf sama dia.

Viki akui, dia tertarik dengan Arum. Sikap jujurnya juga dewasa itu tentu wajah manisnya menarik baginya. Sebagai laki-laki normal, ada keinginan dalam dirinya untuk memiliki Arum seutuhnya. Tentu saja dia sadar posisi karena wanita itu memang sudah bersuami. Namun kini karena dia tahu mengenai perceraian Arum, rasa bersalah menghantuinya. Viki sama sekali memang tidak pernah bermaksud merusak rumah tangga siapapun.

Sejak saat itu memang Viki selalu berusaha menghubungi Arum dengan lebih keras, hingga saat ini walau sudah berlalu empat bulan lamanya dari perbincangannya bersama Agus saat itu. Arum selalu mengabaikannya, tapi dia tak pernah lelah mencoba. Andai Viki tahu di mana rumah Arum, mungkin dia sudah datang dan memaksa untuk bicara. Maksud hatinya, tentu saja minta maaf dan paling tidak bisa sedikit menghibur hati Arum yang pasti sedang gundah gulana.

Di lain sisi, Arum memang butuh waktu sendiri. Dia memang tak sepenuhnya menyalahkan Viki. Hanya saja berhubungan dengannya tentu saja malah serasa membuka luka lama. Mengingat lagi perpisahannya dengan Pras. Arum yakin Viki pasti sudah mengetahuinya sekarang. Berita mengenai perceraiannya berkembang cepat ke seluruh kantor. Arum juga yakin Viki jadi merasa bertanggungjawab. Itu kenapa dia terus menghubunginya tanpa henti. Arum jelas tidak butuh dikasihani seperti itu. Dia akan mampu menanganinya sendiri. Itulah pikirnya.

Hingga suatu malam. Setelah Viki mengomentari W******p story Arum yang hanya menampilkan menu makan malamnya. Berselang beberapa menit ponselnya berbunyi. Sebuah pesan balasan dari Arum.

Arum : Kamu enggak capek w* aku terus?

Viki : Kamu kenapa enggak pernah balas w* aku?

Arum   : Aku yakin kamu pasti udah denger di kantor.

Viki      : Sorry ya. Tapi apa bener karena aku?

Arum   : Ya gimana ya. Bener gak bener sih.

Viki      : Gimana maksudnya?

Arum   : Ya dia emang ceraiin aku karena cemburu sama kamu.

Viki      : Cemburu sama aku? Kok bisa?

Arum   : Ya dia liat riwayat panggilan aku.

Viki      : Astaga. Aku bener2 minta maaf.

Arum   : Udah lewat. Enggak perlu dibahas lagi. Lagian emang sebelumnya hubungan aku sama dia emang udah enggak baik-baik aja.

Viki      : Ya tetep aja aku minta maaf. Gimanapun nama aku udah kebawa soalnya.

Arum   : Iya iya udah santai aja. Semua juga udah kejadian. Gak ada yang perlu dimaafin juga.

Viki      : Terus kondisi kamu sekarang gimana?

Arum   : Ya udah jauh lebih mending sih.

Viki      : Baguslah kalo gitu. Btw, masa idah kamu udah habis belum sih?

Arum   : Gak tau ya. Iya mungkin. Aku gak pernah ngitung. Kenapa nanyain masa idah segala?

Viki      : Ya gak apa2 sih. Cuman pengen mulai usaha aja.

Arum   : Usaha apa?

Viki      : Ya usaha biar bisa beneran jadi suami kamu. Hehehe.

Arum   : Kamu tuh ya! Gak ada hubungan aja kita jadi bahan gosip sekantor. Apalagi kalo ada hubungan. Nanti mereka pikir kamu beneran pebinor.

Viki      : Justru itu Arum. Karena udah ada gosip kamu ada hubungan sama aku ya sekalian aja kan dijadiin. Jadi jatohnya mereka gak fitnah. Karena kita bener2 ada hubungan. Lumayan kan kita bisa ngurangin dosa. Hehehe.

Arum   : Wow, sebuah pemikiran yang antimainstream. Sumpah gila kamu tuh ya Vik! Banyak2in istighfar sana!

Arum mulai bisa tersenyum lagi. Viki memang semenyenangkan itu. Rekan-rekannya di kantor juga banyak menghiburnya. Walau tidak ada satupun dari mereka yang berani menanyakan mengenai perceraiannya, tapi dia yakin mereka semua sudah tahu. Dia juga tidak ada kewajiban untuk menjelaskan apapun. Cepat atau lambat semuanya toh juga akan lupa. Ibunya pun dirumah lebih sering menemaninya. Biasanya malam hari saat pulang kerja sang ibu sudah tidur di kamarnya. Sekarang tidak, beliau masih terjaga bahkan kadang menemaninya makan malam, kadang malah menonton sinetron bersamanya. Walau akhirnya Arum yang kasihan dan memintanya berlaku biasa saja.

Pras? Tentu dia akan terkadang merindukannya. Sedikit menangis tapi dengan segera menghapus air matanya. Sudah tidak tahu bagaimana kabarnya kecuali postingannya di medsos yang kadang menjadi pelipur lara. Sejauh yang dilihat masih sibuk dengan pekerjaan yang sangat dicintainya itu. Hingga akhirnya kini, Arum resmi menjadi kekasih Viki. Tentu saja tidak acara tembak-menembak seperti remaja tanggung yang sedang dimabuk asmara. Hanya komitmen untuk saling menghargai dan menjaga. Mencoba menjalani semuanya pelan-pelan. Masih terlalu dalam luka Arum atas perpisahannya yang lalu dan tentu saja Viki mengiyakan.

Viki mengingat lagi malam itu, malam saat dirinya mengungkapkan perasaan pada Arum. Malam biasa seperti malam-malam lain saat Viki mengantar Arum pulang ke rumahnya. Ibu Arum juga sudah mulai mengenalinya sebagai teman sang putri tunggal. Duduk di teras depan rumah seperti yang biasa dia lakukan. Ini sudah lima bulan sejak perceraian Arum. Seharusnya Arum sudah bisa move on. Seharusnya dia bisa kasih kesempatan sama aku. Paling tidak itu yang Viki pikirkan sebelum bersusah payah mengutarakan perasaannya. Berharap Arum mau sedikit berbelas kasih untuk membalas perasaannya dan membuka lembaran baru bersamanya.

Arum bernafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Viki. Dia tahu cepat atau lambat brondong ini pasti akan bicara. Faktanya Arum juga sudah merasa nyaman dengan hadirnya Viki dalam hidupnya. Dan juga tidak ada salahnya kan membuka lembaran baru bersama orang baru.

"OK. Aku mau coba ngejalanin hubungan ini sama kamu, tapi… aku harap kamu ngerti aku belum mau terbuka sama orang kantor. Pertama, ya karena statusku yang janda sedangkan kamu masih single. Kedua, usia kamu yang jauh lebih muda dari aku. Ketiga, aku enggak mau mereka mikir kamu beneran pebinor," syarat Arum panjang lebar.

"Astaga… sebenernya pengen protes, tapi nanti kamu malah ngambek terus enggak mau jadi pacar aku. Mendingan aku diem deh!" kata Viki lagi menunjukkan keputusasaannya.

"Sementara aja Vik, sampai mereka pelan-pelan tau sendiri kalau kita emang ada hubungan. Biarkan waktu yang menunjukkan semua," pinta Arum lagi.

Karena Viki belum nampak merespon ucapannya. Arum mengancam lagi, "iya atau enggak sama sekali Viki!"

Viki sebenarnya tentu tidak setuju. Dia bahkan akan dengan senang hati mengenalkan pada semua orang kalau Arum ini kekasihnya sekarang, namun dia coba memahami posisi Arum. Pasti akan sangat tidak nyaman untuknya. Seolah-olah dengan berpacaran dengan Viki, secara tidak langsung mengakui bahwa dia bercerai dengan mantan suaminya memang karena Viki.

"Iya iya siap deh, Bu Bos! Demi kenyamanan Bu Bos apapun akan saya lakukan!" Viki berlagak.

"Kamu tuh, akunya serius kamu malah bercanda!" kata Arum merajuk yang dalam hatinya tentu saja merona bahagia.

"Astaga Arum… kamu tuh yang suudzon mulu sama aku. Kalo enggak karena keseriusan aku ini kamu gak bakalan mau sama aku Arum. Udah berbulan-bulan loh aku ikhtiar memohon di sepertiga malam," ucap Viki lagi manis dan meyakinkan.

"Halah gombal!" mereka tertawa bersama akhirnya. Itu lah Viki selalu lucu dan kocak di mata Arum.

"Tapi ngomong-ngomong, aku pengen juga punya panggilan sayang buat kamu. Biar kaya orang pacaran gitu," Viki mulai menggoda Arum.

"Astaga dasar brondong alay! Sadar umur Vik!" Ejek Arum.

"Lah aku mah masih muda kali. Kan situ yang tua. Hahahahahaha." Viki tertawa sangat puas. Sedangkan Arum sudah heboh mencubit dan memukul lengan Viki.

"Dasar kamu ya! Brondong sialan!" Arum marah.

"Hehehe. Iya iya maafin dong, Sayang. Udahan  ah, sakit semua badan aku," Viki memegang pergelangan tangan Arum.

“Ya kamu yang mulai!”

"Hm, ah gimana kalo, Ay? Singkatan dari Ayang? Aku panggil kamu gitu aja ya. lucu, Ay," Viki bicara lagi masih serius dengan rencana panggilan sayang barunya untuk sang kekasih.

"Terserah kamu aja! Tapi jangan harap aku panggil kamu gitu juga ya!" Arum memang begitu, justru geli dengan hal-hal manis dan romantis.

"Siap laksanakan, Bu Bos! Eh, Ay…" Viki memberi hormat dengan senyum gula murni yang super manis.

Sartika Primastidya

Tolong support cerita aku di GoodNovel ya. Btw, cerita ini akan segera hadir versi cetaknya loh.

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status