Share

Perceraian Depan Mata

Sedangkan di Kota Malang, di kantornya siang itu, Arum ikut menangis juga. Beruntung dia masih sempat mengirimkan presentainya pada Pak Yos. Beliau sedang sibuk dengan dunianya sekarang. Dia tidak akan menyadari kalau salah satu anak buahnya sedang menangis sangat keras di salah satu sudut ruangan. Suara tangisan yang sebenarnya sampai juga di telinga Asti dan Lili yang berada di sisi lain ruangan.

Arum sama sekali tidak menyangka rumah tangganya akan berakhir seperti ini. Tentu selama ini dia juga merasa pernikahannya tidak baik-baik saja, tapi bukan begini perpisahan yang dia inginkan. Bukan karena ada laki-laki lain seperti yang Mas Pras pikirkan. Bukan karena gosip perselingkuhan yang entah dia dengar dari siapa. Apapun yang dimulai dengan niat baik, Arum ingin mengakhirinya secara baik, begitu juga pernikahan ini.

Darimana dia bisa tahu tentang Viki? Apa ada yang cerita sama dia? Siapa yang cerita sama dia?

Arum tiba-tiba penasaran. Tentu saja bukan ingin menyalahkannya siapapun itu sumbernya. Dia hanya ingin bicara padanya siapa tahu dia bisa ikut menjelaskan pada sang suami bahwa ini semua hanya salah paham. Ada keinginan dalam diri Arum untuk memperbaiki kondisi ini. Arum akhirnya mencoba bicara pada Asti dan Lili. Tentu saja dua rekannya ini mendadak bingung karena melihat muka Arum yang sudah bengkak dan merah karena tangisan. Saling menoleh satu sama lain untuk menemukan jawaban tapi tak ketemu.

"Ada apa Arum?" Asti coba bertanya sambil mendudukkan dirinya di sana bersama Lili.

Arum coba menenangkan perasaannya dulu sebelum bicara. Tisu it uterus digenggamnya dan tidak henti-hentinya diusapkan ke wajahnya, "jadi, Mas Pras habis telpon aku. Dia marah besar sama aku. Dia salah paham tentang Viki. Ada orang yang sepertinya kasih tau dia tentang Viki. Aku cuman mau tanya apa kalian ngerti sesuatu?"

"Hah? Maksudnya kamu kira kita gitu yang kasih info tentang Viki ke Mas Pras?" tanya Lili yang selalu blak-blakan.

"Ya bukan gitu. Ya maksudku seandainya kalian ada info. Mungkin kalian tahu siapa yang ngomong ke Mas Pras tentang itu. Aku udah gak ngerti lagi harus tanya ke siapa," Arum sangat terpukul masih sesekali mengusap air matanya.

"Hm, kalau boleh tau… emangnya info apa sih yang Mas Pras dapet?" Asti tanya perlahan.

"Ya foto aja sih. Info tentang medsosnya Viki. Terus ya kayanya beberapa info kaya aku suka pulang sama dia. Kayanya dia salah paham sama hubungan aku dan Viki," jawab Arum sambil mengambil selembar lagi tisu.

"Kita enggak tau Arum," ucap Lili berterus terang segera diangguki juga oleh Asti.

"Beneran kalian enggak tau apa-apa?" tanya Arum memastikan.

"Iya, sorry, tapi kita beneran enggak ngerti," sambung Asti.

“Aku bingung banget. Mas Pras bahkan udah enggak bales W* aku lagi. Aku enggak bisa jelasin apa-apa. Mas Pras juga kayanya udah terlanjur percaya sama semuanya. Dia pasti udah enggak mau denger apa-apa lagi,” ucap Arum lagi dengan suara masih bergetar.

“Hm, aku juga bingung mau ngomong apa. Ya ditunggu aja dulu sampe Mas Pras nya juga tenang. Kalo udah kalian sama-sama tenang, nanti coba diobrolin lagi,” saran Asti akhirnya.

Keheningan melanda mereka bertiga setelahnya. Tentu saja Lili dan Asti tampak kikuk dan sesekali menatap satu sama lain. Tidak tahu harus bersikap bagaimana kecuali berulang kali mengucap sabar dan sesekali mengusap lengan Arum yang masih menangis. Akhirnya kembali ke ruangan kerja masing-masing membiarkan Arum sendiri.

Arum menangis lagi setelah Lili dan Asti pergi meninggalkan ruangan itu. Saat ini dia merasa dihadapkan dengan jalan buntu. Siapapun yang memberi info pada Pras, mungkin juga sangat berhati-hati dan tidak mungkin akan menunjukkan jati dirinya. Siapapun itu pasti tahu kalau dia pasti akan marah besar padanya. Arum memang sangat kesal saat ini, walau sebenarnya dia lebih kesal pada dirinya sendiri.

Dua bulan berselang setelah pertengkaran hebat melalui ponsel waktu itu, Arum memang berubah menjadi sosok yang pendiam. Di kantor, tentu saja teman-temannya ini menyadari perubahan sikapnya tapi tak pernah mencoba untuk bertanya. Mereka tahu bahwa hubungan Pras dan Arum semakin buruk walau tidak tahu seburuk apa. Mereka bisa melihat bagaimana Arum yang biasanya aktif dan ceria terlihat lebih lemah dan lesu. Mereka hanya bisa berusaha menghiburnya dengan mengeluarkan lelucon atau sekedar berbagi makanan. Berharap bisa memperbaiki suasana hati rekan kerjanya itu.

Hubungan Pras dan Arum tetap tidak membaik, hingga mereka sepakat untuk benar-benar berpisah. Tidak ada tuntutan apapun karena mereka ingin mengakhiri rumah tangga mereka dengan damai. Sebenarnya mereka punya satu rumah milik bersama di Malang, tapi Pras menyerahkannya begitu saja pada Arum. Toh selama ini memang Arum yang banyak menghabiskan uang untuk rumah itu. Alasan utama yang mereka ajukan dalam perceraian adalah ketidakcocokan dan perbedaan visi misi. Komunikasi pun sudah sama sekali tidak mereka lakukan. Ya hanya beberapa kali membicarakan tentang perceraian.

Proses perceraian diikuti keduanya dengan patuh. Bahkan saat mediasi pun Arum masih mencoba menoleh pada sang suami. Berharap suaminya ini mungkin mempertimbangkan untuk rujuk, tapi memang sepertinya Pras sudah yakin dengan keputusannya. Bahkan lusa adalah sidang putusan perceraian keduanya. Itu kenapa dia sedang berada di ruangan Pak Yos siang itu untuk meminta ijin cuti.

"Saya mau ijin cuti Pak untuk lusa," pamit Arum pada sang bos.

Pak Yos mendongak dan bergerak membaca surat ijin yang disodorkan.

"Jadi, kamu bener-bener cerai?" tanya Pak Yos pada anak buahnya ini.

"Iya, Pak. Lusa itu pembacaan putusan. Makanya saya mengajukan cuti, Pak," kata Arum lagi tersenyum kecut.

"Terus terang saya masih enggak nyangka Arum, tapi ya semoga ini yang terbaik buat kalian ya. Kamu yang sabar," Pak Yos akhirnya memilih untuk menandatangani surat ijin cuti dari Arum.

Pak Yos tentu sangat tahu bagaimana hubungan keduanya memang tidak begitu baik belakangan apalagi juga dia sendiri juga sudah bertanya pada Arum mengenai hubungannya dengan Viki. Beliau memang sudah beberapa kali bertemu Pras dan berdasarkan pengalaman hidupnya sedikit banyak dia bisa tahu karakter Pras dan tentu menyayangan perceraian itu terjadi. Beliau hanya bisa menatap nanar anak buahnya itu.

Arum memilih mengangguk dan meninggalkan ruangan sang manajer. Pergi ke kamar mandi dan menenangkan hatinya di sana. Jujur dia sangat letih dengan badai yang harus dia lalui belakangan. Fisik dan psikisnya sama-sama letih. Arum hampir setiap malam menangis, bahkan kadang sampai kepalanya sakit dan wajahnya bengkak. Sampai tidak tahu lagi harus menutupinya dengan cara apa untuk pergi ke kantor. Sekarang, dipikir lagi, untuk apa menangisinya? Toh nasi sudah menjadi bubur.

Asti yang langsung masuk saja ke kamar mandi. Sedikit terkejut karena ada Arum di sana tapi tak banyak bicara. Bisa dilihatnya dari sudut matanya, wanita itu pasti menangis lagi.

"Astaga Arum. Kaget aku!" kata Asti mengelus dadanya. "Bentar aku pipis dulu ya," pamit Asti cepat.

Begitu Asti selesai pun, Arum masih di sana dengan wajah dan posisi yang sama. Mengelap wajahnya yang masih basah karena sapuan air dengan tisu. Meredakan air mata yang hampir saja keluar entah ke berapa kali dari matanya.

"Kenapa sih? Kayanya akhir-akhir ini kamu lemes lesu gitu?" tanya Asti.

"Capek banget aku tuh," kata Arum sendu.

"Capek kenapa? Kerjaan?" tanya Asti tentu saja.

"Aku… cerai sama Mas Pras," kata Arum singkat menunjukkan surat cuti yang sudah ditandatangani oleh Pak Yos.  

Akhirnya, perceraian itu terjadi tiga bulan lalu. Perceraian yang mampu memberinya rasa pahit dan menggores luka cukup dalam. Pernikahan yang dia usahakan sekuat tenaga pada akhirnya harus hancur begitu saja. Perceraian yang menyita seluruh waktu, emosi, dan tenaganya. Apa yang bisa dia lakukan kini? Arum hanya bisa terseok-seok mencoba menyambung hidup. Toh teman-temannya perlahan mulai mengetahui status barunya itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status