<span;>Hart mulai sadar perlahan membuka mata, tapi pandangannya terhalang selembar kain hitam yang menutup wajahnya.
<span;>Hart mencoba menggerakkan tangan kiri guna melepaskan kain yang menghalangi, tetapi tak bisa. Pergelangan tangan kirinya terikat pada sebatang tiang kecil, begitu juga dengan tangan kanan pria kidal itu.<span;>Bukan hanya tangan, ujung kedua kakinya yang mengangkang juga terikat. Hart yang mulai sadar dengan keadaan dirinya mencoba berteriak. Namun, tindakan itu sia-sia, ada lakban hitam yang melekat erat pada mulutnya mencegah ia melontarkan teriakan.<span;>Hart meronta, berusaha melepaskan tubuhnya yang terikat.<span;>"Huuustt, tenanglah anak muda," pinta seseorang pria yang menjaganya di ruangan itu.<span;>"Hmmm ... hmmm." Hart ingin mengatakan sesuatu.<span;>"Tenangkan dulu dirimu! Percayalah kami tidak akan menyakitimu," kata pria penjaga seraya mendekati tubuh Hart yang diikat diatas ranjang mewah.<span;>Melihat keadaan tawanannya mulai tenang, pria penjaga itu melepaskan kain yang menutupi wajah Hart dan menarik paksa lakban yang melekat di mulutnya.<span;>Kini Hart dapat melihat pria umur 40-an dengan setelan rapi mengenakan jas hitam berdiri di samping ranjang tempat ia terbaring.<span;>"Namaku Ali, Kau pasti haus." Pria itu menyuguhkan segelas air putih pada Hart untuk diteguknya.<span;>"Saya sarankan agar kau menghemat suaramu, tidak akan ada yang mendengar teriakanmu di tempat ini, permisi." pamitnya setelah memberikan peringatan halus pada tawanannya.<span;>Ribuan pertanyaan melayang di dalam kepala Hart, mencoba mengingat kembali setiap kejadian sebelum ia berada di tempat itu.<span;>"Dia sudah bangun," bisik Ali pada seseorang yang sedang menikmati segelas anggur di ruangan tengah. Wanita muda itu adalah Veronica Diarliana-atasannya.<span;>"Beri aku privasi untuk malam pertamaku," ungkap Liana.<span;>"Permisi." Ali pamit dengan sopan.<span;>Hart menoleh, ia mendengar suara langkah kaki perlahan mendekat. Pintu terbuka diikuti wanita dengan mantel tebal melangkah masuk.<span;>"Kau?" lirih Hart.<span;>Liana tersenyum tipis, menutup pintu tanpa berpaling. Melangkah pelan mendekati ranjang sambil melepaskan mantel tebalnya, lekuk indah tubuhnya tampak samar dari balik gaun tipis yang ia kenakan. Hart langsung memalingkan pandangannya.<span;>Liana merangkak anggun di atas ranjang mendekati tubuh Hart lalu duduk di atas perut yang berbalut otot.<span;>Jemari Liana mulai melepaskan satu per satu kancing kemeja Hart hingga tampak gumpalan otot dada lelaki itu. Jemari Liana semakin nakal, meraba permukaan kulit Hart dan sesekali meremasnya.<span;>Hart masih diam, belum berani menatap ke arah Liana yang menindihnya. Kini dia paham tujuan tali yang melilit bagian tubuhnya.<span;>Setelah puas bermain di area atas, Liana berbalik 180 derajat mengubah arah posisi duduknya. Hart diam-diam melirik punggung molek Liana yang sibuk melepaskan tali pinggangnya.<span;>Libido Hart mulai meningkat saat Liana memainkan bagian tubuhnya yang paling istimewa. Seharusnya host profesional itu masih bisa menahan birahi, tapi kali ini hasratnya begitu kuat hingga tak dapat dibendung lagi.<span;>Tubuhnya terasa panas, aliran darah berpacu dengan detak jantung yang semakin kencang, seluruh indra semakin peka. Hart merasakan sensasi kenikmatan yang berlebihan pada salah satu bagian tubuhnya.<span;>"Lepaskan ikatannya," pinta Hart.<span;>Liana tersenyum mendengar permintaan Hart, ia tahu jika tawanannya itu mulai hanyut dalam permainan nakalnya. Liana yakin jika cairan yang di tambahkan Ali ke dalam minuman Hart mulai bekerja.<span;>Liana hanya melepaskan pengikat pada salah satu tangan Hart lalu berbaring dan membiarkan Hart melepaskan sisanya.<span;>Hart kemudian berbaring menyamping di sebelah tubuh Liana, menatap wajah Liana sambil mengelus rambutnya lalu mulai mencumbu lembut batang leher Liana.<span;>Tangan kiri Hart perlahan menarik turun tali gaun Liana, lalu meremas lembut gumpalan daging kenyal yang tergantung bebas, berlanjut meraba turun dan berhenti pada area yang mulai basah di antara kedua paha Liana.<span;>Suhu terasa semakin panas, Hart melepaskan pakaian yang melekat pada tubuh indah Liana hingga tak tersisa sehelai pun.<span;>Dengan celana sedikit melorot, Hart melancarkan serangan pamungkasnya dengan dorongan yang sangat lembut.<span;>"Pelan-pelah, akh ...." Liana mendesah saat benda keras menyentuh permukaan kulitnya yang paling sensitif.<span;>"Akhhh ... aaakh," desah panjang Liana, tubuhnya menggeliat, jemarinya meremas seprai.<span;>Sebuah sensasi kenikmatan dirasakan Liana untuk pertama kalinya, rasa nikmat bercampur rasa nyeri dan ngilu.<span;>Hart terus melakukan gerakan yang sama, bibirnya tak bisa berhenti beraksi, mencium, melumat, dan menghisap bagian tubuh Liana.<span;>Lelaki yang semula terkesan terpaksa, kini justru menjadi penguasa yang mengendalikan permainan birahi di atas ranjang. Sentuhannya lembut, tapi tepat sasaran, gerakan pinggulnya pelan dan satai dengan irama tetap.<span;>Tidak ada tindakan kasar atau beringas seperti singa kelaparan yang menerkam mangsa. Semuanya dilakukan sangat lembut dalam diam, tapi hal itu justru mempercepat perjalanan Liana untuk sampai ke puncak.<span;>"Aaakkhhhh, sesuatu ... keluar, aakhhh." Liana mendekap tubuh kekar Hart, pelukan yang begitu erat diikuti cairan kenikmatan yang meluncur deras, bagaikan mata air mengalir membasahi sungai yang kering.<span;>Liana mencapai puncak lebih awal. Sensasi itu kembali terulang hingga tiga kali.<span;>Kini giliran Hart, seluruh kenikmatan berkumpul pada satu titik, dorongan gairah semakin kuat menuju klimaks. Hart bisa merasakan carian kental mengalir deras pada saluran kecil. Akhirnya, dengan otot yang mengeras dan urat yang tertarik, pemuda itu menembakkan peluru kejantanan beberapa kali di atas perut liana.<span;>Hart langsung menjatuhkan tubuhnya di samping Liana, wanita itu juga terkapar lemas setelah proses pendakian yang cukup panjang.<span;>"Apa yang telah kulakukan?" gumam Hart seakan menyesali perbuatannya.<span;>"Heii, tolong jelaskan maksud semua ini!"<span;>Hart menatap benci pada wanita di sampingnya. Setelah bertahun-tahun dia bekerja sebagai host profesional, baru kali ini ada wanita yang berani memperlakukannya sampai sejauh itu.<span;>Meski pekerjaan Hart memang untuk menyenangkan hati para pelanggan wanita, tapi bukan berarti dia bisa seenaknya dijadikan pemuas nafsu bagi tamu-tamunya.<span;>"Surat perjanjiannya akan menjelaskan semuanya padamu, jadi diam dan tidurlah," lirih Liana yang terbaring lemas dengan mata terpejam.<span;>"Huh! Perjanjian?" Jawaban Liana justru mengundang pertanyaan baru di dalam kepala Hart.<span;>"Kau berisik sekali! Diamlah atau keluar dari kamar ini, tapi jangan berpikir kalau kau bisa kabur dariku."<span;>Hart terpaksa menahan diri, mencoba tenang dan bersabar, menunggu sampai wanita itu siap menjelaskan segalanya.<span;>"Hei, bersihkan ini!" Liana menunjuk ke arah perutnya.<span;>Hart meraih tisu di atas meja kecil, meletakkan di samping Liana lalu turun dari ranjang.<span;>Hart bangun lalu turun dari tempat tidur, berdiri di samping ranjang, mengenakan serta merapikan kembali pakaiannya yang sebelumnya dilucuti paksa oleh wanita yang tidak dikenalnya.<span;>"Ali akan menjelaskan semuanya padamu."<span;>Liana masih terbaring lesu, perlahan menarik kain selimut untuk membungkus tubuh bugilnya, mengubah posisi tidurnya dengan memutar badan ke arah yang berlawanan.<span;>Hart melangkah keluar kamar, meninggalkan Liana seorang diri agar wanita itu biasa tidur dengan tenang. Lagi pula, berada di dekatnya hanya akan memancing Hart untuk terus melontarkan pertanyaan padanya.<span;>"Sepertinya rumah ini ditinggalkan cukup lama," gumam Hart berbicara sendiri.<span;>Pemuda itu keliling mencari sesuatu yang dapat mengalihkan perhatiannya dari semua peristiwa yang membuatnya kebingungan.<span;>Hart berhenti ketika tiba di balkon, tempat yang menurutnya sangat cocok untuk menenangkan pikiran. Di sana ia dapat melihat hamparan langit malam bertabur bintang, meskipun sisanya hanya gulita yang terbentang menyelimuti rumah tempatnya bernaung.<span;>Tidak ada tanda-tanda adanya seseorang selain mereka berdua di tempat itu, tak ada satu pun penjaga.<span;>"Sepertinya, aku bisa pergi dari tempat ini dengan mudah," batin Hart.<span;>Hart bergegas turun ke lantai bawah, menelisik setiap sudut ruangan mencari jalan untuk keluar. Tidak sulit baginya untuk menemukan pintu utama yang berdiri jelas di sisi ruangan lantai dasar.<span;>Pintunya terkunci, tapi kuncinya menempel di sana, maka Hart dapat dengan mudah membuka pintunya, bergegas melangkah ke luar tanpa lupa untuk menutupnya kembali.<span;>Hart berhasil keluar, tapi langkahnya berhenti setelah ia melewati pintu utama.<span;>'Aku perlu kendaraan untuk pergi dari sini, tapi sepertinya ....'<span;>Hart mulai mencemaskan rencananya ketika ia tidak melihat adanya satu pun kendaraan yang parkir di sana.<span;>"Mungkin di tempat lain, akan kucari," batin Hart, ia tidak ingin menyerah begitu saja.<span;>Pemuda itu mulai mengitari rumah, menyusuri setiap sisi, mencari kendaraan apa saja di setiap sudut yang dapat ia jangkau. Hart terus mencari, tapi pada akhirnya ia kembali ke tempat semula tanpa menemukan satu pun kendaraan.<span;>"Sepertinya memang tidak ada, pasti dibawa pergi pria tadi," keluh kesah Hart dalam hatinya. Namun, itu tidak berarti kalau Hart telah putus asa, meskipun ia gagal dalam pencariannya.<span;>Hart duduk pada tangga kecil di depan pintu, melirik jam yang melingkar pada pergelangan tangannya dan mulai memikirkan kembali langkah selanjutnya yang akan ia ambil.<span;>"Sudah hampir jam dua dini hari rupanya,"<span;>Hart mulai memikirkan beberapa hal, mempertimbangkan segala sesuatunya sebelum mengambil keputusan agar usahanya tidak berakhir sia-sia.<span;>Hart bisa kabur dengan berjalan kaki, ia juga tidak perlu khawatir dengan arah mana yang akan diambil, ia hanya perlu menyusuri jalanan yang ada. Namun, pemuda itu tidak tahu berapa jauh ia akan berjalan dalam kegelapan tanpa alat penerangan.<span;>Pilihan yang lain adalah menelepon kenalannya dan meminta untuk menjemputnya, tetapi Hart sendiri tidak tahu lokasi keberadaannya saat ini, ditambah lagi pemuda itu tidak menemukan ponsel miliknya di dalam saku celana, pasti direbut saat ia disekap.<span;>'Jangan berpikir kau bisa kabur dariku.'<span;>Hart teringat akan ucapan Liana padanya yang sebelumnya ia sepelekan. Kini Hart mengerti jika wanita itu tidak main-main dengan ancamannya.<span;>Kini hanya tersisa satu pilihan untuk Hart, pilihan terakhir yang terpaksa ia ambil. Pemuda yang menemui kebuntuan itu berdiri dan melangkah masuk kembali ke dalam rumah, tidak ada pilihan lain lagi untuknya.<span;>"Apa salahnya menunggu hingga esok pagi, aku juga bisa mendengarkan penjelasan dari mereka. Lagi pula, sepertinya mereka tidak berniat menyakitiku," tutur Hart dalam hatinya saat ia berjalan lamban menuju ke kamar sebelumnya. Mengistirahatkan tubuhnya yang kelelahan di atas ranjang yang sama dengan wanita asing.<span;>Liana bangun lebih awal, mengenakan kembali pakaiannya dan bergegas menuju ruangan tengah.<span;>"Ali, jemput aku sekarang!" tegas Liana lewat sambungan telepon.<span;>"Baik, Nona."<span;>"Ingat juga untuk mengajak dua orang pelayan ke sini."<span;>Liana memutuskan panggilannya setelah mengatakan apa perlu ia sampaikan.<span;>"Permisi, Nona."<span;>Ali pun tiba beberapa menit kemudian, diikuti dua orang pelayan wanita bersamanya.<span;>"Sudah kau jelaskan tugas mereka?"<span;>"Sudah, Nona."<span;>"Dia masih tertidur, jelaskan semuanya saat ia bangun!" pesan Liana sembari melirik jam mewah di pergelangan tangan kirinya sebelum berdiri dan berjalan keluar.<span;>Ali mengawalnya sampai ke depan, di mana seorang sopir menunggu di samping sedan mewah dengan pintu belakang yang terbuka.<span;>"Hati-hati, Nona!"<span;>Ali kembali ke dalam setelah Liana pergi. Terlihat Hart turun dari lantai atas tepat saat pria itu melewati pintu masuk.<span;>"Kemarilah!" ajak Ali seraya berjalan menuju tempat duduk.<span;>"Di mana wanita itu?" tanya Hart yang tak melihat batang hidung Lina sejak ia terbangun.<span;>"Duduklah dulu," jawab Ali tenang.<span;>Salah satu pelayan menyajikan kopi di atas meja untuk mereka.<span;>"Waktu yang tepat untuk secangkir kopi," ungkap Hart seraya meraih cangkir dan mencicipi kopi yang disuguhkan untuknya.<span;>"Jadi, perjanjian apa yang di maksud wanita itu?"Bab 1 gimana? Hehehe. Makasih buat kalian yang sudah mampir, jangan lupa untuk bercuap-cuap pada kolom review. Saran kalian juga sangat saya harapkan. Lope u all.
Pindah ke Bakisah dengan judul "Gairah Terkutuk". Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus. Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus. Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus. Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus Hiatus Hiatus Hiatus Haiatus
Happy reading, guyss... "Jadi, perjanjian apa yang dimaksud wanita itu?" tanya Hart, pikiran yang segar kini siap menerima jawaban dari setiap pertanyaannya. "Liana sudah cerita tentang perjanjiannya, ya," cetus Ali. "Owh, jadi namanya Liana," sambung Hart, kini ia tahu nama wanita itu setelah apa yang mereka lalui bersama semalam. Hart kembali teringat saat pertama kali melihat Liana. Kejadian singkat yang berlangsung di klub tempat kerjanya. Waktu itu Hart baru saja tiba, menghampiri atasan yang sedang duduk menunggu, ditemani seorang wanita serta beberapa pengawal. "Jadi ini orangnya," ungkap Liana saat pertama kali melihat sosok Hart. Seorang pengawal mendekati Hart, menyemprotkan cairan seperti parfum tepat di hadapan wajahnya. Sejak saat itu Hart tak lagi ingat apa pun dan tiba-tiba telah terbaring di atas ranjang dengan kondisi tubuh terikat. "Ya ... dia bicara tentang perjanjian, tapi han
Happy reading, guyss... Limosin putih perlahan masuk pekarangan rumah, mengalihkan perhatian Hart yang sedang berbincang dengan Ali sambil menikmati kopi dia balkon lantai dua. "Permisi," pamit Ali, ia harus segera turun untuk menyambut Liana. "Akhirnya, dia datang juga," gumam Hart, ia terlihat sudah siap untuk segalanya. "Ali, suruh pelayan menyiapkan satu kamar untukku!" Liana berlalu di hadapan Ali, wanita itu langsung menuju sofa dan membuang tubuhnya di sana. Ali melangkah mendekati ujung sofa di mana Liana duduk, "Anda ingin kamar yang mana, Nona?" tanyanya. "Bekas kamarku. Cepatlah, aku ingin segera istirahat." Liana meregangkan seluruh tubuhnya yang kelelahan. Rumah yang mereka tempati sakarang adalah rumah lama milik almarhum orang tua Liana, terletak cukup jauh dari hiruk-pikuk kota Olympus. Sudah lama Liana tidak berkunjung, bangunan itu ditinggal dan dibiarkan kosong begitu saja. Tem
Happy reading, guyss.... Pukul 7 malam, Hart kembali duduk di ruangan tengah setelah mandi dan bersiap, pemuda itu masih mengenakan pakaian yang sama dengan semalam. Lalu Ali tiba, masuk bersama beberapa orang yang membawa koper pakaian. "Kalian lama sekali, aku mulai gatal." Hart langsung beranjak menghampiri mereka. "Tolong antar barang-barang itu ke kamarnya!" pinta Ali pada dua orang yang sebelumnya telah diminta menemaninya untuk mengambil barang-barang Hart di tempat tinggalnya dulu. "Ikut aku." Hart mengambil salah satu koper kecil, sisanya dibawa oleh mereka. Selesai mengganti pakaian, Hart kembali ke ruang tengah, disusul Liana dengan gaun hitam yang sebelumnya telah ia siapkan. Mereka langsung bertolak menuju pusat kota dengan sedan hitam yang biasanya dibawa oleh Ali. Limosin putih yang sebelumnya mengantar Liana telah kembali ke rumah utama keluarga Veronica, rumah yang akan mereka tuju.
Ambil napas dulu, hehehe. "Ali, minta perhatian semua orang!" Nyonya Elisa maju beberapa langkah lalu berhenti tiba-tiba, Hart yang masih berdiri di sana menghalangi jalan. Ali segera menarik tubuh Hart, menjauhkan dari hadapan Elisa. hal itu sontak menyadarkan Hart dari lamunan dan segera mengatur kembali posisi berdirinya. Dengan suara yang lantang, Ali mulai menarik perhatian orang-orang, "selamat malam para hadirin sekalian, mohon perhatiannya sebentar. Nyonya Veronica akan menyampaikan beberapa hal untuk kita." Perhatian setiap orang di ruang itu langsung tertuju pada Elisa, wanita berusia 60-an yang masih terlihat bugar. Ia mulai berbicara, diawali dengan ucapan selamat datang, ungkapan terima kasih dan beberapa lelucon basa-basi sebelum akhirnya mengumumkan keberhasilan perusahaan mereka. "Perusahaan keluarga kami akhirnya berhasil menempati posisi kedua sebagai pemegang saham terbesar Altar Group," ungkapnya penuh
Ceritanya mulai panas nih, happy reading. "Kau tidak dengar? Aku bilang lepaskan pakaianmu, sampah!" bentak Viana murka. Hart melihat Ali dengan tatapan meminta pertolongan. Jiwanya terguncang hebat, ia benar-benar tidak menyangka jika penghinaan itu akan terjadi padanya. Ini sangat berbeda dengan apa yang disampaikan Ali, berbeda dengan apa yang tertulis dalam berkas yang pernah ia baca. Budak, kata itu tidak tertulis di sana dan tak pernah juga disinggung oleh Ali sebelumnya. "Apa arti semua ini?" Pertanyaan itu terus terlintas di benak Hart. "Hei manusia rendahan! kenapa kau diam saja," geram Viana dengan mata melotot. Sekali lagi, Hart menatap Ali. Pemuda itu seharusnya bisa melawan, berontak dan pergi. Namun, entah kenapa ia tak bisa bergerak, seakan kakinya dirantai, mulutnya dibungkam. Semua karena tekanan seorang Veronica Erviana yang tiba-tiba, auranya yang benar-benar mencekam. Namun, Hart tidak merasa
Happy reading, guyss. "Kau berani bicara dan bahkan menolak perintahku. Lakukan kataku! Jika tidak ...." "Kenapa jika tidak?" sela seseorang memotong ucapan Viana. "Nona Riana," sapa Ali memberi hormat pada wanita yang datang dari arah belakan Viana. "Kakak?" Viana tampak terkejut saat wanita itu melintas di hadapannya, mengabaikan tegurannya dan berlalu begitu saja. Veronica Meriana, dia adalah kakak dari Viana. Wanita dewasa ini memiliki kecantikan yang berbeda, ia terlihat menarik bukan karena kosmetik tebal yang menempel di wajah, atau perawatan mahal dari klinik kecantikan seperti yang dilakukan Viana. Bahkan wajahnya hampir tidak dihiasi satu pun riasan, tapi kecantikan Viana akan luntur jika ia berdiri di samping kakaknya ini. Riana mampu mencuri perhatian setiap orang di sekitarnya sehingga semua pandangan akan tertuju padanya. Karena itulah terkadang Viana merasa sangat membencinya. Kecantikan Riana
Happy reading, guyss .... Tatapan itu menuntut sebuah jawaban, jawaban tentang sesuatu yang tidak pernah dijelaskan padanya. Jawaban yang akan menentukan keputusan Hart selanjutnya. "Ali, kenapa kau diam?" tanya Hart mendesak. "Hart, aku sungguh minta maaf tentang itu." "Maaf? jadi maksudmu ...." "Ya, itu benar bahwa sekarang kau adalah budak Liana. Akan tetapi budak Liana memiliki arti yang berbeda dengan budak Viana." Ali berusaha membuat pemuda itu mengerti, tapi ucapannya sulit dipahami Hart. "Budak tetaplah budak. Jika saja kau mengatakannya lebih awal padaku, maka aku bisa pergi hari itu juga dan aku tidak perlu menerima penghinaan Viana malam ini." Hart memutar badannya membelakangi Ali, ia berniat meninggalkan pria itu dan segera keluar dari rumah keluarga Veronica. "Hart, tunggu!" tegas Ali mencegahnya dan berlari kecil ke arah Hart. "Maaf Ali, tapi aku tak sudi menjadi budak wanita itu, aku punya hak untuk memutuskan sebab aku tidak terikat dengan perjanjian apa pun."