Share

bab 4

"Jawab!" Lelaki itu membentakku. Aku yang masih mengenakan lilitan handuk dengan rambut yang masih basah inipun hanya terpaku ditempat.

"Hanya pereda nyeri tuan." Jawabku ketakutan. Lelaki itu menatapku sangat tajam lalu berjalan mendekat. Menyeretku kearah kamar mandi, aku dipaksanya masuk kedalam bathup yang masih penuh dengan sisa rendamanku tadi.

Tanpa seucap katapun dia menarik selang shower yang kemudian diarahkan keatasku.

"Tuan, ampun." Dengan gelagapan aku berusaha berucap pada sosok yang seperti kesetanan itu.

"Kamu berencana untuk bunuh diri lagi?" Kali ini dia menjambak rambutku hingga air dari shower itu mengenai wajahku. "Kenapa?"

Apalagi yang bisa kulakukan, melawannya pun aku tak kuasa. Aku hanya bisa menangis dibalik suara air shower yang dia kencangkan. Memang lebih baik diam saja tanpa menjawab apapun.

*

Aku masih diam saja setelah lelaki itu menggantikanku handuk dan akhirnya sekarang sudah berada diatas ranjang. Dia dengan telaten mengeringkan rambutku dengan handuk lainnya.

Entah apa yang sebenarnya terjadi dengan lelaki ini, mungkinkah dia memiliki pribadi ganda. Kadang akan muncul dengan amarah yang membara lalu datang lagi layaknya malaikat penolong.

"Pakailah!" Perintahnya setelah selesai dengan handuknya lalu memberiku sebuah gaun tidur yang transparan. Aku langsung memakainya saja tanpa berucap kata apapun.

Lelaki itu masih menamatiku, aku berusaha tak berbalik melihatnya. Dia membelai rambutku seakan menunjukkan sebuah perhatian. Aku hanya diam saja tak menanggapi apapun.

"Ucapkan kata apapun, jangan hanya mendiamnkanku seperti ini." Kali ini akhirnya aku menoleh kearahnya.

"Saya sangat lelah." Begitu ucapku lalu berbaring dan membelakanginya. Aku menarik selimut untuk menutupi tubuhku, berusaha memejamkan mataku agar secepatnya tertidur dan mungkin cara ini sebagai ganti mengusirnya secara halus.

Kenapa Tuhan malah mentakdirkanku bertemu dengan lelaki seram ini. Seharusnya hari ini aku bisa menghabiskan waktu dengan banyak kegiatan diluar sana tapi malah terkurung disini.

Tak terasa bulir air membasahi wajahku, aku menahan suara tangis agar tak didengarnya. Kufikir dengan begitu dia akan berlalu pergi tapi nyatanya malah ikut berbaring disebelahku dan merengkuh tubuhku dari belakang.

Kepalaku yang terasa berat mungkin karena terlalu banyak menangis, hingga aku memilih untuk membiarkan sosok dibelakangku itu dan memilih untuk tidur.

Irama musik pelan sepertinya mengiringi ketenangan ini. Jelas melihat keseliling ruangan yang hanya nampak samar tanpa warna. Sosok yang tengah duduk disebelah ranjang itu sesekali membelai lembut wajahku.

Apakah sudah malam? Aku juga tidak bisa memastikan. Jendela besar yang ada disana juga sudah tertutup tirai, ingin sekali membukanya karena disanalah aku bisa melihat malam dan siang bergantian. Tapi gerakku seakan tertahan terasa sangat berat.

***

Berat sekali membuka mata, saat menyadari bahwa ada sesuatu yang dingin dikeningku. Aku mengambil benda yang ternyata sebuah pengompres.

Dihadapanku nampak lelaki itu menatapku dengan tatapan teduh yang sulit diartikan. Aku langsung gegas membalikkan badan untuk beralih posisi miring membelakanginya. Selimut yang awalnya hanya sebatas bawah dada kini kutarik agar menutupi seluruh badanku dan menyisakan lubang seukuran wajah saja.

Tapi sosok itu malah mendekat ke hadapanku, ikut berbaring disebelah dan langsung merengkuhku.

"Aku tidak suka melihatmu seperti ini." Dia menarik kepalaku tepat didada bidangnya. Aku hanya diam saja karena ketakutan. Sekuatnya menutup mataku saja tanpa berucap sepatah katapun. "Kamu memilih untuk diam saja? Apa perlu kupaksa agar berbicara?" Suaranya melemah.

Aku sendiri bingung harus menjawab apa. Kaetakutanku setiap melihatnya sudah tidak bisa ditahan lagi.

"Tuan, saya tidak pernah tau kenapa bisa berada ditempat ini. Bila memang bibi saya mempunyai hutang yang harus dibayar biarkan saya bekerja untuk membayar hutangnya."

"Kamu tidak mau berada disini?" Tanya nya lagi. Tangannya yang berada dikepalaku terasa mengeras seperti menarik rambutku. Aku menggeleng saja menjawabnya. "Kenapa tidak mau disini? Jawab!"

"Saya sangat takut pada tuan." Tenggorokanku sepertinya tercekat menahan isak yang takut untuk kukeluarkan. Dengan mata yang masih menutup buliran air kembali keluar membasahai sebagian wajahku. Aku sangat yakin hari ini aku pasti dihabisinya.

Namun kenyataannya tangan yang tadi menarik rambutku malah berpindah tempat kewajahku, dia menghapus air disekitar pipiku.

"Saya paling tidak suka melihatmu menangis."

Cukup lama kami saling diam, dan akupun masih berselimutkan takut pada sosok lelaki yang masih pula mendekapku.

Suara ketukan pintu yang membuatnya beranjak, terdengar suara Vika yang sepertinya mengantar makanan untukku. Masih berada dibalik selimut hingga Vika membangunkanku.

"Sel, ini aku. Bangunlah." Dia berbisik mendekat, dengan cepat aku langsung memeluknya dan meluapkan tangisanku. Tepukan pelan darinya yang berusaha menenangkanku itu terasa begitu menghangat.

"Aku ingin keluar dari sini Vika. Aku takut padanya." Ucapku terbata disela isak yang sudah kutahan sejak tadi.

"Tuan muda tidak akan menyakitimu." Kugelengkan kepalaku.

"Dia seperti monster Vika. Dia sangat menyeramkan." Mataku masih menutup karena takut.

"Baiklah, tenangkan dirimu dulu. Sudah kubawakan sarapan lezat seperti kemarin. Bukankah kamu ingin menu ini lagi." Kulepaskan pelukannya, lalu wanita itu mengambil nampan yang terletak dimeja sebelah ranjang. Aku tak mau menoleh kearah lainnya kecuali pada Vika. "Aku akan menunggumu sampai selesai makan."

Setidaknya ada Vika yang mempedulikanku disini. Aku mulai melahap makanan itu.

"Bagaimana demammu?"

"Siapa yang demam? Aku?" Aku sendiri bahkan tidak sadae tengah demam. Atau mungkin alat kompres dikeningku tadi karena demam.

"Semalaman Tuan Marcell tidak tidur untuk menjagamu." Bagaimana aku bisa mempercayai ucapan Vika. Tak mungkin lelaki seram itu melakukannya, dia sendiri dengan kasarnya bersikap padaku. "Kenapa tiba-tiba demam? Padahal kemarin pagi kita masih bersama dan kamu terlihat sangat baik-baik saja."

Mengingat kejadian setelah Vika pergi kemarin saja aku langsung menangis terisak.

"Vika, aku ingin mati saja kalau tidak bisa keluar dari sini." Tak mungkin aku menceritakan bagaimana kejamnya tuan Marcell padaku kemarin.

"Sudahlah, kamu hanya merasa jenuh karena hanya menghabiskan hari dikamar saja." Bagaimana lagi meyakinkannya bahwa aku sangat ketakutan bila berdekatan dengan tuannya itu. "Habiskan makanmu Sel." Aku harus mengisi tenaga agar bisa berfikir cara keluar dari sini.

Setelah menghabiskan makanku, Vika segera keluar dari kamar. Aku masih meratapi takdir yang sepertinya mempermainkanku. Aku merindukan bibi yang walaupun sangat menyebalkan itu tapi setidaknya lebih nyaman berada didekatnya ketimbang bersama lelaki kejam itu.

Baru saja akan bernafas lega karena tak menemukan sosok seram itu, tapi dia malah muncul dari kamar mandi. Apakah dia disana selama Vika menemaniku.

"Kamu bilang apa tadi? Ingin keluar dari sini?" Aku langsung menarik selimut yang ada diranjang untuk menutupi tubuhku. Berjalan mundur hingga menabrak lemari kaca kaca yang ada dibelakangku. "Kamu memilih mati saja ketimbang disini bukan?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Herlina Lina
laki2 gila ..ada kelainan apa. sebentar baik sebentar kayak org setres
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status