*
"Hei!" Teriak pemuda yang sepertinya ku temui beberapa hari lalu. Aku hanya menoleh kemudian kembali melanjutkan jalanku dan memilih untuk mengabaikannya saja.Baru saja beberapa langkah saja, tangan itu sudah berhasil menarikku untuk ikut duduk ditempat yang biasa kugunakam untuk melepas penat."Kenapa?" Aku mencoba melepaskan eratannya, pemuda bermata biru itu hanya memaku didepanku dan belum mengucapkan sepatah katapun. "Kenapaaaa?" Aku menggeram."Anggap saja ucapan terimakasih." Dia memberikan sebatang coklat seperti yang biasa dibeli teman-temanku. Melihat dia pergi aku membiarkannya saja, karena pandanganku kini hanya berfokus pada coklat yang sepertinya sangat enak sekali. Sudah lama aku ingin memakan voklat ini, tapi selalu alasan uang yang membuatku tak bisa merealisasikan keinginanku sendiri.Setelah memghabiskannya aku segera pulang, berjlana dengan riangnya menuju rumah bibi yang berjarak tak cukup jauh dari lapangan ini."Sel apakah kau masih takut denganku?" Aku hanya diam saja mendengar pertanyaan yang keluar darinya. "Sel, masih seramkah aku untukmu?" Aku menggeleng dengan lambat, senyum yang awalnya mengembang berubah raut sedikit kaku. Apakah lelaki ini akan marah lagi?"Tuan..." Tuan Marcell menggeser duduknya untuk menjauh dariku, entah kenapa aku justru merasakan desiran yang begitu menghujam perasaanku. "Maksudku bukan begitu." Nafasnya terdengar berat, wajahnya dipalingkannya tanpa melihatku. Aku yang masih memaku ditempatku ini mulai merasakan ketakutan bila lelaki ini akan memunculkan sifat tempramentalnya. Tanganku saling bertemu diatas pangkuanku, mencoba mempersiapkan diri untuk menyambut keadaan bilamana tuan Marcell benar-benar akan marah padaku. "Sel, aku tak tau bagaimana caranya membuatmu tak takut lagi. Tapi selama kamu masih tinggal disisiku selama itu pula aku akan berusaha untuk menaklukkan amarahku." Tuan Marcell mendekat lagi
Baru saja aku membuka mata kala menyadari bahwa tempatku kini bukan lagi kamar usang dirumah bibi. Melainkan sebuah kamar mewah dengan ornament bertabur warna gold. Kulitku yang hanya memakai sehelai gaun tipis diterpa oleh pendingin ruangan yang sebelumnya juga tak pernah kurasakan dirumah bibi. Dimanakah ini?Disebelah kiriku, nampak tirai besar yang bisa kutebak ada jendela dibaliknya. Gegas aku melangkah kesana membuka tirainya yang memanglah ada sebuah kaca besar hingga memperlihatkan sesuatu yang sangat mencengangkan, ternyata bangunan ini berada dipesisir pantai dengan pemandangan yang begitu indahnya, namun tetap saja aku belum bisa menebak dimanakah aku berada sekarang ini. Ya aku hanya memakai gaun ini saja tanpa adanya pakaian dalam apapun bahkan pertanyaan siapa yang membawaku kemari saja belum kutemukan ditambah siapa pula yang sudah menggantikan pakaianku.Masih kuamati seisi ruangan ini, menemukan menu yang biasa kulihat di tayangan komersil televisi diatas meja sebel
"Turunkan pisaunya!" Kali ini suaranya sedikit merendah. Aku menggeleng cepat pertanda mengancam."Saya tidak main-main, apa bedanya anda yang melukai atau saya sendiri yang melakukannya." Sejenak melupakan semua perih bekas cambukannya semalam, belum lagi perihnya daerah pangkal pahaku ketika berlari kesini tadi. "Ya baiklah, aku akan keluar dari kamar. Bergeserlah dulu agar aku bisa berjalan melewati pintu itu." Dengan sedikit ragu, menuruti perintahnya tapi tetap memposisikan pisau ditanganku. Walau pelan aku tetap berusaha menggeser langkah agar lelaki itu bisa pergi dari kamar ini. Mata yang awalnya penuh amarah kini hanya nampak sedikit sendu. Dia menatapku tajam dengan mengayunkan langkah menuju pintu. Sepertinya dia tak berbohong , buktinya dia keluar dari sini. Tanpa ucapan apapun akhirnya lelaki itu pergi dan menutup kembali pintu itu. Aku bernafas lega, berjalan menuju ranjang mewah. Pisau kuletakkan dimeja dekat ranjang sebagai persiapan bila lelaki itu tiba-tiba datan
"Sempurna." Begitu ucap si pria maskulin yang sedari tadi meriasku. Mengeluarkan ponselnya lalu memotret wajahku. "Baiklah, sekarang bersiapalah untuk dibantai oleh tuan Marcell." Ucapnya.Kedua temannya sudah pula membereskan semua perkakas make up ketempat asalnya. Ketika dia akan beranjak pergi, aku gegas menarik ujung bajunya. "Aku ingin ikut keluar." Kutatap sosok itu pilu berharap dia bisa memahami keadaanku kali ini. Padahal kemarin aku yang menantang tuan Marcell untuk membunuhku tapi tetap saja aku merasa takut untuk menghadapinya. "No no no." Dia menunjuk kearahku. "Nanti aku yang akan dibunuh oleh Tuan Marcell." Dia lalu melepas tarikanku dan segera berjalan untuk keluar dari sini. Berkali-kali aku memghembus nafas kasar mengatur keteganganku sendiri. Baiklah, malam terakhir harusnya aku bahagia. Bukankah ini kemauanku sendiri?Tirai jendela yang belum ditutup itu pun akhirnya menjadi tujuanku kini, kalau pagi tadi pemandangan hamparan laut begitu indah namun malam ini h
"Jawab!" Lelaki itu membentakku. Aku yang masih mengenakan lilitan handuk dengan rambut yang masih basah inipun hanya terpaku ditempat. "Hanya pereda nyeri tuan." Jawabku ketakutan. Lelaki itu menatapku sangat tajam lalu berjalan mendekat. Menyeretku kearah kamar mandi, aku dipaksanya masuk kedalam bathup yang masih penuh dengan sisa rendamanku tadi. Tanpa seucap katapun dia menarik selang shower yang kemudian diarahkan keatasku. "Tuan, ampun." Dengan gelagapan aku berusaha berucap pada sosok yang seperti kesetanan itu. "Kamu berencana untuk bunuh diri lagi?" Kali ini dia menjambak rambutku hingga air dari shower itu mengenai wajahku. "Kenapa?" Apalagi yang bisa kulakukan, melawannya pun aku tak kuasa. Aku hanya bisa menangis dibalik suara air shower yang dia kencangkan. Memang lebih baik diam saja tanpa menjawab apapun. *Aku masih diam saja setelah lelaki itu menggantikanku handuk dan akhirnya sekarang sudah berada diatas ranjang. Dia dengan telaten mengeringkan rambutku denga
Lelaki seram itu dengan telaten mengobati sikut ku, sebenarnya tidak seberapa hanya sebuah luka kecil karena pecahan kaca dari lemari yang dia lempar vas bunga. Aku masih belum berani menatapnya. Lelaki ini sungguh tak bisa kutebak. "Benarkah kamu sangat takut melihatku?" Aku mengangguk tanpa melihatnya. Rasanya sudah tidak tahan sekali beberapa hari saja bersamanya. Lelaki itu meletakkan kembali peralatan p3k ke meja lalu kembali mendekatiku, tanpa aba-aba apapun dia memelukku. "Aku hanya takut kamu pergi. Cukup disini saja dan aku janji tidak akan menyakitimu lagi." Entahlah aku sendiri tidak bisa mempercayai ucapannya. Lebih baik sekarang untuk tidak mengucapkan apapun karena hanya akan memancing emosinya saja. "Mengerti?" Aku mengangguk, lalu tuan Marcell membetulkan posisi selimutku. Vika datang untuk mengantarkan makan siang. Tuan Marcell gegas mengambil alih nampannya dan segera mungkin memberi isyarat pada Vika untuk keluar. Kali ini lelaki yang seram itu mulai menyuapka
"Aku tidak percaya kalau tuan akan mau menuruti kemauanku." Aku masih membelakanginya karena memang ketakutan yang masih saja kurasakan ketika melihatnya. "Ya, asalkan kau tetap disini aku akan melakukan apapun. Walaupun harus memaksamu dahulu." Aku hanya menghela nafas panjang mendengar ucapannya barusan. Sebaiknya aku memang harus menerima takdir hidup sebagai tawanan manusia keji ini. Lelaki itu beranjak menaiki ranjang, aku bisa merasakan bahwa dia juga ikut tidur disebelahku dan kemudian melingkarkan lengannya ke perutku. Buliran air mata kemudian jatuh, entah apa yang akan terjadi selanjutnya. "Kamu ingat seorang anak yang kamu tolong lima tahun yang lalu?" Mendengar pertanyaannya membuatku kembali mengingat kejadian yang dia maksudkan. "Seorang gadis kecil yang menyembunyikan anak laki-laki dalam sebuah tong sampah yang berada diujung perbatasan kota." *Hari ini memang sangat sial sekali, buku tugas yang harusnya aku bawa kesekolah malah tertinggal dirumah. Biasanya aku se
*Aku langsung bangkit dari posisi rebahannku. Memandang kearah lelaki kaku tersebut, senyumnya terpoles seolah memahami apa yang sedang kupertanyakan.Bagaimana bisa aku menyelamatkan seorang lelaki yang malah membuat hidupku seburuk ini. "Tuhan memang mentakdirkan kita untuk bersama. Jadi jangan berfikir bahwa aku akan meelepaskanmu begitu saja." Dia berucap seolah tak pernah menyakitiku, bila memang Tuhan mentakdirkanku untuk menghabiskan waktu bersamanya seumur hidup, sungguh nasibku pastilah sial sekali. Lelaki didepanku kini masih mengulas senyum, debaran jantung seakan tidak beraturan. Seandainya dia sehangat ini sepanjang waktu pastilah aku tidak perlu lagi merasakan ketakutan. Aku masih memandamg kearahnya, menikmati senyum selagi masih nampak disana sebelum semuanya berganti dengan wajah kejam seperti yang selalu dia tampakkan."Kenapa memandangku seperti itu?" Tanyanya, benar saja rautnya seketika berubah masam. Aku langsung menundukkan kepalaku membayangkan siksaan apa