Share

bab 2

"Turunkan pisaunya!" Kali ini suaranya sedikit merendah. Aku menggeleng cepat pertanda mengancam.

"Saya tidak main-main, apa bedanya anda yang melukai atau saya sendiri yang melakukannya." Sejenak melupakan semua perih bekas cambukannya semalam, belum lagi perihnya daerah pangkal pahaku ketika berlari kesini tadi.

"Ya baiklah, aku akan keluar dari kamar. Bergeserlah dulu agar aku bisa berjalan melewati pintu itu." Dengan sedikit ragu, menuruti perintahnya tapi tetap memposisikan pisau ditanganku. Walau pelan aku tetap berusaha menggeser langkah agar lelaki itu bisa pergi dari kamar ini.

Mata yang awalnya penuh amarah kini hanya nampak sedikit sendu. Dia menatapku tajam dengan mengayunkan langkah menuju pintu. Sepertinya dia tak berbohong , buktinya dia keluar dari sini.

Tanpa ucapan apapun akhirnya lelaki itu pergi dan menutup kembali pintu itu. Aku bernafas lega, berjalan menuju ranjang mewah. Pisau kuletakkan dimeja dekat ranjang sebagai persiapan bila lelaki itu tiba-tiba datang lagi.

***

Entah sejak kapan aku tertidur, yang aku tau setelah lelaki itu pergi aku masih menangisi sisa-sisa kesakitan yang dia sebabkan semalam.

Baru saja akan bangun, lelaki itu sudah ada dihadapanku dan duduk disisi ranjang yang kutiduri. Ingat akan pisau yang kuletakkan tadi ternyata sudah tidak ada.

"Kamu mencari pisaumu? Mau mengancamku lagi?" Ucapnya santai tapi mampu membuatku ketakutan. "Jangan pernah lakukan hal bodoh seperti itu." Dengan cepat bangun dari tempatku lalu beringsut mundur hingga lupa bahwa aku sudah diujung ranjangnya.

"Tuan, saya mohon jangan aniaya saya lagi." Hanya bisa memohon dengan tangis yang berusaha kutahan.

"Dari pada menjadi gadis pembangkang, kenapa kamu tak menjadi gadis penurut saja." Tangannya mendekat kearah luka yang dia ciptakan semalam. Entahlah, sepertinya malam ini pun masih harus merasakan sakit lagi seperti semalam.

Setelah mendapatkan anggukan dariku, dia beranjak dari tempatnya itu. Masih kuamati dari sini yang ternyata tengah mengambil nampan berisi makanan lalu dia bawa kearahku.

"Makanlah cepat, Aku tunggu disini." Dia menyuruhku dan meletakkan nampan itu dipangkuanku, dengan tangan gemetar aku menerimanya. Sejak tadi aku memang belum makan, jadi tak kusiakan kesempatan ini dengan memakannya secara lahap tanpa peduli lelaki yang tengah memandangiku itu. Mungkin dia jijik melihat caraku makan, tapi aku berusaha tak mempedulikannya.

"Kamu tak takut aku meracunimu?" Aku menggeleng dan masih tetap melanjutkan makanku.

"Lebih baik bukan kalau saya mati secepatnya." Lelaki itu dengan kasar menarik tanganku.

"Jangan berbicara mati dihadapanku. Atau kamu memang mau aku bunuh secepatnya?"

"Memang itu yang saya mau tuan, secepatnya membuat anda muak dan membunuh saya." Jawabku tegas. Matanya berubah sangat tajam menatapku.

Bahkan aku sudah lupa hari apa ini? Karena sejak sadar berada diruangan ini belum sekalipun lelaki ini membiarkanku keluar kamar.

Terakhir kuingat bibi menyuruhku pergi kesebuah taman pinggir kota untuk mengantarkan pesanan telur asin yang biasa dia buat. Namun setelah sampai disana aku sudah tak mampu mengingatnya hingga tersadar sudah bangun diruangan ini.

Selama ini memanglah aku tinggal bersama bibi, adik dari ibuku yang sejak kecil mengasuhku sepeninggalnya orang tuaku. Walaupun banyak cacian dan kerap kali pukulan dia lakukan padaku, tetap saja tak mengurangi rasa sayangku untuk orang yang sudah banyak andil dalam membesarkanku itu. Namun kali ini aku tak menyangka bila ucapan lelaki itu benar bahwa bibi sudah menukarku dengan hutangnya, entahlah bagaimana lagi rasa yang tertinggal untuk bibi kesayanganku itu.

Aku melirik kearah lelaki yang masih memandangiku. Entahlah usianya berapa, tapi jujur saja wajahnya masih sangat tampan, matanya yang berwana kebiruan sepertinya memang bukan keturunan warga negara ini karena garis wajahpun lebih mirip orang luar.

"Habiskan!" Aku hanya diam saja, tanpa dia perintah aku pasti akan menghabiskannya. "Kamu mau apa lagi?" Kali ini menoleh kearahnya, kenapa bisa sikapnya menjadi hangat begini mengingat semalam dia seperti seorang iblis yang sedang dilanda amarah. "Mintalah apapun tapi jangan berharap untuk keluar dari sini."

"Tuan tidak sedang menyiapkan sesuatu untuk menghajarku lagi?" Dia tersenyum, sesaat aku terpana dengan senyumannya.

"Kenapa? Kamu ingin dihajar lagi?" Gegas aku menggeleng. Dia tersenyum lagi, sungguh sesaat aku lupa sakit karenanya. Aku gegas menggelengkan kepala untuk menetralkan fikiranku sendiri. "Akan kusuruh Vika untuk mengobati lukamu lagi " ucapnya lalu beranjak pergi keluar kamar.

****

Pagi ini sudah cukup baik ketimbang kemarin, rasa sakit ditubuhku pun juga sudah sangat berkurang karena Vika merawatnya dengan baik.

Lelaki yang kupanggil tuan itu juga belum menampakkan diri sejak kemarin. Ini lebih menakutkan karena mungkin ada suatu hal yang dia siapkan untukku nantinya.

"Sarapanlah!" Vika membawa senampan menu sarapan yang lumayan menggiurkan. "Tuan Marcell memintamu untuk memakainya nanti malam" dia juga meletakkan sebuah kertas kantong besar diatas ranjangku.

"Untuk apa?" Aku mendekati kantong tersebut untuk melihat isinya. Sebuah gaun berwana hijau dan sebuah heels yang tidak terlalu tinggi warna senada. Vika menatapku dengan tersenyum

"Gaunnya cantik sekali, pasti akan sangat cocok denganmu." Dirumah ini hanya Vika yang biasa berinteraksi denganku selali lelaki yang ternyata bernama Marcell itu.

Sembari memeperhatikan barang pemberiannya, fikiran burukku masih saja terbesit akan lelaki itu. Apakah sesuatu yang dia siapkan nanti akan membuatku merasakan sakit lebih dari malam itu?

"Vika, apakah tuan Marcell akan membunuhku?" Mendengar pertanyaanku malah membuatnya tertawa.

"Ya, dia akan membunuhmu malam ini." Vika mengusap lenganku lalu pergi keluar kamar. Benarkah itu? Apakah berarti malam ini adalah malam terkahirku?

Sepertinya aku memang harus mempersiapkan segala kemungkinan buruk nanti malam.

*

Aku terpaku menatap diriku sendiri didepan cermin. Gaun yang biasa kubayangkan kala menonton sebuah acara tv bertema putri tapi kali ini aku memakainya.

Apakah tuan menyiapkan segalanya ini untuk membuat akhir hidupku tak terlalu buruk? Seharian ini aku hanya memikirkan bagaimana nantinya tidak takut ketika mengahadapi takdir yang akan diakhiri oleh lelaki itu.

Suara pintu terbuka membuatku menoleh, seorang pria maskulin masuk kedalam lalu diikuti dua orang yang membawa kotak entah berisi apa.

"Wau, sangat cantik sekali." Ucapnya mendayu, aku hanya memicingkan mata menatap mereka bergantian. "Hanya butuh sedikit polesan." Lalu dia memberi isyarat dua temannya yang sejurus kemudian mereka sudah menyeretku untuk duduk ditepi ranjang. Apakah tuan Marcell juga menyiapan tiga orang aneh ini untuk ikut mengakhiri hidupku.

"Apakah kalian perias jenazah?" Aku bisa menebaknya dari barang-barang dikeluarkan salah seorang dari kotak yang dibawanya. Ketiga orang tersebut langsung tertawa. "Apakah benar? Untuk merias jenazahku nanti?"

"Sepertinya begitu." Ucap si pria yang sekarang sudah mulai sibuk pada wajahku. "Tuan Marcell memang sudah siap membantaimu malam ini."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Herlina Lina
perias jenazah......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status