Share

Budak Hasrat
Budak Hasrat
Penulis: Aisyah Fatimah

bab 1

Baru saja aku membuka mata kala menyadari bahwa tempatku kini bukan lagi kamar usang dirumah bibi. Melainkan sebuah kamar mewah dengan ornament bertabur warna gold.

Kulitku yang hanya memakai sehelai gaun tipis diterpa oleh pendingin ruangan yang sebelumnya juga tak pernah kurasakan dirumah bibi. Dimanakah ini?

Disebelah kiriku, nampak tirai besar yang bisa kutebak ada jendela dibaliknya. Gegas aku melangkah kesana membuka tirainya yang memanglah ada sebuah kaca besar hingga memperlihatkan sesuatu yang sangat mencengangkan, ternyata bangunan ini berada dipesisir pantai dengan pemandangan yang begitu indahnya, namun tetap saja aku belum bisa menebak dimanakah aku berada sekarang ini.

Ya aku hanya memakai gaun ini saja tanpa adanya pakaian dalam apapun bahkan pertanyaan siapa yang membawaku kemari saja belum kutemukan ditambah siapa pula yang sudah menggantikan pakaianku.

Masih kuamati seisi ruangan ini, menemukan menu yang biasa kulihat di tayangan komersil televisi diatas meja sebelah ranjang yang kutempati tadi. Tak ada pilihan lain kecuali memakannya, walaupun aku harus mati karena keracunan setelahnya dan berusaha tak menghiraukannya lagi.

Disaat tengah menikmati hidangan yang sangat lezat ini, samar kudengar suara derap langkah pelan mendekat hingga semakin jelas dengan adanya suara pintu yang terbuka. Menampakkan sosok tegap dan begitu mempesona.

"Kucing kecilku sudah bangun." Suaranya yang serak itu semakin mendekat namun bukan kearahku melainkan duduk disebuah kursi dihadapan ranjang yang tengah kududuki. Siapa dia? Dibalik ketampananannya, wajahnya yang begitu tegas seakan membuat nyaliku beringsut. Aku meletakkan piring bekas makanku pada tempat asalnya tadi lalu segera mengambil selimut untuk menutupi tubuhku yang pasti terlihat transparan olehnya.

"Bagaimana tidurmu semalam sayang?" Ucapnya dengan senyum yang menyeringai. Masih kutahan ketakutanku tanpa suara apapun. Aku hanya diam saja memandanginya walau sesekali menunduk ketika mata tajamnya menatapku.

Sosok itu membuka luaran jasnya dan melempar asal kelantai, melepas pula sepatu pantopel yang dia kenakan itu lalu berjalan mendekat kearahku.

"Anda siapa?" Aku memberanikan diri bertanya kala dia sudah ada didepanku.

"Panggil aku tuan!" Nadanya meninggi hingga membuatku semakin takut. Namun tangannya malah membelai wajahku hingga rambut yang sebagian terurai dia sibakkan. "Kucing kecilku, apakah kamu takut?" Dia terkekeh melihatku seolah mengejek. Badanku sedikit bergetar, pastilah fikiran buruk muncul tentang banyaknya dugaanku padanya. "Sungguh sebuah bayaran yang pantas." Aku menoleh karena tak mengerti dengan ucapannya.

"Tuan siapa?" Aku masih berusaha mencari jawaban. Kali ini dia malah mencengkeram kuat daguku dan didekatkan kewajahnya.

"Marina sudah memberikanmu kepadaku sebagai bayaran atas hutangnya." Aku terpaku akan jawabannya. Bagaimana mungkin bibi yang sudah kuanggap pengganti ibuku itu tega menjualku pada lelaki yang begitu kaku ini.

"Anda berbohong bukan?" Orang yang menyuruhku memanggilnya tuan itu tertawa lalu setelahnya menarik paksa selimut yang kugunakan untuk menutup tubuhku, matanya nyalang menatapku.

"Dua milyar sebagai bayaran yang harus kuberikan untuk wanita yang kamu panggil bibi itu." Aku semakin tak percaya, bibi tega menukarku dengan hutang dua milyar?

Saat aku fokus pada pertanyaanku sendiri laki-laki itu sudah semakin mendekat untuk mendekapku. Sekuat tenaga berusaha melepasnya namun kekuatanku sudah sangat dipastikan tak akan bisa mengalahkannya.

"Tuan, saya mohon jangan." Aku menangis sejadi-jadinya saat dia mulai mengikat tanganku kesisi ranjang dengan tali yang terletak di atas meja sebelah piring tadi. Rupanya dia sudah mempersiapkannya dan aku tak menyadari ini sebelumnya.

Senyumnya semakin menyeringai, dia melepas ikat pinggang berlogo sebuah brand ternama lalu mengayunkannya pada tubuhku, sangat jelas teriakan ketakutan dan kesakitan yang kukeluarkan tak mampu menghentikannya.

Aku hanya berharap dalam gelapnya cahaya yang kurasakan saat ini, semoga Tuhan mengehentikan umurku saja agar tak merasakan sakit yang luar biasa darinya.

***

Perih, satu kata yang bisa menggambarkan rasa yang tengah kutahan kini. Wanita paruh baya yang kuketahui bernama Vika ini mulai membersihkan luka memar bekas cambukan tuan semalam.

"Aku takut nyonya." Menangis terisak, wanita itu dengan lembutnya membelai kepalaku.

"Tuan Marcell sedang tidak baik-baik saja dan sedang melampiaskannya padamu." Ucapnya dengan tenang. Aku tak mengenal siapapun dirumah ini, bahkan lelaki yang sudah menyakitiku dan lebih parahnya memaksaku melayani nafsunya semalam itu semakin membuatku ketakutan.

"Sakit semua." Aku mengeraskan suara tangisku. Pantas memang kalau aku menyebut lelaki itu jahat. Dia sudah menghancurkan paksa mahkota yang kumiliki dan tidak hanya itu dia juga dengan membabi buta menghajarku habis-habisan. Tak bisa terbayangkan sakitnya seperti apa yang tengah kurasakan saat ini. "Aku ingin pulang saja."

"Semua yang sudah masuk kesini tak akan bisa keluar tanpa seizinnya." Wanita ini masih merawat luka memarku. Aku hanya pasrah saja seraya meratapi takdir yang rasanya begitu buruk dituliskan Tuhan untukku. Bila bisa memilih, ingin sekali mengakhiri semua ini secepatnya namun bagaimana caranya?

Belum reda tangisanku, suara derit pintu terbuka menampakkan sosok yang tengah ku obrolkan bersama Vika. Vika gegas berdiri membereskan sisa-sisa kapas yang berserakan diatas ranjang.

Kutarik kain baju Vika memberi isyarat agar tak meninggalkanku, namun dia hanya menggeleng dan melepaskan tanganku dari bajunya.

Lelaki itu mendekat lagi, aku berusaha menarik selimut yang tak jauh dariku namun kalah cekatan darinya. Lagi, senyum menyeringai yang menakutkan itu terpoles jelas. Entah apakah itu oertanda bahwa akan ada kesakitan lagi hari ini.

"Tuan, ampun. Maafkan saya." Tangisku masih terus menggema diruangan ini. Sesekali terbesit tanya, apakah tak ada seorangpun yang mendengar teriakanku. Tetap saja tak ada yang peduli denganku dan justru mengabaikanku.

Tangan lelaki itu menunjuk luka yang nampak disekitar bawah leherku. Memar yang sebagian terlihat kemerahan dan akan terasa sakit bila disentuh.

"Apakah ini sakit?" Aku tak menjawab dan kini hanya bisa menahan tangis karena takut yang semakin mendera. "Tuanmu bertanya, apakah ini sakit?" Aku mengangguk, namun bukannya bersimpati lelaki ini malah tertawa.

"Itu belum seberapa." Lanjutnya.

Lelaki yang kata Vika bernama Marcell ini maaih fokus menatapi lukaku hingga suara dering ponsel membuyarkannya. Dia berjalan menuju jendela yang menghadap pantai itu.

Sadar bahwa dia sedang tak memperhatikanku aku segera berlari menuju pintu kamar. Sial, terkunci.

Seraya mengakhiri obrolan telfonnya, dia mengayunkan sebuah kunci mengejek kearahku lalu mendekat. Aku yang paham situasi buruk akan datang lagi, dengan asal mengambil sebuah pisau tersaji bersama buah diatas meja.

"Apa yang akan kamu lakukan?" Tanyanya saat aku mulai mendekatkan pisau itu pada leherku. "Turunkan benda itu!" Teriaknya, aku semakin berani menantangnya.

"Sepertinya tuan begitu bahagia melihatku menderita bukan, sekarang waktunya saya pertontonkan bagaimana cara mengakhiri hidupku tanpa perlu anda turun tangan."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Herlina Lina
aduh... bab pertama udah mau main bunuh diri aja.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status