"Sempurna." Begitu ucap si pria maskulin yang sedari tadi meriasku. Mengeluarkan ponselnya lalu memotret wajahku. "Baiklah, sekarang bersiapalah untuk dibantai oleh tuan Marcell." Ucapnya.
Kedua temannya sudah pula membereskan semua perkakas make up ketempat asalnya. Ketika dia akan beranjak pergi, aku gegas menarik ujung bajunya."Aku ingin ikut keluar." Kutatap sosok itu pilu berharap dia bisa memahami keadaanku kali ini. Padahal kemarin aku yang menantang tuan Marcell untuk membunuhku tapi tetap saja aku merasa takut untuk menghadapinya."No no no." Dia menunjuk kearahku. "Nanti aku yang akan dibunuh oleh Tuan Marcell." Dia lalu melepas tarikanku dan segera berjalan untuk keluar dari sini.Berkali-kali aku memghembus nafas kasar mengatur keteganganku sendiri. Baiklah, malam terakhir harusnya aku bahagia. Bukankah ini kemauanku sendiri?Tirai jendela yang belum ditutup itu pun akhirnya menjadi tujuanku kini, kalau pagi tadi pemandangan hamparan laut begitu indah namun malam ini hanya bisa memandang kerlip bintang yang tak begitu terlilat."Bukankah bulan juga tak begitu terang malam ini." Suara serak yang begitu khas langsung membuatku menoleh keasalnya."Tu tuan." Aku sungguh sangat ketakutan menyadari sosok itu sudah berdiri disebelahku, karena takut aku sampai tak mendengar suara pintu terbuka. Dia hanya memandang langit dari jendela besar ini. Badanku semakin gemetar menyadari bahwa mungkin sesuatu buruk akan terjadi lagi."Kamu takut melihatku?" Tanyanya yang kali ini menolehku, aku masih berdiri ditempat. "Apakah setakut itu kamu denganku?" Kali ini mendekat. Aku langsung menutup mataku agar tak bisa melihatnya.Disela ketakutanku, tangan besar itu sudah meraih tanganku yang sekarang ada digenggamannya."Sudah?" Tanyanya lagi saat aku dengan pelan membuka mata walau ketakutanku belum juga berkurang. Lelaki itu sudah dihadapanku.Posturnya yang tinggi melebihi ku ini membuat wajahku berada tepat di dadanya. Aku mendongak ke atas untuk melihat secara jelas wajahnya yang ternyata juga menunduk untuk menghadap ku, posisi kita sekarang sangat dekat."Apakah masih merasa takut atau sudah sedikit berkurang?" begitu tanyanya, tangannya masih tetap menggenggam kedua tanganku. Entahlah aku masih diam terpaku menatap keindahan wajahnya itu."Baiklah, saya sudah siap bila tuan ingin menghabisi nyawa saya malam ini " aku mengatakan dengan sisa keberanian yang kumiliki. Kembali aku menutup mata untuk mempersiapkan diri apabila Tuan Marcel ingin menghabisi ku malam ini, semua doa kupanjatkan agar Tuhan memberkati sisa waktu yang ku miliki saat ini dan memberikan tempat yang terindah setelahnya.Cukup lama menutup mata hingga tersadar bahwa tangannya sudah beralih dikepalaku, menariknya pelan, dan saat membuka mata aku bisa merasakan kalau bibirnya tengah mengecup bibirku."Itu hukuman karena kamu sangat cerewet." lalu menarikku untuk berjalan keluar. Mungkin dia akan membawaku ke sebuah tempat peristirahatan terakhirku.Akhirnya, setelah berhari-hari terkurung disebuah kamar mewah itu aku bisa melihat luar kamar yang ternyata lebih mewah. Diluar kamar yang kutempati itu sudah ada beberapa orang yang berdiri didepannya, berarti selama ini mereka juga menjagaku, mungkin agar aku tak bisa kabur.Tuan Marcell masih berjalan cepat dan aku mengikutinya dengan sedikit berlari, sakit yang disebebakan hellspun mulai terasa tapi tak mungkin aku melepasnya.Pantai malam hari, walau nafasku masih memburu karena mengikuti langkahnya tapi cukup terpuaskan dengan melihat pemandangan indah ini."Duduklah!" Dia segera menyuruhku untuk duduk dikursi yang sudah disiapkan. Ini lebih seperti dinner romantis yang biasa kulihat diacara drama tapi apakah mungkin tuan Marcell yang menyiapkan semuanya?"Tuan, apakah ini sebuah acara perpisahan terakhir?" Aku bertanya mendekat karena suara deru ombak yang lumayan keras."Kenapa dari tadi kamu berbicara tentang kematian?""Bukankah malam ini tuan akan membunuh saya?""Benar, aku akan membunuhmu bila banyak biacara terus-terusan!" Dia tersenyum lagi, sangat berbeda dari malam itu kali ini tuan Marcell sangat sering tersenyum. Wajahnya yang tampan semakin membuatku terpana ditambah senyum indahnya itu. Ah, apakah mungkin aku menyukai seorang yang begitu jahat ini. "Kenapa menatapku begitu?""Senyum tuan sangat indah." Lalu aku tersenyum kearahnya.***"Bagaimana semalam?" Tanya Vika dengan senyum menggodaku."Katamu dia akan membunuhku, aku sudah sangat ketakutan seharian." Perempuan yang usianya jauh diatasku itu malah tertawa seraya memukul kepalaku dengan sendok yang ada dihadapanku. "Ternyata diluar sana pantainya sangat bagus sekali." Aku masih berseloroh dengan mulut penuh nasi yang dibawakan olehnya."Tuan Marcell masih menyakitimu?" Gegas aku menggeleng."Padahal malam itu dia seperti kesetanan. Aku bahkan sangat takut untuk melihat wajahnya lagi.""Jangan coba-coba untuk mengusik diamnya. Nanti dia akan marah lagi.""Aku bahkan tak pernah tau kesalahanku hingga dikurung disini tan dianiaya seperti itu." Bagaimana mungkin aku bisa menerima kenyataan yang kualami saat ini begitu saja. Sebelumnya aku masih seperti gadis lainnya yang berangkat bekerja paruh waktu disebuah tempat makan cepat saji lalu sesekali menghabiskan waktu sekedar bercengkrama bersama lainnya, tapi sekarang aku hanya bisa mengobrol dengan Vika dan sesekali bertemu lelaki yang mengurungku itu dengan perasaan takut yang belum bisa kusingkirkan."Sungguh gadis yang malang." Dia membelai kepalaku pelan. Bibiku saja tidak pernah bersikap sehangat ini. "Untuk saat ini lebih baik kamu menjadi gadis penurut saja." Aku mengangguk mengerti."Bolehkah aku meminta selembar obat pereda nyeri?" Aku merayu Vika agar memberikannya. "Badanku masih terasa sakit saat malam" kilahku, padahal aku sudah sangat jenuh dengan semua ini. Biarlah dianggap manusia tak bersyukur lalu apa pula yang harus kusyukuri dengan hidupku ini."Baiklah akan kubawakan setelah ini." Aku tersenyum. Masihkah aku memaklumi perubahan sikap lelaki itu yang tiba-tiba berubah hangat. Tentu ada hal yang sedang dia siapkan dan aku bisa saja mempermudahnya sendiri tanpa harus menunggu disini sendirian dalam ketakutan yang terus menemaniku.Apalagi yang harus kukerjakan kecuali hanya bisa menikmati makan yang biasa dibawakan Vika atau sekedar menikmati laut dari kaca besar ini dan setelahnya lelap tertidur dan begitulah terus setiap harinya.Setelah menyelesaikan suapan terakhirku, aku gegas pergi mandi. Sebenarnya tuan Marcell sudah menyiapkan segala kebutuhanku dikamar ini aku tinggal memakanya semauku.Kamar mandipun sangat mewah, kali ini aku memilih untuk berendam air hangat saja untuk meredakan linu dipangkal pahaku. Kadang aku menyesali sendiri kenapa harus melepaskan harga diri ini kepada lelaki yang begitu menyeramkan itu.Begitu rasanya linu dan nyeri mulai mereda, aku gegas menyelesaikan mandiku dan segera berganti baju untuk setelahnya segera tidur saja."Obat apa ini?" Suara khas dari sosok yang sudah duduk diranjang yang biasa ku tiduri. "Apa yang akan kamu lakukan dengan obat ini?""Jawab!" Lelaki itu membentakku. Aku yang masih mengenakan lilitan handuk dengan rambut yang masih basah inipun hanya terpaku ditempat. "Hanya pereda nyeri tuan." Jawabku ketakutan. Lelaki itu menatapku sangat tajam lalu berjalan mendekat. Menyeretku kearah kamar mandi, aku dipaksanya masuk kedalam bathup yang masih penuh dengan sisa rendamanku tadi. Tanpa seucap katapun dia menarik selang shower yang kemudian diarahkan keatasku. "Tuan, ampun." Dengan gelagapan aku berusaha berucap pada sosok yang seperti kesetanan itu. "Kamu berencana untuk bunuh diri lagi?" Kali ini dia menjambak rambutku hingga air dari shower itu mengenai wajahku. "Kenapa?" Apalagi yang bisa kulakukan, melawannya pun aku tak kuasa. Aku hanya bisa menangis dibalik suara air shower yang dia kencangkan. Memang lebih baik diam saja tanpa menjawab apapun. *Aku masih diam saja setelah lelaki itu menggantikanku handuk dan akhirnya sekarang sudah berada diatas ranjang. Dia dengan telaten mengeringkan rambutku denga
Lelaki seram itu dengan telaten mengobati sikut ku, sebenarnya tidak seberapa hanya sebuah luka kecil karena pecahan kaca dari lemari yang dia lempar vas bunga. Aku masih belum berani menatapnya. Lelaki ini sungguh tak bisa kutebak. "Benarkah kamu sangat takut melihatku?" Aku mengangguk tanpa melihatnya. Rasanya sudah tidak tahan sekali beberapa hari saja bersamanya. Lelaki itu meletakkan kembali peralatan p3k ke meja lalu kembali mendekatiku, tanpa aba-aba apapun dia memelukku. "Aku hanya takut kamu pergi. Cukup disini saja dan aku janji tidak akan menyakitimu lagi." Entahlah aku sendiri tidak bisa mempercayai ucapannya. Lebih baik sekarang untuk tidak mengucapkan apapun karena hanya akan memancing emosinya saja. "Mengerti?" Aku mengangguk, lalu tuan Marcell membetulkan posisi selimutku. Vika datang untuk mengantarkan makan siang. Tuan Marcell gegas mengambil alih nampannya dan segera mungkin memberi isyarat pada Vika untuk keluar. Kali ini lelaki yang seram itu mulai menyuapka
"Aku tidak percaya kalau tuan akan mau menuruti kemauanku." Aku masih membelakanginya karena memang ketakutan yang masih saja kurasakan ketika melihatnya. "Ya, asalkan kau tetap disini aku akan melakukan apapun. Walaupun harus memaksamu dahulu." Aku hanya menghela nafas panjang mendengar ucapannya barusan. Sebaiknya aku memang harus menerima takdir hidup sebagai tawanan manusia keji ini. Lelaki itu beranjak menaiki ranjang, aku bisa merasakan bahwa dia juga ikut tidur disebelahku dan kemudian melingkarkan lengannya ke perutku. Buliran air mata kemudian jatuh, entah apa yang akan terjadi selanjutnya. "Kamu ingat seorang anak yang kamu tolong lima tahun yang lalu?" Mendengar pertanyaannya membuatku kembali mengingat kejadian yang dia maksudkan. "Seorang gadis kecil yang menyembunyikan anak laki-laki dalam sebuah tong sampah yang berada diujung perbatasan kota." *Hari ini memang sangat sial sekali, buku tugas yang harusnya aku bawa kesekolah malah tertinggal dirumah. Biasanya aku se
*Aku langsung bangkit dari posisi rebahannku. Memandang kearah lelaki kaku tersebut, senyumnya terpoles seolah memahami apa yang sedang kupertanyakan.Bagaimana bisa aku menyelamatkan seorang lelaki yang malah membuat hidupku seburuk ini. "Tuhan memang mentakdirkan kita untuk bersama. Jadi jangan berfikir bahwa aku akan meelepaskanmu begitu saja." Dia berucap seolah tak pernah menyakitiku, bila memang Tuhan mentakdirkanku untuk menghabiskan waktu bersamanya seumur hidup, sungguh nasibku pastilah sial sekali. Lelaki didepanku kini masih mengulas senyum, debaran jantung seakan tidak beraturan. Seandainya dia sehangat ini sepanjang waktu pastilah aku tidak perlu lagi merasakan ketakutan. Aku masih memandamg kearahnya, menikmati senyum selagi masih nampak disana sebelum semuanya berganti dengan wajah kejam seperti yang selalu dia tampakkan."Kenapa memandangku seperti itu?" Tanyanya, benar saja rautnya seketika berubah masam. Aku langsung menundukkan kepalaku membayangkan siksaan apa
Aku menurut saja ketika tuan Marcell menyuruhku masuk kedalam bathup bersamanya dari pada harus berakhir dengan siksaan yang mungkin lebih sakit lagi. Dengan lembut menggosok punggungku dan beralih hampir kesemua bagian atas badanku seperti tengah memandikan anak kecil."Hari ini aku yang akan mengantarmu kerumah sakit untuk mengecek jahitan kakimu." Ucapnya. Aku melihat kakiku yang dia posisikan dipinggiran buthup dengan perban yang sudah basah. Menghela nafas berat seraya menikmati setiap sentuhan dari tangan lelaki yang ada dibelakangku ini. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya tepat dibelakang telingaku hingga mencoba untuk menepis semua desiran yang kurasakan dengan memejamkan mata sekuat mungkin. "Tuan Marcell terlihat fokus pada kemudinya. Aku yang duduk disebelahnya memilih untuk menoleh kearah jendela saja. Sengaja aku tak berucap apapun sedari tadi begitupun sebaliknya. Hingga aku merasakan sentuhan kulit tangannya yang sudah menggenggam tanganku. Mendekatkan tanganku p
Melihat tuan Marcell yang sangat hangat hari ini membuatku sedikit melupakan ketakutan yang biasa kurasakan setiap bersamanya. Ternyata dia sudah menyiapkan beberapa kotak berisi makanan yang diletakkan dalam satu tas. Begitu juga sekantong kresek makanan ringan dan softdrink. "Anggap saja kita sedang piknik." Ucapnya setelah menata semua makanan tadi diatas kursi semen yang juga kududuki. Memandang langit diujung sore bersamaan angin yang lumayan kencang berhembus. Senyumnya masih mengulas diwajahnya. "Apakah aku sangat menyeramkan sekali sehingga membuatmu takut?" Tanyanya saat aku tengah menyuapkan sesendok makanan kedalam mulutku. Aku menggeleng pelan, takut sekali rasanya menjawab iya. "Tapi kenapa kamu selalu berusaha pergi dariku?" Tanyanya lagi, aku hanya bisa menundukkan kepala seraya mengunyah makanan dengan pelan. "Aku menyakitimu?" Sekali lagi aku hanya menggeleng. Baru saja aku menikmati kehangatan akan sikapnya, kini dia sudah mencengkeram kedua lenganku. "Lalu kenap
Giliran tuan Marcell yang terpaku menatapku. "Sel, pulanglah bersamaku." Suaranya melemah, aku mencoba untuk melepaskan genggamannya tapi tetap saja tenagaku masih kalah dengannya. "Rumah itu khusus kubangun untuk kita tinggali."***Aku terbangun dengan sosok lelaki yang masih memelukku diranjang. Semalam dia tak melepaskanku dan tanpa banyak bicara langsung menggendongku untuk masuk kedalam mobilnya. Apa lagi yang bisa kulakukan kecuali hanya menurutinya saja dari pada harus mendapatinya dengan amarah yang meledak. "Selena." Suara seraknya memang sangat khas, bahkan ketika tenang seperti ini aku sangat menyukainya. Setelah bangun tadi aku langsung beranjak dari ranjang dan sekarang tengah berdiri di depan jendela memandang hamparan laut yang luas. Tangan tuan Marcell meraih tanganku dan seperti biasanya aku hanya diam saja tanpa menanggapi apapun. "Aku sudah jatuh cinta pada seorang gadis kecil yang sudah mamasukkan ku pada tong sampah la
"Vika, apakah kamu asli orang sini?" Aku bertanya kala Vika mengajakku duduk disebuah pinggiran pantai, lelaki botak yang kutahu bernama Nico itu juga ikut bergabung bersama kami. "Tidak, ibuku dulu juga pelayan keluarga besar Alexandro dikediamannya yang berada dikota X." Aku hanya mengangguk saja dan menebak mungkin yang dimaksudnya adalah keluarga tuan Marcell. "Rumah ini baru dibangun sekitar tiga tahun yang lalu hingga tuan Marcell membawa kita yang tinggal disini semuanya." Berarti benar yang diucapkannya semalam bahwa rumah ini sengaja dibangunnya untukku. Langsung saja menepis fikiran itu, tidak mungkin ucapannya benar. Nico membukakan tutup botol air mineral saat menyadari bahwa aku kesulitan saat akan meminumnya. Aku tersenyum kearahnya. "Kamu juga bukan orang sini?" Dia mengangguk lalu mengunyah sepotong kue yang dibawa oleh Vika dari rumah. "Berapa hari tuan Marcell akan pergi?" "Mungkin dua minggu." Kini mataku seolah membulat mendengar ucapan Nico. Wah kabar bagus sek