Share

bab 3

"Sempurna." Begitu ucap si pria maskulin yang sedari tadi meriasku. Mengeluarkan ponselnya lalu memotret wajahku. "Baiklah, sekarang bersiapalah untuk dibantai oleh tuan Marcell." Ucapnya.

Kedua temannya sudah pula membereskan semua perkakas make up ketempat asalnya. Ketika dia akan beranjak pergi, aku gegas menarik ujung bajunya.

"Aku ingin ikut keluar." Kutatap sosok itu pilu berharap dia bisa memahami keadaanku kali ini. Padahal kemarin aku yang menantang tuan Marcell untuk membunuhku tapi tetap saja aku merasa takut untuk menghadapinya.

"No no no." Dia menunjuk kearahku. "Nanti aku yang akan dibunuh oleh Tuan Marcell." Dia lalu melepas tarikanku dan segera berjalan untuk keluar dari sini.

Berkali-kali aku memghembus nafas kasar mengatur keteganganku sendiri. Baiklah, malam terakhir harusnya aku bahagia. Bukankah ini kemauanku sendiri?

Tirai jendela yang belum ditutup itu pun akhirnya menjadi tujuanku kini, kalau pagi tadi pemandangan hamparan laut begitu indah namun malam ini hanya bisa memandang kerlip bintang yang tak begitu terlilat.

"Bukankah bulan juga tak begitu terang malam ini." Suara serak yang begitu khas langsung membuatku menoleh keasalnya.

"Tu tuan." Aku sungguh sangat ketakutan menyadari sosok itu sudah berdiri disebelahku, karena takut aku sampai tak mendengar suara pintu terbuka. Dia hanya memandang langit dari jendela besar ini. Badanku semakin gemetar menyadari bahwa mungkin sesuatu buruk akan terjadi lagi.

"Kamu takut melihatku?" Tanyanya yang kali ini menolehku, aku masih berdiri ditempat. "Apakah setakut itu kamu denganku?" Kali ini mendekat. Aku langsung menutup mataku agar tak bisa melihatnya.

Disela ketakutanku, tangan besar itu sudah meraih tanganku yang sekarang ada digenggamannya.

"Sudah?" Tanyanya lagi saat aku dengan pelan membuka mata walau ketakutanku belum juga berkurang. Lelaki itu sudah dihadapanku.

Posturnya yang tinggi melebihi ku ini membuat wajahku berada tepat di dadanya. Aku mendongak ke atas untuk melihat secara jelas wajahnya yang ternyata juga menunduk untuk menghadap ku, posisi kita sekarang sangat dekat.

"Apakah masih merasa takut atau sudah sedikit berkurang?" begitu tanyanya, tangannya masih tetap menggenggam kedua tanganku. Entahlah aku masih diam terpaku menatap keindahan wajahnya itu.

"Baiklah, saya sudah siap bila tuan ingin menghabisi nyawa saya malam ini " aku mengatakan dengan sisa keberanian yang kumiliki. Kembali aku menutup mata untuk mempersiapkan diri apabila Tuan Marcel ingin menghabisi ku malam ini, semua doa kupanjatkan agar Tuhan memberkati sisa waktu yang ku miliki saat ini dan memberikan tempat yang terindah setelahnya.

Cukup lama menutup mata hingga tersadar bahwa tangannya sudah beralih dikepalaku, menariknya pelan, dan saat membuka mata aku bisa merasakan kalau bibirnya tengah mengecup bibirku.

"Itu hukuman karena kamu sangat cerewet." lalu menarikku untuk berjalan keluar. Mungkin dia akan membawaku ke sebuah tempat peristirahatan terakhirku.

Akhirnya, setelah berhari-hari terkurung disebuah kamar mewah itu aku bisa melihat luar kamar yang ternyata lebih mewah. Diluar kamar yang kutempati itu sudah ada beberapa orang yang berdiri didepannya, berarti selama ini mereka juga menjagaku, mungkin agar aku tak bisa kabur.

Tuan Marcell masih berjalan cepat dan aku mengikutinya dengan sedikit berlari, sakit yang disebebakan hellspun mulai terasa tapi tak mungkin aku melepasnya.

Pantai malam hari, walau nafasku masih memburu karena mengikuti langkahnya tapi cukup terpuaskan dengan melihat pemandangan indah ini.

"Duduklah!" Dia segera menyuruhku untuk duduk dikursi yang sudah disiapkan. Ini lebih seperti dinner romantis yang biasa kulihat diacara drama tapi apakah mungkin tuan Marcell yang menyiapkan semuanya?

"Tuan, apakah ini sebuah acara perpisahan terakhir?" Aku bertanya mendekat karena suara deru ombak yang lumayan keras.

"Kenapa dari tadi kamu berbicara tentang kematian?"

"Bukankah malam ini tuan akan membunuh saya?"

"Benar, aku akan membunuhmu bila banyak biacara terus-terusan!" Dia tersenyum lagi, sangat berbeda dari malam itu kali ini tuan Marcell sangat sering tersenyum. Wajahnya yang tampan semakin membuatku terpana ditambah senyum indahnya itu. Ah, apakah mungkin aku menyukai seorang yang begitu jahat ini. "Kenapa menatapku begitu?"

"Senyum tuan sangat indah." Lalu aku tersenyum kearahnya.

***

"Bagaimana semalam?" Tanya Vika dengan senyum menggodaku.

"Katamu dia akan membunuhku, aku sudah sangat ketakutan seharian." Perempuan yang usianya jauh diatasku itu malah tertawa seraya memukul kepalaku dengan sendok yang ada dihadapanku. "Ternyata diluar sana pantainya sangat bagus sekali." Aku masih berseloroh dengan mulut penuh nasi yang dibawakan olehnya.

"Tuan Marcell masih menyakitimu?" Gegas aku menggeleng.

"Padahal malam itu dia seperti kesetanan. Aku bahkan sangat takut untuk melihat wajahnya lagi."

"Jangan coba-coba untuk mengusik diamnya. Nanti dia akan marah lagi."

"Aku bahkan tak pernah tau kesalahanku hingga dikurung disini tan dianiaya seperti itu." Bagaimana mungkin aku bisa menerima kenyataan yang kualami saat ini begitu saja. Sebelumnya aku masih seperti gadis lainnya yang berangkat bekerja paruh waktu disebuah tempat makan cepat saji lalu sesekali menghabiskan waktu sekedar bercengkrama bersama lainnya, tapi sekarang aku hanya bisa mengobrol dengan Vika dan sesekali bertemu lelaki yang mengurungku itu dengan perasaan takut yang belum bisa kusingkirkan.

"Sungguh gadis yang malang." Dia membelai kepalaku pelan. Bibiku saja tidak pernah bersikap sehangat ini. "Untuk saat ini lebih baik kamu menjadi gadis penurut saja." Aku mengangguk mengerti.

"Bolehkah aku meminta selembar obat pereda nyeri?" Aku merayu Vika agar memberikannya. "Badanku masih terasa sakit saat malam" kilahku, padahal aku sudah sangat jenuh dengan semua ini. Biarlah dianggap manusia tak bersyukur lalu apa pula yang harus kusyukuri dengan hidupku ini.

"Baiklah akan kubawakan setelah ini." Aku tersenyum. Masihkah aku memaklumi perubahan sikap lelaki itu yang tiba-tiba berubah hangat. Tentu ada hal yang sedang dia siapkan dan aku bisa saja mempermudahnya sendiri tanpa harus menunggu disini sendirian dalam ketakutan yang terus menemaniku.

Apalagi yang harus kukerjakan kecuali hanya bisa menikmati makan yang biasa dibawakan Vika atau sekedar menikmati laut dari kaca besar ini dan setelahnya lelap tertidur dan begitulah terus setiap harinya.

Setelah menyelesaikan suapan terakhirku, aku gegas pergi mandi. Sebenarnya tuan Marcell sudah menyiapkan segala kebutuhanku dikamar ini aku tinggal memakanya semauku.

Kamar mandipun sangat mewah, kali ini aku memilih untuk berendam air hangat saja untuk meredakan linu dipangkal pahaku. Kadang aku menyesali sendiri kenapa harus melepaskan harga diri ini kepada lelaki yang begitu menyeramkan itu.

Begitu rasanya linu dan nyeri mulai mereda, aku gegas menyelesaikan mandiku dan segera berganti baju untuk setelahnya segera tidur saja.

"Obat apa ini?" Suara khas dari sosok yang sudah duduk diranjang yang biasa ku tiduri. "Apa yang akan kamu lakukan dengan obat ini?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Herlina Lina
udah nurut aja kenapa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status