Keke memandang Bujang tak percaya, dia ingin Bujang membantah, atau mengatakan bahwa masih ada kamar mandi yang lebih layak. Keke tak bisa membayangkan, bisa saja binatang dari dalam hutan, masuk ketika dia mandi."Abang serius? Ini?" ulang Keke lagi."Iya, memang tak sebagus kamar mandi kamu.""Bukan masalah bagus atau tidak, tapi, ini letaknya terpisah dari rumah." Keke cemberut, keinginan untuk buang air kecil sirna sudah.Bujang diam saja. Ini yang dikhawatirkannya, bahkan baru dua hari, Keke mulai menampakkan sikap tidak bisa menerima."Keke mau tidur."Keke membalikkan badan, melangkah ke tangga menuju rumah panggung, lalu masuk ke dalam kamar."Bahkan, plastik springbed pun tidak dibuka," gerutunya. Keke memijit keningnya, lalu sekali tarik, dia merobek plastik pembungkus springbed itu."Apa tidak ada alasnya?" keluhnya pada Bujang."Aku belum sempat belanja banyak." Pria itu membuka sebuah kotak yang berada di dalam peti kecil. "Ini, belilah apa yang menurutmu penting, apa saj
"Perlu bukti, Ke?"Keke terkesiap, antara terkejut dan panik, buru-buru dia mendorong dada Bujang, sehingga Bujang melepaskannya. Dia tak siap dengan gerakan mendadak Bujang, tak pernah terpikirkan akan mendapatkan kejutan mendadak seperti ini. Sungguh, Keke kaget.Keke sempat melihat senyum geli di bibir Bujang. Pria itu kembali tenang, setelah berhasil membuat jantung Keke berpacu kencang."Lain kali, jangan sembarang menuduh." Bujang kembali dengan wajah biasa. "Keke tak menuduh Abang, kan cuma bertanya. Tapi kok Abang malah gitu." Keke tak mau kalah."Dan aku akan membuktikan tuduhanmu salah. Masa aku punya kelainan, itu penghinaan namanya." Bujang kembali menghisap rokoknya santai. Keke yakin, saat ini bajunya bau asap, tapi lama kelamaan dia terbiasa melihat Bujang merokok."Masih mengherankan, Abang belum jatuh cinta sekali pun. Apa ada orang yang begitu? Kedengaran mustahil.""Ada, aku. Aku tinggal sendiri, terpencil pula, aku tak suka berteman dengan wanita, juga tak berniat
Bahkan besok paginya, Keke belum bisa mengembalikan Mood-nya. Masih ada yang mengganjal di hatinya, tapi dia tak mampu meluapkan. Semalam dia susah tidur, sementara Bujang tidur lelap seperti kerbau.Bujang meminta Keke mengantar kopi dan kue ke gudang. Keke sempat membuat goreng pisang setelah subuh, cukup untuk pengganjal perut.Luqman baru saja sampai, dia sempat menyapa Keke sebelum mengambil pahat. Keke menyahut tapi tak seramah biasanya, hal itu menimbulkan pertanyaan bagi Luqman."Jang, istrimu kenapa? Wajahnya cemberut seperti baju kusut." Luqman memandang punggung Keke yang telah menghilang di balik pintu rumah panggung."Tidak tau, dari kemaren begitu," sahut Bujang santai. Sesekali dia mengambil gelas kopinya dan menyesapnya sedikit. Tangannya terus bekerja."Kau harus banyak belajar, Jang. Keke itu ibaratkan anak remaja yang kau harus pandai-pandai dengannya. Menghadapi perempuan itu memang sulit."Bujang memandang Luqman sekilas, kemudian fokus lagi pada kuas cat di tang
"Eh, Keke," kata wanita itu dengan wajah berbinar. "Kak Endang, mau beli apa?" tanya Keke, dia tak sudi berbasa-basi."Aku nggak belanja, kok. Mana ibumu?" "Ada di dalam." "Sendiri saja, Ke? Bujang mana?"Keke merasa kesal bukan main, Endang selalu saja menanyakan suaminya."Mau jumpa sama Bang Bujang?""Tidak.""Kok nanya Bang Bujang terus, Kak?" "Iya, kan, kamu sama dia penganten baru, kemana-mana berdua. Wajarlah aku tanya." Endang tak mau kalah. "Aku mau jumpa ibumu." Endang berlalu tanpa menghiraukan Keke.Keke sebal, rasanya dia belum puas mengatai wanita itu. Kenapa Bujang bisa tertarik pada wanita itu di masa lalu, rasa-rasanya Endang bukan tipenya Bujang, lalu seperti apa itu tipe Bujang. Keke kesal dengan dirinya sendiri yang ingin tau.Endang ternyata tak lama, dia kemudian pamit pada ibu Keke, sempat menegur Bujang dan ditanggapi kalem oleh laki-laki itu."Kita langsung ke pasar saja, Ke.""Keke nggak bawa uang.""Ini ada." Bujang mengeluarkan dompetnya, menarik bebera
Keke memberi jarak walaupun tak rela, menunjukkan rasa nyaman di pelukan Bujang bukanlah ide yang bagus. Dia menyelipkan rambut di telinganya sambil menghapus air matanya. Dia benci dirinya yang tidak terkendali, dia benci saat dia sibuk memikirkan Bujang tapi pria itu bersikap biasa dan tanpa beban."Keke mau cuci tangan dulu," kata Keke bangkit, dia merasakan gugup, entah kenapa."Ke." Langkah Keke terhenti saat cekalan di lengannya terasa bagaikan listrik yang menggetarkan dirinya. Keke tak punya pilihan selain berbalik."Duduklah! Banyak yang harus kita bicarakan."Keke menurut, dia duduk di kursi rotan yang sudah dibuat Bujang menghadap kepadanya."Aku takkan mengikatmu, Ke. Lakukan apa yang kau suka, aku tau betul, terkurung di sini dengan kondisi terpencil dan kau jauh dari teman-temanmu, pasti itu sulit.""Maksud Abang? Keke boleh mengerjakan apa pun yang Keke suka?""Iya, kau tak harus mengikat dirimu, jika kau lelah dengan pekerjaan rumah tangga, kita bisa mencari orang untu
"Bang, ada tawaran pekerjaan, boleh, kan, Keke coba di sana?" tanya Keke sambil melipat kain. Situasi kembali cair setelah sama-sama canggung saat menemukan benda ajaib milik Keke. Celana dalam. Setiap mengingat itu, Keke sangat malu."Kerja apa?""Kasir minimarket, kerjanya cuma delapan jam. Gajinya lumayan.""Di mana?""Agak jauh, sih, Bang. Hampir dekat kota Pekanbaru."Bujang terdiam, dia mematikan rokoknya. Keke yakin, Bujang takkan mengizinkan, tapi hatinya bersikeras untuk mencoba peruntungan. Dua hari tinggal terpencil, dia benar-benar jenuh. Dia bahkan tak bisa melakukan apa-apa selain pekerjaan rumahtangga."Tidak ada yang dekat, Ke?""Belum ada, Keke juga mau ikut CPNS bulan depan. Ada pembukaan CPNS.""Kalau lulus gimana?""Ya, harus tinggal di sana. Bisa pindah kalau udah lima tahun kalau nggak salah."Bujang menghela nafas, dia turun dari kursinya, lalu duduk bersila di depan Keke. Tangannya ikut bekerja membantu melipat kain di depannya. Untung saja, Keke sudah hati-hat
"Abang marah?" Pertanyaan itu terlontar juga. Bujang memandang Keke sejenak. Menurut Bujang, Keke tak perlu bertanya, bukankah dia adalah wanita dewasa yang arif?"Buat apa aku marah?""Dari beberapa jam yang lalu, Abang menanggapi satu-satu saja setiap kali Keke bicara.""Ke, kau benar, kau punya masa depan yang panjang, punya ijazah yang kau perjuangkan selama empat tahun, terlalu egois rasanya kalau aku melarangmu. Jadi, aku tak punya pilihan selain mendukungmu. Jika kau memang ingin bekerja, atau ingin menjadi Pegawai Negri Sipil, pergilah!""Jadi, kalau nanti Keke lulus?" Keke bertanya gamang. Ini pertanyaan yang berat karena menyangkut masa depannya sendiri, dan masa depan pernikahan mereka."Aku tak bisa ikut denganmu, dan juga tak bisa memaksamu terus di sini, mungkin kita ambil jalan tengahnya saja, berjauhan untuk sementara waktu, mungkin kau bisa pulang sekali seminggu."Keke takjub dengan sifat pengertian Bujang. Di satu sisi dia merasa tak enak. Tapi di sisi lain, dia ing
Keke menatap Bujang gusar, hal tersial hari ini adalah dia tidak begitu teliti saat membaca catatan di undangan pesta, dia memakai dress putih karena kebetulan saja, kebetulan karena putih adalah warna kesukaannya. Sedangkan Bujang, dia menjadi ganjil dan pusat perhatian banyak orang.Tak sedikit yang berbisik dan tertawa cekikan sambil melirik Bujang, di antara ratusan tamu, Bujang malah lebih menarik dari pada penganten yang sedang bersanding. Dia menjadi bahan olok-olok.Keke merasa sikunya ditarik seseorang, Keke minta pamit pada Bujang yang mulai merasa risih. Namun pria itu masih bisa menguasai diri."Ke, itu suami kamu?""Iya," sahut Keke. Ini entah pertanyaan ke berapa dari orang yang berbeda. Kali ini dari Beti, teman akrab Keke. "Kamu gimana, sih? Nggak teliti, kan udah dibilang tamunya pakai warna putih, suami kamu pakai batik, celana jins, aduh! Semua orang menertawakan dia."Keke rasanya ingin memaki."Udah, nggak usah ngomong lagi." Keke pergi, dia menarik lengan Bujang