Pria paruh baya bernama Agus Gunawan itu merasa seperti tersambar petir di pagi hari yang cerah. Seorang anak majikannya berkata ingin menikahi salah satu putri kesayangannya. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Haruskah Pak Agus merasa senang mendengar kabar ini? Ya, betul. Ada setitik rasa kebahagian dalam benak Pak Agus. Pada akhirnya datang juga seorang pria yang meminta restu kepada dirinya untuk menikahi putri sulungnya yang sudah lama menyendiri. Tetapi yang menjadi pertanyaan Pak Agus adalah mengapa harus pria seperti ini? Bukan, bukan. Pak Agus sama sekali tidak meragukan ketulusan dan kejujuran pria itu.Pak Agus percaya, pria ini tulus mencintai putrinya. Jika tak mencintai, bagaimana mungkin ia mau membantu Pak Agus menangani masalahnya secara cuma-cuma. Pak Agus sebenarnya tahu bahwa tidak mudah dan tidak murah memakai jasa pengacara yang di rekomendasikan kepada dirinya. Bahkan sekarang, David ingin memindahkan perawatan Bu Tiwi ke rumah sakit yang lebih besar
Tidur siang Wenda terasa tidak nyaman dan juga tak nyenyak. Kondisi Ibunya yang tengah sakit menghantui pikirannya, walaupun tindakan operasi sudah berjalan dengan sangat lancar dan keadaannya kini juga sudah stabil. Ia sekarang terbangun dari tidurnya yang hanya berlangsung dua jam saja. Lalu beranjak dari ranjang dan menyiapkan segala sesuatu yang menjadi kewajibannya. Ia membereskan rumah dan memasak lauk pauk untuk Ayah serta ketiga adiknya nanti. Wenda pun dapat membayangkan, usai musibah ini terjadi, semuanya pasti akan berubah drastis. Ibunya dapat dipastikan tidak bisa beraktivitas seperti biasanya lagi. Serangan stroke itu akan membuat ibunya tidak mampu lagi menggunakan anggota tubuhnya dengan sempurna seperti dulu. Wenda pun telah siap jika harus membantu ibunya untuk menggantikan perannya di dalam rumah ini.Wenda telah selesai menyelesaikan tugasnya. Bersamaan dengan itu Santi tiba di rumah usai menyelesaikan kegiatan sekolahnya. Santi masuk ke dalam rumah
Wenda mengerjapkan mata dan mengerutkan keningnya sambil menatap ayahnya lekat-lekat. Ia sama sekali tak mengerti apa yang diucapkan ayahnya di sore ini. Ia yakin bahwa ia tidak salah mendengar kalimat pertanyaan yang keluar dari mulut ayahnya. Karena lorong ini sepi, tidak ada orang berlalu-lalang saat ini."Ayah ngomong apa sih? Hubungan apa?" tanya Wenda tak paham. "Tidak perlu kamu tutup-tutupi lagi hubungan itu di depan Ayah, Wenda. Ayah sudah tahu semuanya." ucap Pak Agus sambil memegang lengan Wenda seolah mencoba menguatkannya."Menutupi apa, Ayah? Wenda nggak ngerti!" pekik Wenda karena kesal. Ia tahu sepertinya Ayah salah paham akan situasi itu. Hal itu bukan seperti yang dibayangkan ayahnya. Mungkinkah ayahnya mengira ia memiliki hubungan spesial dengan anak majikannya itu? "Ayah tidak akan bertanya banyak hal padamu mengenai hubunganmu dengan Mas David karena dia sudah banyak cerita kepada Ayah. Dan Ayah sudah memutuskan untuk merestui kalian." lanjut Pak Agus yang kini m
Wenda mempertahankan langkah kakinya untuk tetap kuat berjalan, meski terasa lemas. Ia mencoba untuk terus berjalan hingga sampailah ia di mobil kesayangannya. Ia duduk di jok dan membenamkan kepalanya di antara kedua lengannya yang sudah bersandar di kemudi. Cairan hangat perlahan telah keluar dari bendungan bernama kelopak mata. Kejadian yang baru saja terjadi tenyata sangat membuat dirinya syok. David mencium tanpa seijinnya. Sekarang, lelaki itu telah sukses untuk merendahkan dirinya. Setelah ini, apalagi yang akan lelaki itu perbuat terhadap dirinya? Sebenarnya, Wenda datang untuk menemui pria itu karena ia lelah dibuat muak olehnya. Ia merasa tertantang dengan kesepakatan yang David buat. Ia mau David ikut bertanggung jawab atas musibah yang dialaminya. Karena dirinya-lah Ibunya telah jatuh sakit. Ingin rasanya ia menguras habis harta yang sangat dibanggakan dan dipamerkan oleh David itu. Wenda telah mengubah pola pikirnya, keluarganya bukanlah pengemis! J
"Hei, Wenda." seseorang menyapanya di saat ia tengah tertidur di bilik kamar penunggu pasien. Wenda sangat lelah sekali sore ini. Maka dari itu ia memutuskan untuk beristirahat sejenak, sebelum jam besuk sore hari dibuka.Siang tadi Wenda dan ayahnya telah banyak menerima teman serta kerabat yang datang untuk menjenguk ibunya. Mereka menanyakan kabar tentang kondisi Bu Tiwi yang terkini. Kebanyakan dari pembesuk itu memang tidak diperbolehkan untuk melihat keadaan pasien meskipun hanya dari balik kaca ruangan ICU. Selain demi menjaga kenyamanan dari pasien ICU itu sendiri, juga untuk keamanan dari petugas kesehatan agar tetap fokus dalam menangani pasien. "Oh hai Wina, Widya." Ternyata kedua sahabatnya datang untuk membesuk ibunya. "Sorry kita ganggu istirahatmu, Wen." ucap Wina sambil menghampiri Wenda yang sudah duduk di tepi ranjang. "Gimana perkembangan kondisi Ibumu?" tanya Widya menyerahkan sebuah bingkisan kepada Wenda. Ia lalu duduk di kursi yang ada
Dokter Rizal merupakan tipe dokter yang memiliki karakter gamblang dan tidak suka bertele-tele. Ketika apa yang menurut analisa dan logikanya bahwa pasien ini bisa sembuh ia akan berkata sejujurnya, tetapi jika tidak, ia akan berkata tidak. Untuk kasus kali ini, dengan berat hari Dokter Rizal akan berkata tidak. Meskipun, terkesan sangat tak manusiawi, namun hal ini ia lakukan demi kebaikan bersama. Ia tak suka memberi harapan palsu kepada keluarga pasien. Tentu saja, semua ini dilakukan untuk kemungkinan yang terburuk. "Sorry, Wenda. Meskipun operasi sudah sangat baik. Tetapi perdarahan yang dialami Ibumu sudah terlalu luas. Kemungkinan untuk-" Rizal berhenti berbicara dan menghela napasnya. Ia melihat mata Wenda sudah berkaca-kaca lalu tertunduk lesu. David pun sudah merangkul calon istrinya itu ke dalam dekapan. Lelaki itu mencoba menguatkan wanita di sampingnya. Rizal merasa terharu dibuatnya. Ia tak menyangka, akhirnya seorang David mampu melabuhkan hatinya hanya pada
David menghirup oksigen sebanyak-banyaknya yang ada di area taman ini. Ia tak menyangka bayangan wajah mamanya tergambar jelas di sana. Dasi yang melilit lehernya ia longgarkan karena rasa sesak di dadanya tak kunjung hilang."Mas David." sapa seorang dengan suara wanita kepada David. Mengganggu aktivitasnya saja untuk menyegarkan diri. "Hai, Wina." balas David setelah tahu wanita itu adalah salah satu teman Wenda yang menjenguk tadi. "Wenda ke mana, Mas?" tanya Wina penasaran karena David hanya seorang diri dan sedang tertegun di pinggiran taman. "Masih di dalam menemani Ibu." jawab David seadanya. Ia masih merasa sesak dan terlalu malas untuk berbicara dengan siapa pun. "Mas lagi sakit?" tanya Wina lagi. "Enggak. Ehm, Win. Aku mau ke toilet dulu ya." ucap David berusaha menghindar karena sudah lelah diinterogasi oleh Wina. "Kopi nih, Mas. Aku beli untuk kita berempat." Wina menyerahkan satu gelas kopi panas kepada David sebelum ia melanjutkan
Wenda membasuh wajahnya dengan air yang mengalir dari keran wastafel. Ia menatap dirinya yang terpantul dari cermin di hadapannya. Rasa lembut itu masih tertinggal di bibirnya. Ia tak menyangka dirinya akan bertindak hingga sejauh itu. Hanya demi meyakinkan David kalau ia serius menjalani peran dalam sandiwara ini. Wenda tak merasakan getaran apapun dalam dirinya sewaktu mencium David. Seolah ia telah mati rasa. Perasaan itu mungkin telah pergi seiring rasa kehilangan sosok ibunya yang masih koma. Ia sama sekali belum memberi tahu kabar terbaru ini kepada ayah dan adik-adiknya. Wenda berjalan untuk kembali ke kamar tunggu dengan langkah yang begitu lemah. Lengannya tiba-tiba terasa dingin yang menusuk, padahal jendela pada lorong yang ia lalui tidak ada yang terbuka sama sekali. Mengapa malam ini terasa sangat dingin? Setibanya di kamar tunggu itu, terdengar suara tangisan histeris dari seorang wanita. Para tetangga kamar pun sudah banyak yang keluar untuk meliha