"Mbak Wenda!" Santi menyapa Wenda dan langsung memeluknya erat ketika ia dan David masuk ke dalam sebuah kamar di mana inilah satu-satunya kamar yang paling besar di hotel ini, yaitu kamar President Suite.
"Selamat Pagi semuanya." sapa Wenda kepada seluruh penghuni di kamar itu. Ada Pak Johan, Bu Tina, Pak Agus, Dimas, Monic dan Santi. Mereka semua menginap di dalam satu kamar ini, sedangkan David dan Wenda di kamar terpisah. Mereka ternyata sudah menyiapkan diri untuk private breakfast di kamar ini."Pagi. Ayo duduk sini, Nak." ajak Bu Tina ramah sambil menepuk-nepuk bangku di sampingnya. Wenda pun membalas dengan anggukan dan tersenyum."Ayo San. Kita duduk di san!" ajak Wenda sambil menggandeng Santi. David pun melangkah terlebih dahulu dan menyiapkan kursi untuk Wenda dan Santi duduk."Makasih, Mas." David hanya membalasnya dengan senyuman ala kadarnya dan alis terangkat sedikit.Mereka duduk melingkari meja oval yang sangat besaDavid menurunkan tas miliknya yang terletak di kabin pesawat sesaat setelah pesawat itu mendarat dengan aman di Banda Udara Internasional Lombok. Tas itu berisikan laptop dan kebutuhan lainnya yang berkaitan dengan pekerjaannya. Ia sengaja meminta Gilang membawakannya secara diam-diam tanpa sepengetahuan Pak Johan. David tetap bersikap keras kepala meskipun Pak Johan memintanya untuk fokus saja pada momen bulan madu ini. Tetapi ia merasa butuh hiburan di tengah kegalauan mencari bagaimana caranya membuat Wenda jatuh cinta dan seperti inilah cara dia menghibur dirinya, yaitu dengan bekerja. David melihat Wenda nampak kesulitan mengambil tasnya karena terkendala dengan tinggi badannya terlebih - David tahu - tangannya pasti masih terasa sakit. David pun membantunya segera tanpa perlu mendengar permintaan tolong dari Wenda. David tahu, gadis itu mungkin masih marah terhadapnya. Wenda hanya bisa melongo sambil menerima tas miliknya. David pun berlalu pergi dengan cuek sambil m
Sesi curhat colongan itu terpaksa harus berakhir di tengah jalan. David pun kembali berkutat dengan laptop dan ponselnya dan Wenda telah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia menatap ke arah luar jendela yang pemandangannya lebih banyak menampilkan kegelapan daripada keindahan. Hingga pada akhirnya membuat ia sedikit terlelap di sisa perjalanan menuju hotel. Sedangkan Pak Mario dengan sadar diri membiarkan suasana yang hening terjadi di dalam mobil ini. Ia meyakini keheningan akan sangat dibutuhkan bagi Nyonya dan Tuannya itu. Mereka telah sampai di hotel yang jaraknya cukup jauh dari bandara itu sehingga membutuhkan waktu tempuh hampir 2 jam lamanya. Mobil mereka sudah terparkir di depan lobi hotel. Perjalanan yang lama itu membuat seluruh sendi-sendi di bagian tubuh David terasa kaku dan pegal. David melihat istri kontraknya itu masih terlelap dalam tidurnya. Ia pun mencoba membangunkannya sembari Pak Mario pergi memanggil petugas hotel untuk membantu membawakan koper mereka. "We
"Wen, kamu kenapa?" teriak David dari luar kamar mandi. "Aku kepleset, Mas. Auww." jawab Wenda sambil memegang kakinya yang terasa sangat sakit. Posisi Wenda masih ada di dalam bath up.Kejadian itu berlangsung sangat cepat sekali. Saat ia akan bangkit berdiri, dasar bath up itu terasa licin dan membuat kakinya tergelincir. Jadilah tubuhnya tercebur kembali ke dalam bath up yang masih penuh air dan busa. "Kepleset?" David nampak khawatir dibuatnya, "Kamu nggak papa? Butuh bantuan?""Ak-aku.. kakiku kayaknya terkilir, Mas." ucap Wenda yang tengah bingung bagaimana ia harus berdiri dengan kaki yang sakit karena terkilir itu. "Kalau gitu aku masuk ya, Wen?""Jangan, Mas!" teriak Wenda dengan segera karena saat ini ia tak memakai sehelai benangpun ditubuhnya. Tetapi kakinya begitu sulit untuk diajak kerjasama. "Gimana, Wen. Yakin bisa?" tanya David semakin khawatir. "Eee-" Wenda pun bingung apa yang harus ia la
"Wen, udah belum nangisnya?" tanya David setelah sampai di depan pintu kamar."Emangnya kenapa?" tanya Wenda menghentikan isak tangisnya."Mas, maaf bajumu jadi kotor." lanjut Wenda ketika tahu air matanya mengotori baju David. "Udah. Nggak papa. Bisa minta tolong ambilkan kartu hotel di saku belakang celanaku nggak?" Wenda mengernyitkan dahi tanda tak mengerti atas permintaan tolong David. "Pakai tangan kananmu yang ini nih." pinta David sambil mengedikkan salah satu bahu tempat tangan kanan Wenda sedang bergelayut. Wenda pun ragu dan menatap David. "Mas, kan bisa turunin aku dulu baru ambil kartunya." ucap Wenda memberi saran. "Kelamaan. Buruan cepet, tinggal ambil doang!" sentak David seperti tak sabaran. Wenda pun menuruti kemauan Tuan Muda itu. Ia meraba saku sebelah kiri terlebih dahulu yang ternyata kosong. Kemudian berganti saku sebelah kanan dan ia menemukan kartu itu di sana. Cepat-cepat Wenda membuka handle pintu i
David masuk ke kamar hotel tempat ia menginap dan tak menemukan sosok Wenda di sana. Ia baru saja pulang dari perjalanan bisnisnya. Proyek dadakan ini ternyata cukup menguras waktunya hingga malam menjemput.David melihat kondisi yang cukup menguntungkan dan strategis, membuat ia bermimpi ingin membangun sebuah hotel mewah di pulau ini. Maka dari itu, ia seharian bersama Pak Mario yang merupakan warga lokal di sini, berkeliling mencari tempat yang strategis untuk proyek dadakannya ini. "Kamu di mana, Wen?" tanya David setelah panggilan teleponnya diangkat oleh gadis itu. "Di mana? Suaramu nggak jelas." David mengulang pertanyaannya karena suara di seberang sana begitu berisik. Meskipun jawaban Wenda masih tidak jelas, David pun langsung tahu di mana keberadaan Wenda saat ini.Wenda ada di area restoran. Ia tahu, restoran hotel ini sedang mengadakan acara dinner party bagi para tamu hotel. Suara dentuman musik terdengar jelas dari panggilan di ponsel David tadi. Tanpa menunggu lama la
Pagi itu menjadi awal hari yang menyeramkan bagi Wenda. Ia bangun dari tidurnya yang terasa sangat melelahkan. Ia membuka matanya dan tak disangka ia langsung melihat sebuah dada yang bidang tanpa sehelai kain pun di hadapannya. Ia lalu terperanjat kaget dan bangun dari tidurnya. Dilihatnya sosok seorang pria yang tak lain dan tak bukan adalah suami dari pernikahan kontrak yang sedang ia lakukan. David! David tidur seranjang dengannya tanpa baju! Wenda melihat David masih tertidur pulas di atas ranjang yang sama dengannya. Jantungnya berdegup kencang saat melihat David tak mengenakan sehelai kainpun di dadanya. Tubuhnya bergetar saat melihat kedua bahunya juga terbuka. Ia pun perlahan membuka selimut yang melilit di bagian dadanya, dan ternyata.... "Aaakkkkk!!" Wenda memekik dengan kencang ketika melihat dirinya ternyata telah bertelanjang bulat di balik selimut itu. David yang mendengar Wenda berteriak lantas bangun dari tidurnya dengan wajah linglung.
"Ya ampun, sayang!" seru Bu Tina sedih ketika melihat menantunya pulang dari liburannya dengan kaki dan tangan terbungkus perban. "Kenapa bisa kayak gini sih, Nak?""Wenda terpeleset di kamar mandi, Ma." jawab Wenda mencoba untuk tersenyum di depan mertuanya. "Ya ampun. Selain kaki dan tangan ada luka lainnya nggak?" tanya Bu Tina kembali mengecek seluruh bagian tubuh Wenda satu per satu. Membuat Wenda merasa kikuk dan risih. "Ma, udah nggak ada yang lain, Ma." sahut Wenda mencoba menghentikan pergerakan Bu Tina. "Mama tenang aja, Wenda baik-baik aja kok." ucap David berusaha menenangkan ibunya yang nampak sangat khawatir. "Lagian kalian itu ada-ada aja, pakai acara kepeleset segala. Emang kalian ngapain di kamar mandi? Apa nggak enak di tempat tidur aja?" Bu Tina terus memberi pertanyaan di luar prediksi David dan Wenda. Membuat mereka kelabakan untuk menjawabnya. "Ma, bukan kayak gitu,""Iya, Ma nggak kayak gitu,
Pesawat David landing tepat pukul 11 malam Waktu Indonesia Tengah. Rasa lelah sudah menghantui tubuhnya hingga tanpa sadar ia salah mengambil koper saat bagasi pesawat mulai dibuka. Warna koper itu sama-sama hitam dan besarnya juga tak jauh berbeda. Namun perbedaan itu terletak pada motifnya. "Maaf, Mas. Itu koper saya." ucap seorang wanita tinggi semampai dan berambut panjang dengan model highlight. Jika wanita itu tak memperingatkan David sudah bisa dipastikan koper itu akan terbawa sampai ke hotel. "Oh iyakah?" David pun mengecek koper itu sekilas dan benar saja seperti apa yang diucap wanita cantik itu. "Maaf, Mbak, kopernya mirip. Ini saya kembalikan." David memberikan koper itu dengan perasaan malu dan canggung. Setelah mengucapkan terima kasih wanita itu pun berlalu pergi. Sedangkan David masih menunggu kedatangan koper miliknya. David menaiki taksi yang sudah tersedia di bandara. Untuk kali ini tidak ada supir pribadi utusan dari perus