"Bu, bagaimana kalau Elia lihat Mas Nata dulu?" Aku meminta izin.
Calon ibu mertua mengangguk. Sedikit ragu, namun kupaksakan kaki melangkah ke sana.Aku hanya berani berjalan sampai di bibir pintu, dari sana aku sudah dapat mendengar dan melihat sendiri Mas Nata sedang memarahi bahkan nyaris sedang memaki-maki anak lelakinya itu habis-habisan.Aku menarik napas berat, entah mengapa Mas Nata harus melakukan hal itu? Padahal semuanya bisa dibicarakan baik-baik. Apakah ini perangai calon suamiku yang sebenarnya? Hatiku jadi makin ciut dan takut, pasalnya aku tidak pernah membayangkan akan punya seorang suami dengan watak yang keras seperti itu.Aku mengusap dadaku, segumpal daging di dalamnya tengah berdetak hebat tak beraturan."Avin!!"Aku terperanjat mendengar Mas Nata berteriak sambil melayangkan tangan kanannya ke atas, sejurus dengan itu kakiku refleks berlari ke arahnya dan menahan tangan itu agar tidak mendarat di pipi Alvin."Apa-apaan ini, Mas? Tidak perlu seperti ini pada anak-anak," ucapku menatapnya tajam.Brakk. Kukembalikan tangan Mas Nata ke tempatnya."Sudah diam! Kau tak perlu ikut campur," sentaknya membuatku lagi-lagi terperanjat hebat."Tapi, Mas-""Diam," potongnya. Mendadak mulutku bungkam.Dan Alvin kulihat juga tengah menghujaniku dengan sorot yang menusuk, kerling kecil serupa kelereng itu seperti ingin menerkamku andai ia bisa."Semua ini gara-gara kamu!" semburnya kemudian.Aku terhenyak bebas, rasa sakit ke ulu hati lagi-lagi menusuk begitu saja."Alvin!" Mas Nata kembali mengangkat tangannya."Mas sudah cukup!" teriakku kencang."Biarkan saja, anak kurang ajar, tidak tahu sopan santun," pekiknya, emosi Mas Nata semakin meluap-luap.Plakk.Tamparan itu akhirnya benar-benar mendarat di pipi Alvin, terdengar keras sampai spontan aku membekap mulutku dengan tangan kananku."Mama ... Papa jahat," ringis Alvin sambil memegangi pipinya yang memerah. Anak itu menangis dan segera menelungkupkan diri ke atas kasur.Aku kembali menghela napas panjang."Mas, aku perlu bicara sama kamu."Aku menarik tangan Mas Nata keluar dari kamar Alvin dan membawanya ke balkon."Mas, kamu tidak perlu seperti itu sama anak-anak, itu namanya kamu sudah melakukan kekerasan terhadap mereka, bukan hanya fisiknya saja yang kamu sakiti tapi juga mentalnya akan hancur, Mas," tegasku.Entah dari mana aku tahu semua itu, meski aku belum melahirkan seorang anak naluriku tiba-tiba saja berkata demikian.Aku setuju jika Alvin sedikit kurang sopan padaku tapi aku sangat memakluminya dan aku benar-benar tidak suka dengan perlakuan Mas Nata pada anak-anaknya itu."Kamu belum tahu bagaimana anak-anakku, cara mendidik mereka itu memang harus keras agar mereka mau tunduk dan patuh padaku," tampiknya, Mas Nata kemudian memalingkan pandangannya pada jalanan yang masih ramai lalu lalang kendaraan."Tidak selalu begitu, Mas. Kalau anak-anak selalu dididik dengan cara yang keras, kasihan mereka, bagaimana kalau mereka ternyata tidak sanggup menerimanya, setiap anak lahir berbeda-beda, bagaimana bisa kamu sama ratakan cara mendidik mereka?"Aku bicara amat pelan, aku harap pria di sampingku ini akan tersentuh hatinya dan memahami semua maksudku. Tapi ternyata aku salah, Mas Nata malah berbalik menghardik alih-alih menerima omonganku."Kau tidak usah banyak mengatur, aku membawamu kesini agar kau bisa menjadi ibu yang baik buat mereka, tapi kau tidak bisa mengatur bagaimana cara aku mendidik mereka. Ingat, pernikahan ini bukan didasari karena aku mencintaimu melainkan karena aku dan ibuku membutuhkanmu untuk anak-anakku, jadi tolong urus mereka saja, bukan aku," pekiknya.Mas Nata lalu pergi ke kamarnya tanpa memberi aku waktu untuk bicara lagi.Aku menarik napas panjang, ya Allah bagaimana bisa aku akan menikah dengan lelaki yang hanya membutuhkan tenagaku saja?-Setelah berdiam sebentar di balkon, aku segera turun untuk beristirahat. Meski sebenarnya mata ini belum mengantuk tapi karena semua orang tampak sudah masuk ke kamar masing-masing, mau tak mau aku juga harus masuk dan beristirahat.Di kamar pikiranku gelisah, membayangkan kembali rentetan kejadian sejak tadi sore aku datang ke rumah ini, begitu banyak hal yang aku lewati meski baru beberapa jam saja aku di sini.Sekarang aku malah sedikit ragu apakah aku mampu menjadi anggota keluarga ini? Apa aku bisa hidup bersama seorang pria tempramen dan dingin seperti mas Nata? Aku sedikit menggigit bibirku.Tring.Ponselku dering, sebuah panggilan masuk dari ibu."Assalamualaikum, Bu.""Waalaikumsalam, Lia bagaimana semuanya? Apa baik-baik saja? Kamu belum menelpon Ibu sejak tadi siang berangkat ke sana," cecar Ibu."Baik Bu. Hanya saja ...."Aku sengaja tak melanjutkan ucapanku, entah mengapa tiba-tiba rasanya aku jadi tak bersemangat saat mengingat sikap Mas Nata."Kenapa? Calon Ibu mertuamu baik 'kan?""Baik Bu. Hanya saja anak-anak Mas Nata seperti belum siap menerima Lia," jawabku lesu."Oh itu sih wajar, Ibu pikir kenapa. Tidak apa-apa Nak, semuanya juga butuh waktu, kamu yakini saja bahwa dirimu itu bisa, lakukan yang terbaik dengan niat yang baik, Insya Allah semuanya akan berjalan lancar atas Ridho Allah," ujar Ibu di jauh sana, beliau tak putus asa terus memberiku semangat."Inget loh, Nak. Usiamu hampir kepala 3, jangan sampai kali ini gagal lagi, Ibu akan sedih kalau kali ini kamu gagal lagi."Nyesss, seketika hati terasa ngilu, lagi-lagi ibu bicara seperti itu. Sekarang kalau sudah begini mau bagaimana lagi? Bisa atau tidak aku harus tetap mencoba dan memaksa diriku agar tetap di sini dan melanjutkan pernikahan bersama Mas Nata."Ya sudah, kamu istirahat gih, nanti waktunya sahur kamu bangun lebih awal, siapin makan sahur untuk calon keluargamu, assalamuakaikum," tutup beliau, diakhiri ucapan salam."Iya Bu, wa'alaikumsalam."Aku mematikan ponsel, untung saja tadi ibu mengingatkanku soal makan sahur, saking peningnya kepalaku ini aku hampir lupa kalau sekarang adalah bulan Ramadhan.***Alarm di ponselku berbunyi di jam 2 pagi.Aku segera bangkit mengambil air wudhu, sebelum bertempur di dapur aku melaksanakan sholat tahajud dulu.Aku tahu setiap pertemuan bukanlah sebuah kebetulan, semuanya sudah diatur oleh Allah, hari ini mungkin aku masih merasa ragu pada diriku sendiri karena Mas Nata dan anak-anaknya terlihat belum menerimaku, tapi aku bisa meminta semuanya pada Allah, bukankah Allah yang maha membolak balikan hati manusia? siapa yang tahu esok mungkin berbeda.Yang jelas aku yakin semua yang terjadi pada hidupku ini adalah murni karena rencana Allah yang ingin mengajarkanku banyak hal agar aku bisa mengambil banyaknya pelajaran dari persitiwa demi peristiwa yang Ia berikan padaku.Aku bersujud lebih lama di saat sujud terakhirku, aku tak meminta banyak, aku hanya pasrahkan urusan dunia ini pada-Nya. Apapun ya Allah berikan padaku maka itulah yang terbaik."Ya Allah, aku pasrahkan semuanya, semua urusan dunia ini, aku tidak ingin tersesat dalam mengarunginya dan tolong kuatkanlah bahu," ucapku dalam hati.Hanya butuh waktu 20 menit, aku sudah selesai shalat. Aku segera menuju dapur untuk menyiapkan makan sahur. Kulihat dapur masih sepi, bibik rupanya belum bangun di jam ini. Sebenarnya tanganku masih sakit bahkan sekarang sudah terlihat bengkak di bagian yang tadi terkilir, tapi tidak apa-apa, aku rasa aku masih bisa kalau hanya untuk sekedar memasak."Nyonya, sudah bangun? Aduh maaf Nyah, saya malah keduluan." Bibik segera mengambil tugasnya, tampaknya beliau merasa tak enak hati karena aku sudah berada di dapur lebih awal."Tidak apa-apa Bik. Saya juga baru ke sini.""Ya tetap tidak bisa, Nyonya. Lagipula Nyonya ini kenapa harus bangun jam segini? Semuanya 'kan sudah ada yang atur, masakpun sudah menjadi kewajiban saya, kenapa Nyonya harus repot-repot?""Siapa yang repot? Saya memang terbiasa kok, Bik."Tak lama saat kita sedang asik memasak kudengar suara pintu rumah terbuka, aku pikir siapa yang masuk ke dalam rumah malam-malam ternyata Ayyara.Anak itu tampak baru pulang entah habis dari mana. Aku memandangi gadis itu lamat-lamat, pikiranku tiba-tiba saja teringat akan hal buruk. Anak gadis pulang menjelang pagi begini apa tidak apa-apa? Mas Nata apa tidak melarangnya? Habis dari mana dia?"Dari mana, Yar?" tanyaku kemudian.Ayyara menyipitkankan matanya saat mendengarku bertanya, tatapannya tidak berubah sejak tadi sore aku datang ke rumah ini. Masih menampakan kebencian dan ketidaksukaan padaku."Bukan urusanmu," decitnya. Gadis itu lantas menaiki anak tangga dan pergi ke kamarnya. Astagfirullah, aku mengelus dada, mencoba terus sabar memahaminya. "Non Yara memang sering pulang pagi, Nyah." Bibik berbisik di telingaku. Aku tertegun mendengarnya."Yang bener, Bik?" tanyaku tak percaya.Bibik menempelkan jari telunjuknya di depan bibir, "sssttt, jangan bilang-bilang sama orang rumah, Nyah," bisik Bibik."Memangnya kenapa?" tanyaku heran."Non Yara mengancam Bibik seperti itu, kalau informasi ini sampai di telinga Tuan Nata dan Nyonya Amara, Non Yara akan memecat, Bibik," jawab Bibik serius.Aku menarik napas panjang, jadi selama ini Ayyara sering pulang pagi dan Mas Nata tidak tahu? Ya ampun, entah apa yang sudah dilakukan gadis itu di luar sana."Sejak kapan Ayyara sperti itu, Bik?" tanyaku lagi."Seja
Tak lama bibik datang membawa air es dan larutan air garam, segera kubawa Adira ke toliet untuk berkumur, setelah itu aku mengompres pipinya yang bengkak dengan air es. Sekitar 5 menit mengompres Adira mulai sedikit tenang, ia tak begitu histeris seperti tadi."Besok kita periksa ke dokter gigi ya sayang." Cepat Adira menggeleng, wajahnya tampak ketakutan, entah karena takut dengan dokter gigi atau karena ia takut pergi denganku."Pergi ya Nak. Mumpung ada Tante Elia yang antar," bujuk calon Ibu mertua.Untunglah, setelah dibujuk oleh beliau akhirnya Adira setuju akan pergi ke dokter gigi."Terimkasih ya, Nak. Kalau tidak ada kamu entah Adira bagaimana, sakit giginya sudah lama tapi Ibu tidak bisa membawanya ke dokter, jangankan pergi ke dokter jalan ke depan rumah saja rasanya kadang tidak kuat, maklum sudah tua," ujar calon Ibu mertua. Aku mengulum senyum sungkan, "tidak apa-apa Bu, ini memang akan jadi tugas Elia 'kan?""Oh ya Bu, memangnya Mas Nata tidak tahu soal ini?" imbuhku
Sampai di depan pintu ruangan itu kulihat dengan baik-baik Ayyara sudah tidak ada lagi di sana. Sebelum pergi untunglah aku ingat aku harus melihat papan informasi yang dipasang di atas pintu ruang tersebut. Dan aku terhenyak, mendadak dadaku juga berdetak tak beraturan saat kulihat dengan jelas ternyata ruangan tempat dimana Ayyara tadi bicara dengan seorang dokter adalah poli 'KANDUNGAN'. Sedang apa Ayyara di poli kandungan?Apa di sekolahnya ada pemeriksaan yang mengharuskan dia pergi ke sini? Atau apa jangan-jangan, Ayyara ...? Astagfirullah. Aku menutup mulut dengan tangan, bukannya mau berpikir negatif, tapi gadis itu bisa saja berbuat yang tidak-tidak tanpa diketahui siapapun, lebih-lebih kondisi rumahnya sedang tidak baik-baik saja."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Pertanyaan seorang dokter membuatku mengerjap, dokter dari poli kandungan ternyata sudah berdiri tepat di bibir pintu ruangan itu.Kulihat papan namanya adalah dokter Fauzan, dokter itu tampak masih muda sekali,
Gara-gara Adira bicara soal Alvin, aku jadi teringat anak itu. Hampir saja perhatianku teralih semua pada Ayyara, padahal Alvin juga entah kemana sekarang. Kata Bu Nurma, Alvin tidak datang sekolah sudah seminggu lebih, alasannya sakit, padahal dari rumah dia berangkat setiap hari. Tidak aneh lagi, sudah pasti ada masalah juga pada anak itu.Ya Allah ... aku refleks memijit pelipis, terasa berat sekali rasanya tugasku nanti saat menjadi ibu tirinya anak-anak Mas Nata.Jujur sebenernya makin ke sini aku makin ragu, apa mungkin aku sanggup menjadi bagian dari mereka?Arghhh. Andai bukan karena ibuku, aku mungkin sudah kabur sekarang, mengurusi dan masuk di dalam keluarga yang berantakan tentu tidak akan mudah, apalagi aku tak punya pengalaman apapun sebelumnya. Tapi sisi lain aku juga kasihan sama anak-anak Mas Nata, mereka masih muda tapi kehidupan mereka sudah hancur berantakan.-Aku turun dari taksi setelah kami sampai di rumah. Meski tanganku masih sakit aku terpaksa harus mengge
Setelah mencoba semua baju pemberian Niami aku kembali pergi ke dapur untuk melihat bibik apakah bibik sudah datang atau belum."Bibik sudah pulang?" tanyaku sumringah saat melihat bibik tengah sibuk memberskan sayuran dari keranjang belanjanya."Iya Nyonya, saya baru pulang dari pasar, ada perlu sama saya, Nyonya?" tanya bibik balik, ia menyambutku dengan ramah."Bik, bisa antar saya pergi ke tukang urut? Tangan saya sepertinya tetap harus diurut supaya tidak bengkak begini." "Bisa Nyah, hayu pergi sekarang saja mumpung baru dzuhur." "Saya pamit dulu ke ibu mertua ya, Bik." Buru-buru aku menaiki anak tangga untuk menemui calon ibu mertua di kamarnya. Dan saat melewati kamar Mas Nata, kulihat Niami sedang tertidur pulas di sana, astagfirullah padahal mereka sudah cerai mengapa Niami masih saja berani tidur di kamar Mas Nata? Tentu saja aku sedikit kurang setuju, walau bagaimanapun Mas Nata adalah calon suamiku, sudah seharusnya mantan istrinya itu sekarang tidak lagi bersikap seper
Astagfirullah astagfirullah astagfirullah, aku menepuk-nepuk kening, sekuat tenaga membuang semua pikiran buruk yang bergulung di benakku."Kenapa, Nyonya?" tanya Bibik di samping."Tidak apa-apa, Bik," jawabku pendek, aku benar-benar sudah tidak karuan sekarang, aku ingin cepat-cepat sampai ke rumah.Taksi yang kami naiki segera meluncur membelah jalanan, menyatu bersama kendaraan lainnya di jalan raya. Aku mengembuskan napas lega, tentu aku sudah jauh lebih tenang sekarang.Ya Allah, sisi lain dari kehidupan kota ini ternyata benar-benar membuat aku syok, baru saja tadi pagi aku mendapat kabar yang seolah menghentikan kerja jantungku soal kehamilan Ayyara, sekarang aku malah harus bertemu gadis-gadis yang nasibnya sama seperti Ayyara di tempat seperti itu. -"Nyah bangun sudah sampai." Bibik membangunkanku saat kami telah sampai di depan rumah. Tak terasa lamanya di perjalanan membuatku tertidur di dalam taksi.Aku mengucek mata dan mengumpulkan nyawa, lalu bergegas turun."Terima
"Ibu kirain ada apa, bikin kaget aja sih, ada apa teriak-teriak?" cecar Niami seraya mengucek kedua matanya."Ada apa, ada apa, gak malu kamu masih tidur di sini? Sana pulang ke rumah kamu dan jangan pernah berani lagi tidur di kamar Nata, karena besok kamar ini akan jadi kamar Elia dan yang jelas kamu sudah tidak punya hak lagi, paham?!"Beringsut Niami bangun, "silakan saja, siapa juga yang akan kuat menikah dengan seorang pria dingin dan kaku seperti Mas Nata, ambil tuh kamar," tandasnya, Niami mengambil tas kecilnya lalu bergegas pergi dari hadapan kami."Sudah, ayo antar Ibu ke kamar," ucap calon Ibu mertuaku lagi setelah memastikan Niami pergi menuruni anak tangga.Aku mengangguk pelan dan bergegas mengantar calon ibu mertua ke kamarnya. Adira masih terlelap di kasur beliau rupanya, syukurlah tampaknya pengaruh obat dari dokter masih berreaksi."Bu, Mas Nata biasa pulang jam berapa?" tanyaku setelah calon Ibu mertuaku berbaring di sebelah Adira."Sebentar lagi, biasanya jam 5 a
Aku tersentak, jantungku mendadak melonjak tak karuan, kuremas jari jemari ini sambil kutundukan wajahku, aku tahu setelah ini Ayyara akan berulah."Yara tidak akan pernah menerima dia sebagai ibu tiri Yara," imbuhnya lagi.Gadis itu lantas berlari menaiki anak tangga dan pergi ke kamarnya, disusul Alvin yang sejak tadi diam seribu bahasa tapi wajahnya menusuk sampai ulu hati. "Keterlaluan," desis Mas Nata di sampingku. Ia keratkan gigi-gigi dan mengepalkan telapak tangannya.Tak lama dia juga bangkit dan menyusul anak-anaknya ke atas, entah apa lagi yang akan dilakukan Mas Nata pada anak-anak sekarang, yang kulihat jelas Mas Nata pergi dengan wajah tak biasa."Tidak apa-apa Nak, anak-anak hanya butuh waktu," bisik Ibu mertua sambil mengelus bahuku. Aku mengulum senyum getir. Setelah itu ibu membawaku ke kamar tamu, kamar yang tadi menjadi tempatku dirias. Tampak seorang perias itu menatapku iba saat melihat air mata tumpah di pipi."Tidak apa-apa Mbak, hal ini wajar kok," ucapnya.