Saat Rizki tiba di rumah dan kedua anak-anaknya tengah menikmati makan malam, ada notifikasi pesan dari mertuanya, orangtuanya almarhum Fani. Ikhda dan Itsna menikmati makan malam seperti biasa layaknya tidak ada apapun di keluarga kecilnya. Rizki memaklumi mereka karena mereka hanyalah anak-anak. Mereka belum layak menanggung beban pikiran apapun seperti yang tengah Ia hadapi saat ini.
"Ayah, ada telepon itu." Ikhda mengingatkan.
"Oh, iya, ayah angkat dulu ya," ujar Rizki sembari beranjak dari meja makan.
"Assalamu'alaikum." Rizki mengucapkan salam dan langsung terdengar suara ibu mertuanya di seberang sana meskipun tidak terlalu jelas. Rizki sampai mengerutkan dahi untuk menerka apa yang sebenarnya pasangan suami istri itu katakan, mereka terdengar seperti sedang bercerita.
Dari Putri, Rizki mendapat sedikit angin segar. Perempuan itu sudi membantunya dengan pinjaman uang tanpa bunga sedikitpun. Ia pun kembali ke kantornya untuk melanjutkan pekerjaan. Dengan suntikan dana dari Putri Ia bisa memperbesar peluang untuk memperbaiki segalanya. Diam-diam Ia menyewa beberapa orang untuk menyelidiki siapa sebenarnya pelaku pembobolan di perusahaan. Ketika Ia tengah menyandarkan badannya di punggung kursi, handphonenya berdering, ummi melakukan panggilan video."Assalamu'alaikum, Ummi," sapa Rizki dengan memaksakan wajahnya untuk tersenyum."Wa'alaikumsalam. Ada kabar apa di sana, Riz? Kok Ikhda sama Itsna jadi jarang main ke rumah simbah lagi?" tanya ummi."Alkhamdulillah sehat, Ummi. Ikhda 'kan sudah mulai banyak kegiatan di sekolahnya. Kalau Itsna aku rasa harus banyak beradaptasi dengan teman-temannya, jadi kalau bisa lebih baik bermain dengan teman-teman daripada dititipkan ke tempat ummi terus," ujar Rizki panjang lebar demi menyembunyikan alasan yang seben
Setelah berpikir matang-matang selama nyaris semalam suntuk, akhirnya Febi memutuskan untuk menerima tawaran Mas Alvian yang ingin menjemputnya berangkat ke kantor. Pelan-pelan, Ia membuka kamar ayahnya dan mengintip untuk memastikan ayahnya masih tertidur, biasanya ayahnya memang tidur lagi setelah sholat shubuh.Febi menyembunyikan motor matic-nya di garasi setelah mengeluarkan mobil ayahnya. Lalu Ia mengunci gerbang garasi supaya ayahnya tidak perlu masuk ke garasi dan melihat motor yang biasanya Ia pakai ke mana-mana masih ada di rumah. Untuk sementara dan mungkin selamanya, ayahnya tidak boleh tahu bahwa ada cowok yang datang ke rumah menjemputnya. Ia pun bernapas lega setelah semuanya beres. Tak jauh dari tempatnya berdiri di depan pintu gerbang rumahnya, motor Mas Alvian nampak mendekat."Assalamu'alaikum. Ini rumahmu?" tanya Mas Alvian saat menghentikan
Merasa sedikit tersentuh oleh apa yang disampaikan Pak Omar tentang pencapaian kehidupan lelaki single father itu, Rizki menepiskan rasa bersalahnya. Apapun yang terjadi di masa lalu biarlah berlalu. Entah mengapa jika sudah menyinggung pilihan hidup, Rizki merasa bersalah pada Fatma. Pak Omar juga seperti dirinya yang ditinggal oleh perempuan yang sangat dicintainya. Lelaki itu membesarkan anaknya seorang diri, Rizki pun juga demikian."Ikhda, lain kali nggak usah ngotot untuk berebut hal yang nggak penting ya," ucapnya pada anaknya yang masih duduk terdiam di sampingnya."Tapi ayah, anak ingusan itu terus membuliku. Katanya aku lahir dari batu seperti kera sakti karena nggak punya ibu. Padahal Bunda 'kan emang udah meninggal," jawab Ikhda."Nah, itu tahu kalau pendapatnya salah. Ya sudah nggak usah diladenin
Rizki hanya melihat anak tersebut yang nampak mengutak-atik tanpa kesusahan, betapa terkejutnya Rizki karena anak itu berhasil menemukan ada kabel yang putus. Ia lalu mengambil sesuatu di jok motornya untuk menyambungkan kembali kabel itu."Setelah ini, kemungkinan besar sudah bisa jalan lagi, Mas. Kok bisa putus ya, ini putusnya rapi banget pula," gumam anak itu."Alkhamdulillah. Saya juga tidak tahu itu kenapa, Mas. Oh iya, ini ada rezeki buat Mas. Terima kasih sudah bantu saya." Rizki mengeluarkan selembar uang tunai."Maaf, Mas. Nggak usah, saya juga lagi nabung pahala, saya ikhlas," ucapnya."Oh ya udah, Mas. Terima kasih banyak. Ini kalau butuh apa-apa bisa hubungi nomor ini ya." Rizki mengeluarkan selembar kartu nama kepada anak itu.
"Hallo, assalamu'alaikum.""Kok nggak nyambung lagi ya?" gumam Hikam saat mencoba menghubungi Rizki.Hikam mengirimkan pesan dan mengabari bahwa dirinya sudah menemukan orang yang tepat untuk membantu Rizki. Ahli hukum tersebut selalu menyelesaikan masalah dari akar-akarnya sehingga klien merasa puas. Satu menit setelah pesannya terkirim, Rizki pun balik menelponnya."Assalamu'alaikum, Mas. Maaf tadi lagi nyetir," sapa Rizki."Wa'alaikumsalam, ya sudah nanti saja, Riz. Ini cuma mau ngabarin kalau Pak Alfonso yang mau bantu minta ketemu langsung," ujar Hikam menjelaskan ulang."Baik, Mas. Oke-oke, mintakan jadwalnya saja atau nomornya langsung biar aku hubungi," sahut Rizki di seberang sana dengan semangat.
"Ayah, ada telfon." Ikhda mengantarkan handphone Rizki yang sudah berdering lama ke meja makan. Awalnya Rizki berniat meninggalkan handphone-nya beberapa saat ketika berada di rumah karena sudah sangat penat."Terima kasih, Nak," gumam Rizki. Ia mengerutkan dahi ketika pengacara yang disewakan Hikam menelpon. Lelaki itu baru mulai menyelidiki kantornya diam-diam, Rizki pun ragu ketika akan mengangkatnya."Assalamu'alaikum, maaf ada apa ya, Pak?" sapa Rizki. Semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk, tanpa alasan yang jelas tiba-tiba perut Rizki terasa mual."Wa'alaikumsalam," jawab lelaki itu kemudian tertawa, membuat Rizki semakin bingung. "Petunjuk ada di depan mata ternyata, Pak Rizki," ujar Pak Alfonso."Ma ... maksudnya, Pak?"
"Pak Tegar siapa?" bisik Pak Alfonso pada Rizki."Manajer bagian produksi," jawab Rizki dengan bibir masih bergetar."Tim kita akan menyelidiki lebih dalam." Pak Alfonso memberi kode yang hanya ditanggapi dengan anggukan oleh Rizki."Pak Tegar siapa yang Anda maksud?" desak polisi yang memeriksa."Bapak manajer produksi." Mereka menjawab dengan tidak yakin dan nampak memandang satu sama lain, mungkin menyesal telah menyebut nama itu. Tetapi bagaimanapun sudah terlanjur, ucapan yang sudah meluncur dari mulut tak bisa ditarik lagi."Baik, pemeriksaan untuk sementara sampai di sini dulu. Namun Anda semua tetap kami tahan sampai keputusan selanjutnya," ujar polisi.Tak berselang lama, Pak Tegar, salah satu manajer sekaligus orang terdekat Rizki pun dibawa oleh polisi. Rizki tidak bisa berbuat apapun saat bertemu pandang dengan lelaki beruban tersebut. Ia bahkan tidak tahu apa yang tengah dirasakan. Ia tidak tahu apakah harus berbahagia atau justru merasa miris.Sudah berminggu-minggu Rizk
Karena beberapa minggu terakhir ini bisnis dengan Rizki dan Hikam tidak terlalu menjanjikan, Pak Omar mencari jalan lain meski masih dengan pekerjaan yang sama, distributor kelas atas. Ia menyalurkan produk dari pabrik ke toko-toko raksasa, ataupun menyalurkan produk setengah jadi ke perusahaan lain."Lah, itu Febi di depan pintu," batinnya saat melihat anaknya dari kejauhan. Gadis itu tengah memegang notebook dan nampak sibuk menerima laporan-laporan dari karyawan lain.Saat Febi selesai menerima laporan dari para karyawan lelaki yang kini berhamburan ke kafe dan pedagang kaki lima di depan gedung, Pak Omar melambaikan tangan ke gadis itu. Ia sengaja menunjukkan bahwa dirinya tengah ada di sini. Namun gadis itu nampak pura-pura tidak tahu dan mengabaikannya. "Pak Omar?" Sebuah suara mengagetkan Pak Omar."Oh, Bapak. Selamat sore, Pak." Pak Omar menyapa balik dengan tergesa-gesa."Selamat sore, ternyata Bapak sudah di sini. Kenapa tidak langsung ke ruangan saya, Pak?" Pak Arman yang