“Mereka masih hidup?” “Iya, aku menemukan mereka ketika aku sedang mencari tahu tentangmu. Aku tidak mau memiliki istri yang punya penyakit keturunan, itu alasanku mencari tahu tentangmu.” Raya terdiam, dia berbalik dan kembali membereskan tumpukan file itu sambil menahan sesak di dadanya, “kamu mau mandi sekarang?” Andro tahu Raya sedang mengalihkan perhatian untuk menutupi kesedihannya. “Aku sudah mandi,” jawab Andro. Seketika itu Raya seolah lupa dengan semua kenikmatan yang dia dapatkan dari Andro. Tatapannya kosong, membuat Andro khawatir. “Aku mau mandi dulu,” pamit Raya. Andro membiarkan Raya pergi. Dari dalam kamar, sesekali Andro melihat Raya melalui kaca tembus pandang. Bagaimana Raya berendam dalam bathtub dengan diam, semua sinar dan cahaya keceriaan di wajahnya seolah sirna dan Andro turut merasakan itu. Nafsunya langsung hilang. Kini Andro justru ingin memeluk tubuh nan gusar itu. Saat Raya keluar dari kamar mandi, Andro menyerahkan sebuah paperbag, “kita akan turu
Di rumah, Raya lebih banyak diam, dia meringkuk diatas kasur, menahan tangis dan memikul bebannya sendiri. Raya baru bergerak saat merasakan Andro berbaring di sampingnya. Raya berbalik menghadap Andro, “kau tidak ingin makan malam bersama Oma?” “Belum lapar.” “Oke, aku juga belum lapar.” Raya kembali diam saat Andro sibuk dengan ponselnya. Andro menyadari perasaan Raya, di akhirnya menyimpan ponselnya. “Kenapa kau harus sedih, kau punya aku yang tampan dan kaya. Apa yang kurang dari hidupmu?” Andro bermaksud menghibur dengan menyombongkan dirinya. Raya diam. “Kau bisa membeli apapun yang kau inginkan kalau bersamaku, aku akan membuatmu senang dan bisa melakukan apapun. Kau tidak perlu orang seperti mereka yang hanya memberimu rasa sakit, sudah, lupakan saja. Lebih baik ingat aku saja terus!” Raya masih diam pikirannya berkecamuk pada orangtuanya. Mengapa mereka tega meninggalkannya? “Kau punya suami yang tampan dan menawan, aku juga tidak lumpuh seperti dulu.” Kenapa mereka t
Tubuh Raya bergetar ketika satu persatu pakaiannya melayang diatas lantai. Begitu pula dengan milik Andro. Pria itu seolah kalab, hingga membuat Raya berkata, “Sayang… pelan!” Dan saat itulah Andro menatap wajah Raya, dia mengusap kening istrinya. “Aku akan pelan-pelan, jangan khawatir.” Mata Raya terpejam saat Andro kembali menciumnya. Tangannya yang kekar menyentuh tubuh yang sudah polos, dengan lembut Andro menyentuh dada Raya, membuat pola abstrak diatas dada Raya. Ketika ciuman Andro turun ke leher, Raya memalingkan wajah dengan mata terpejam. “ Sayang…” “Aaakh…” Dada Raya membusung ketika Andro mencium inti miliknya. “Jangan, jangan disana!” Namun Andro tidak mendengarkan, membuat Raya semakin meracau. Dengan sengaja, Andro menghentikannya sebelum Raya sampai ke puncak. “Sayang,’ ucapnya frustasi. “Kau mau keluar, Raya…” Andro membuka pakaian yang tersisa di tubuhnya dengan terus menatap Raya. Andro kembali merangkak, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Raya. Menciumnya
Andro tidak berhenti memandang Raya yang terlelap dalam pelukannya. Setelah makan tengah malam, mereka tidak melanjutkan lagi berhubungan. Andro tahu Raya lelah dan butuh istirahat, apalagi pagi ini mereka akan pergi ke tempat dimana Raya dulu pernah tinggal. Raya harus mempersiapkan mentalnya, itu membuat Andro tidak tega, apalagi melihat pangkal paha Raya yang memerah karenanya.Hingga perlahan rasa kantuk menyerbu Andro. Dia memejamkan matanya perlahan dan pergi ke alam mimpi.Tepat pukul tujuh, Raya terbangun lebih dulu. Namun ia enggan terbangun dari pelukan Andro, dia hanya menggerakkan bola matanya untuk menatap objek di depannya.Suaminya begitu tampan, Raya akui itu. Saat ini, bayangan bibir seksi Andro yang memanjakannya terngiang di kepalanya, mata Raya tak sedikitpun melepaskan pandangannya dari wajah suaminya itu.“Sepertinya kau suka mengagumiku?”“Sayang… Kau sudah bangun?”Raya semakin terkejut ketika melihat mata Andro yang mulai terbuka.“God morning.” Sapa Andro.“Mo
Raya memegang tangan Andro kuat-kuat. Merasakan sesak ketika seorang wanita yang diyakininya adalah ibunya tidak mengenalinya. Andro juga menggenggam tangan Raya dengan kuat. “Boleh kami bicara sebentar?” Wanita itu melihat ke sekeliling rumah sebelum akhirnya mempersilahkan masuk. Sebuah rumah kuno, hanya ada ruang tamu dari kayu dan tabung televisi dengan beberapa ruangan kosong. Kasur lantai terlipat di lantai yang terbuat dari semen. “Untuk apa kalian kemari, apa yang kalian inginkan?” Raya hanya diam, hatinya berkecamuk. Sepertinya, dia mengenali Raya. “Kau tidak ingin menyampaikan sesuatu pada istriku?” Tanya ANdro. “Tidak ada yang perlu kukatakan padanya,” ucap wanita itu menatap tajam Raya. “Kau pasti sudah tahu bukan?” “Saya tidak tahu apapun,” ucap Raya dengan suara tercekat menahan tangis. “Kau tahu! Aku dan suamiku tidak ingin lagi berhubungan denganmu! Meskipun dalam dirimu mengalir darah kami berdua, itu tidak berarti apapun. Kau bukan siapa-siapa bagi kami.” “M
Raya bersandar pada dada Andro selama perjalanan di dalam mobil, setelah sampai di helipad terdekat, Andro memutuskan untuk menggunakan helikopter untuk mempersingkat waktu. Di jakarta, pekerjaan Andro sudah siap menghadang, Andro harus kembali ke dunia nyata. Dengan Raya yang masih enggang melepas pelukannya, Andro harap semua akan baik-baik saja. Saat sampai di kediaman Prakarsa, Andro membangunkan Raya. “Bangun, Raya…” “Eum, sudah sampai?” “Aku tahu pelukanku sangat nyaman. Raya hanya diam, dia keluar dari helikopter dengan kepala yang masih pusing. Hingga hampir terjatuh, beruntung Andro menahan pinggangnya. “Masih pusing?” “Tidak apa-apa.” Andro menuntun Raya menuju rumah. “Kenapa sepi sekali?” Gumam Raya. Dan saat Andro membuka pintu. “Halooo! Selamat datang!” Teriak Oma lalau diusul suara terompet. “Selamat atas kesembuhan cucuku Andro dan mulainya produksi home industri kalian!” Mata Andro melotot, bukan hanya ada Oma disini. Ada kedua sahabatnya dan banyak lagi ke
Setelah kehebohan itu, Oma terus saja mengomel waktu akhirnya tahu apa yang terjadi sebnarnya. “Kau tahu Ria sedang tidak enak badan, tapi terus saja disuruh produksi kue mochi. Benar-benar kau ini…” “Bukankah Oma yang menginginkan segera punya cicit? Ini aku sedang berusaha.” Jawab Andro. Oma terkejut mendengar jawaban cucunya yang selama ini kaku dan dingin, “ya, ya tidak waktu Ria tidak enak badan seperti ini!” “Raya saja tidak masalah,” Andro membela diri lagi. Membuat Oma menatap Raya yang duduk diam dan mengangguk dibawah tekanan Andro. Andro menyeringai senang sambil menyilangkan tangannya di dada. “Berhenti menyalahkan, Oma yang mengganggu kami.” “Bagaimana aku tidak teriak, kalian membuat gempa?” “Ya seharusnya Oma lihat dulu.” “Andro, kau lupa sedang berbicara dengan siapa?” Andro segera mengatupkan bibirnya, membuat ekspresi lucu dan mengangkat dua jari tanda perdamaian ke Oma. “Peace!” Raya berusaha menahan tawa melihat perdebatan keduanya. “Sudahlah, Oma. Aku dan
“Jangan bilang kamu bahkan lupa membelikanku sesuatu.” Menarik ujung rambut Raya. Andro menggulung rambut istrinya sampai wajah Raya menempel di pipinya. “Habis kau, kalau tidak ada barang untukku. Aku akan membuatmu merintih semalaman.” Wajah Raya berubah menjadi pucat pasi, dia bergerak menjauhkan pipinya beberapa senti agar otaknya bisa dipakai untuk berfikir. Dan seolah ada bohlam yang menyala dalam pikirannya, ‘Ya Tuhan, untung kemarin Nana mengingatkanku membeli sesuatu untuk Suamiku.’ “Aku juga membelikanmu sesuatu, kok.” “Apa?” Jemari Andro memperagakan seolah akan meremas sesuatu, membuat Raya merintih. “Kalau kau cuma cari alasan, habis kau.” Raya segera bangun dan kabur, membuat tangan Andro meremas udara. “Kau mau kemana, hah?” Andro berteriak kesal. “Aku mau mengambilkan hadiah untuk mu.” Raya sudah berdiri di samping tempat tidurnya yang berantakan.” “Cepat kemarikan, sebelum aku benar-benar marah.” “I, iya.” Raya bergegas masuk ke ruang ganti baju, mengambil k