Suasana saat itu begutu canggung. Secangkir kopi di cangkir sudah mulai mendingin, beberapa hidangan kecil lainnya sama sekali belum tersentuh sejak dihantarkan.Aruna menunduk. Sudah sejak tadi ia melakukannya, entah kenapa dirinya merasa begitu takut untuk mendongakkan kepala. Terlebih saat ia tahu jika sepasang paruh baya di depannya adalah orang tua Diandra.Wanita yang secara tidak langsung juga menjadi madunya, meski hanya berstatus siri."Jadi, kau yang bernama Aruna?" wanita baya itu membuka suara.Penampilannya elegant dengan baju berwarna merah, rambutnya yang dipotong pendek menambah kesan itu. Terlebih aksesoris kalung juga cincin yang menempel di tubuhnya, kian menjelaskan status sosialnya yang tinggi."Iya, Nyonya," jawab Aruna lirih."Tidak perlu memanggilku Nyonya. Kau bisa memanggilku, ibu."Kepala Aruna sontak mendongak, menatap jelas ke arah wanita baya itu yang tengah tersenyum tulus."Ibu?" beonya lirih.Wanita itu mengangguk, senyum tulus itu masih terpatri denga
Wisnu membanting berkas ke arah meja dengan keras, menarik dasi yang terasa mencekik leher."Kamu bisa kerja tidak?! Masa membuat laporan semudah itu tidak bisa juga!" bentuknya pada seorang karyawan."Maafkan saya, pak," sahut karyawan itu menunduk."Saya tidak mau tahu, laporan ini harus direvisi hari ini juga. Berikan lagi padaku sebelum pukul tiga, dan semuanya harus benar."Sang karyawan hanya mengangguk sebelum undur diri. Wisnu menghela napas, meletakkan kepala pada sandaran kursi dan meraup wajahnya sendiri.Kepalanya mendadak terasa berdenyut, pusing bukan main. Bukan hanya soal pekerjaan, melainkan juga soal urusan rumah tangganya.Ia masih tidak mengerti kemana arah tujuan rencana Diandra sebenarnya. Wisnu rasa ia sudah menuruti semua permintaan wanita itu, termasuk untuk menikah siri dengan Aruna.Tapi apa yang dilakukannya sekarang justru kian menjadi. Tiket bulan madu? Yang benar saja!Wisnu masih memiliki kewarasan untuk tidak lebih menyakiti Diandra. Meski kenyataanya
Mobil itu ia pacu dengan cepat, pedal gas ia pijak tanpa ragu. Napas memburu, perasaan gelisah juga rasa bersalah bersarang dalam benaknya. Terasa bergejolak dengan dirinya sendiri yang terus memaki.Menyalahkan diri sendiri karena tidak menyadarinya sejak dini. Tidak butuh waktu lama bagi Wisnu untuk tiba di rumah. Tanpa basa-basi ia membuka pintu, berjalan cepat ke arah lantai dua, berharap wanita yang ia cari ada di sana.Nihil. Ia tidak menemukan Diandra dimanapun, bahkan setelah dirinya mengelilingi seisi rumah."Kamu dimana, Di?" batinnya panik.Teringat, Wisnu baru saja ingat jika sebelum ia berangkat ke perusahaan pagi tadi, Diandra sempat berkata akan mengadakan piknik bersama sang Ibu dan Aruna.Tapi sial sekali lagi, Wisnu tidak tahu kemana tiga wanita itu mengadakan piknik sekarang.Teringat sesuatu, Wisnu merogoh saku celananya, mengambil ponsel dan menghubungi seseorang."Halo Ayah?" sapa Wisnu sopan.Orang di seberang panggilan yang ia panggil sebagai Ayah, atau lebih
"Apa kamu akan percaya jika ku katakan, kamu adalah adikku?"Nyatanya pertanyaan Diandra masih saja terus bersarang dalam kepala Aruna. Wanita yang tengah terbaring di ranjangnya itu hanya menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong.Pikirannya terus berpikir soal pertanyaan Diandra beberapa saat yang lalu.Dia, adalah adik Diandra? Bagaimana mungkin? Semuanya terlalu mustahil untuk sebuah kenyataan.Tapi, mengingat apa yang terjadi selanjutnya membuat Aruna juga berpikir ulang untuk hal itu.Saat itu, setelah Diandra mengajukan pertanyaan gilanya, ini menurut Aruna. Wanita itu hanya bisa diam termenung.Ia sempat tertawa kering selama beberapa second, kemudian meyakinkan jika apa yang dikatakan Diandra hanyalah sebatas candaan semata.Tapi apa yang terjadi berikutnya membuat Aruna berpikir ulang. Ibu wanita itu yang sejak tadi duduk memperhatikan keduanya di bawah pohon rindang mendekat.Wanita baya itu duduk di antara dua wanita muda tersebut, mengelus surai Aruna dan berkat
Mata Wisnu teralihkan saat ia melihat seorang dokter keluar dari ruangan UGD. Ia dengan segera berlari ke arah pria dengan masker berwarna biru itu dan bertanya soal keadaan Diandra."Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Wisnu panik.Dokter dengan kacamata yang menggantung di hidung itu melepas masker, dan menjawab pertanyaan Wisnu."Kondisi Nyonya Diandra bisa dibilang cukup buruk. Sepertinya ia sering mengabaikan kemoterapi juga terlambat mendapatkan penangan, tapi kami akan berusaha semaksimal mungkin."Wisnu lemas, pria itu jatuh terduduk di depan ruang UGD dengan perasaan yang bercampur aduk.Pria itu tidak tahu perasaan apa sebenarnya yang tengah ia rasakan saat ini. Yang jelas, perasaanya rasanya benar-benar hancur, sehancur-hancurnya.Dengan cepat Wisnu mendobrak, menerobos masuk ke dalam ruang UGD dan menghampiri Diandra yang terbaring lemah dengan beberapa perawat yang tengah memasangkan beberapa kabel yang terhubung dengan sesuatu alat yang Wisnu tidak tahu apa.Yang p
Lima tahun kemudian.Kamar tidur dengan tema galaxy itu terlihat cukup berantakan. Beberapa barang tercecer di sana dan sini, beberapa pakaian juga ada di atas ranjang dengan bad cover berwarna biru langit tersebut."David! Kenapa kamarmu seperti kapal pecah begini?" Seorang lelaki dengan pakaian kantor lengkap masuk menghampiri seorang bocah yang tengah kesulitan memakai kaos kaki.Si anak yang diajak bicara menghentikan aktivitas nya. Ia menatap polos juga sesekali berkedip ke arah sang lelaki dewasa yang hanya bisa menghela napas panjang.Pria itu berjongkok, membantu David untuk memakai kaos kaki bergambar astronot di kaki mungilnya."Sudah. Sekarang ayo kita sarapan!"Masih tidak ada reaksi. David, bocah itu hanya diam dan berkedip beberapa kali, sebelum kemudian ia berdiri dan berlari keluar dari kamarnya.Wisnu hanya bisa menghela napas. Memperhatikan kamar sang Putera dan memungut beberapa pakaian dari sana.Tanpa sengaja ia melihat ke arah meja belajar yang ada di samping le
"Aruna?"Dua manusia itu saling bertatapan selama beberapa waktu. Dua pasang mata itu saling bertemu tatap selama beberapa saat sebelum kemudian Aruna memutuskan kontak lebih dulu.Aruna panik, wanita itu gelisah dan ingin beranjak jika saja sebuah tangan tidak langsung menjegal pergelangan tangannya.Ia sempat memberontak, meminta untuk dilepaskan meski percuma saja."Ayo kita bicara sebentar," kata si lelaki."Tidak ada yang perlu kita bicarakan, semuanya sudah terjadi di masa lalu," sahut Aruna.Beruntung, kondisi saat itu cukup lengang hingga tidak ada yang memperhatikan ketiganya saat ini."Ada. Ini soal David," jawab si lelaki tegas sembari melirik ke arah bocah laki-laki yang sejak tadi memperhatikan mereka.Aruna diam. Dirinya turut memperhatikan David, mengamati dengan lekat si anak lelaki yang juga tengah memperhatikan mereka.Perasaannya bimbang, haruskah ia menerima atau menolak ajakan pria di depannya."Dia anakmu."Berkat perkataan Dia anakmu, pada akhirnya Aruna menerim
Suasa hening juga canggung selama beberapa saat. Wisnu masih saja memusatkan pandangannya ke arah wanita muda yang duduk di hadapannya, membuat wanita itu mengalihkan tatapan karena mulai merasa risih."Bisakah kamu berhenti menatapku seperti itu? Kamu terlihat seperti akan memakan ku hidup-hidup," ujar Aruna."Kemana saja kamu selama ini?" tanya Wisnu mengabaikan pertanyaan si wanita sebelumnya."Pergi. Tugasku untuk memberikanmu keturunan sudah ku lakukan, lalu apa gunanya aku masih ada di sana?" jawab Aruna dengan berani.Sebenarnya ia hanya berpura-pura, jauh dalam benaknya wanita itu cukup gemetar melihat bagaimana ekspresi Wisnu saat ini.Pria itu menatapnya dengan ekspresi datar dan sulit ditebak. Matanya sudah sejak tadi menatap ke arahnya dan enggan berpaling meski sebentar. Membuat Aruna merasa cukup kurang nyaman karenanya.Wisnu tertawa sumbang, pria itu kemudian menyandarkan diri pada badan kursi dan menengok ke arah kanan. Lebih tepatnya ke arah ruang TV dimana ada David