Mobil itu ia pacu dengan cepat, pedal gas ia pijak tanpa ragu. Napas memburu, perasaan gelisah juga rasa bersalah bersarang dalam benaknya. Terasa bergejolak dengan dirinya sendiri yang terus memaki.Menyalahkan diri sendiri karena tidak menyadarinya sejak dini. Tidak butuh waktu lama bagi Wisnu untuk tiba di rumah. Tanpa basa-basi ia membuka pintu, berjalan cepat ke arah lantai dua, berharap wanita yang ia cari ada di sana.Nihil. Ia tidak menemukan Diandra dimanapun, bahkan setelah dirinya mengelilingi seisi rumah."Kamu dimana, Di?" batinnya panik.Teringat, Wisnu baru saja ingat jika sebelum ia berangkat ke perusahaan pagi tadi, Diandra sempat berkata akan mengadakan piknik bersama sang Ibu dan Aruna.Tapi sial sekali lagi, Wisnu tidak tahu kemana tiga wanita itu mengadakan piknik sekarang.Teringat sesuatu, Wisnu merogoh saku celananya, mengambil ponsel dan menghubungi seseorang."Halo Ayah?" sapa Wisnu sopan.Orang di seberang panggilan yang ia panggil sebagai Ayah, atau lebih
"Apa kamu akan percaya jika ku katakan, kamu adalah adikku?"Nyatanya pertanyaan Diandra masih saja terus bersarang dalam kepala Aruna. Wanita yang tengah terbaring di ranjangnya itu hanya menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong.Pikirannya terus berpikir soal pertanyaan Diandra beberapa saat yang lalu.Dia, adalah adik Diandra? Bagaimana mungkin? Semuanya terlalu mustahil untuk sebuah kenyataan.Tapi, mengingat apa yang terjadi selanjutnya membuat Aruna juga berpikir ulang untuk hal itu.Saat itu, setelah Diandra mengajukan pertanyaan gilanya, ini menurut Aruna. Wanita itu hanya bisa diam termenung.Ia sempat tertawa kering selama beberapa second, kemudian meyakinkan jika apa yang dikatakan Diandra hanyalah sebatas candaan semata.Tapi apa yang terjadi berikutnya membuat Aruna berpikir ulang. Ibu wanita itu yang sejak tadi duduk memperhatikan keduanya di bawah pohon rindang mendekat.Wanita baya itu duduk di antara dua wanita muda tersebut, mengelus surai Aruna dan berkat
Mata Wisnu teralihkan saat ia melihat seorang dokter keluar dari ruangan UGD. Ia dengan segera berlari ke arah pria dengan masker berwarna biru itu dan bertanya soal keadaan Diandra."Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Wisnu panik.Dokter dengan kacamata yang menggantung di hidung itu melepas masker, dan menjawab pertanyaan Wisnu."Kondisi Nyonya Diandra bisa dibilang cukup buruk. Sepertinya ia sering mengabaikan kemoterapi juga terlambat mendapatkan penangan, tapi kami akan berusaha semaksimal mungkin."Wisnu lemas, pria itu jatuh terduduk di depan ruang UGD dengan perasaan yang bercampur aduk.Pria itu tidak tahu perasaan apa sebenarnya yang tengah ia rasakan saat ini. Yang jelas, perasaanya rasanya benar-benar hancur, sehancur-hancurnya.Dengan cepat Wisnu mendobrak, menerobos masuk ke dalam ruang UGD dan menghampiri Diandra yang terbaring lemah dengan beberapa perawat yang tengah memasangkan beberapa kabel yang terhubung dengan sesuatu alat yang Wisnu tidak tahu apa.Yang p
Lima tahun kemudian.Kamar tidur dengan tema galaxy itu terlihat cukup berantakan. Beberapa barang tercecer di sana dan sini, beberapa pakaian juga ada di atas ranjang dengan bad cover berwarna biru langit tersebut."David! Kenapa kamarmu seperti kapal pecah begini?" Seorang lelaki dengan pakaian kantor lengkap masuk menghampiri seorang bocah yang tengah kesulitan memakai kaos kaki.Si anak yang diajak bicara menghentikan aktivitas nya. Ia menatap polos juga sesekali berkedip ke arah sang lelaki dewasa yang hanya bisa menghela napas panjang.Pria itu berjongkok, membantu David untuk memakai kaos kaki bergambar astronot di kaki mungilnya."Sudah. Sekarang ayo kita sarapan!"Masih tidak ada reaksi. David, bocah itu hanya diam dan berkedip beberapa kali, sebelum kemudian ia berdiri dan berlari keluar dari kamarnya.Wisnu hanya bisa menghela napas. Memperhatikan kamar sang Putera dan memungut beberapa pakaian dari sana.Tanpa sengaja ia melihat ke arah meja belajar yang ada di samping le
"Aruna?"Dua manusia itu saling bertatapan selama beberapa waktu. Dua pasang mata itu saling bertemu tatap selama beberapa saat sebelum kemudian Aruna memutuskan kontak lebih dulu.Aruna panik, wanita itu gelisah dan ingin beranjak jika saja sebuah tangan tidak langsung menjegal pergelangan tangannya.Ia sempat memberontak, meminta untuk dilepaskan meski percuma saja."Ayo kita bicara sebentar," kata si lelaki."Tidak ada yang perlu kita bicarakan, semuanya sudah terjadi di masa lalu," sahut Aruna.Beruntung, kondisi saat itu cukup lengang hingga tidak ada yang memperhatikan ketiganya saat ini."Ada. Ini soal David," jawab si lelaki tegas sembari melirik ke arah bocah laki-laki yang sejak tadi memperhatikan mereka.Aruna diam. Dirinya turut memperhatikan David, mengamati dengan lekat si anak lelaki yang juga tengah memperhatikan mereka.Perasaannya bimbang, haruskah ia menerima atau menolak ajakan pria di depannya."Dia anakmu."Berkat perkataan Dia anakmu, pada akhirnya Aruna menerim
Suasa hening juga canggung selama beberapa saat. Wisnu masih saja memusatkan pandangannya ke arah wanita muda yang duduk di hadapannya, membuat wanita itu mengalihkan tatapan karena mulai merasa risih."Bisakah kamu berhenti menatapku seperti itu? Kamu terlihat seperti akan memakan ku hidup-hidup," ujar Aruna."Kemana saja kamu selama ini?" tanya Wisnu mengabaikan pertanyaan si wanita sebelumnya."Pergi. Tugasku untuk memberikanmu keturunan sudah ku lakukan, lalu apa gunanya aku masih ada di sana?" jawab Aruna dengan berani.Sebenarnya ia hanya berpura-pura, jauh dalam benaknya wanita itu cukup gemetar melihat bagaimana ekspresi Wisnu saat ini.Pria itu menatapnya dengan ekspresi datar dan sulit ditebak. Matanya sudah sejak tadi menatap ke arahnya dan enggan berpaling meski sebentar. Membuat Aruna merasa cukup kurang nyaman karenanya.Wisnu tertawa sumbang, pria itu kemudian menyandarkan diri pada badan kursi dan menengok ke arah kanan. Lebih tepatnya ke arah ruang TV dimana ada David
Pagi hari saat suasana taman kanak-kanak begitu ramai. Beberapa anak sibuk berlarian kesana-kemari, ada pula yang tengah bermain susun balok maupun permainan lainnya.Tapi ada satu anak yang justru tengah terdiam merenung seorang diri, tatapannya tertuju ke satu arah sejak tadi.Aruna, wanita itu berjalan mendekati David. Duduk di satu bangku kecil bersebelahan dengan sang Putera."David, kenapa tidak bermain bersama yang lain?" tanya nya lembut.Si anak menoleh, ia sempat memperhatikan sejenak beberapa kawannya yang tengah bermain sebelum kemudian memalingkan wajah, kembali merenung.Mengikuti kemana arah pandangan sang Putera, Aruna jadi tahu apa yang sejak tadi anak itu lihat.Pemandangan yang sebenarnya biasa saja, tapi mampu membuat hati Aruna terasa kembali nyeri dan perih.Di sana, lebih tepatnya di bangku ruang tunggu yang memang menghadap langsung ke arah pintu kelas. Ada seorang murid perempuan yang tengah disuapi makanan oleh sang Ibu.Hal itu membuat sesuatu dalam diri Aru
Suasana dalam mobil begitu kikuk. Baik Wisnu maupun Aruna sama-sama hanya saling terdiam dengan pemikirannya sendiri, bahkan beberapa kali Aruna sempat mengabaikan David yang tengah mengajaknya bermain di kursi belakang.Omong-omong setelah insiden ciuman tidak sengaja itu, baik Aruna maupun Wisnu sama-sama menghindari satu sama lain.Seperti saat David merengek ingin naik bianglala, dengan berbagai alasan Wisnu menolak untuk turut serta. Ia membiarkan sang Putera hanya naik berdua dengan sang Ibu saja.Sebenarnya bukannya Wisnu tidak berani, hanya saja ia masih belum bisa berdekatan dengan Aruna setelah apa yang terjadi sebelumnya. Dan Aruna pun sama, ia merasa sedikit lega karena tidak harus kembali menjadi keluarga kecil saat di bianglala."Kita sudah sampai," kata Wisnu.Aruna tergugah dari lamunannya, wanita itu mengangguk dan hendak berpamitan pada David."David, Ibu pulang dulu, ya. Besok kita bertemu lagi di sekolah."Merengut, David mengerucut kan bibirnya ke depan. Anak itu