Helix saat itu hanya tersenyum bangga melihat Wailea yang memiliki hati yang begitu baik. Sejauh Wailea tahu perasaan Helix, tak ada sekalipun ia memanfaatkan situasi. Bahkan Wailea selalu sungkan ketika hanya Helix yang bisa menolongnya dalam situasi apapun.
"Oke, kalau kamu merasa berat. Ada satu cara untuk membalasnya" kata Helix sambil tersenyum jahat.
Wailea mulai curiga akan kalimat yang akan dilontarkan Helix. "Ahh... Sudahlah, percuma bicara sama kamu" kata Wailea.
"Wanita ini sungguh membuatku gemas. Aku belum selesai bicara" sahut Helix.
"Aku tahu mau mu. Sampai kapanpun aku tidak akan bisa membalas perasaanmu" tegas Wailea.
"Mbak receptionist, jangan keGR-an. Cara membalasnya cukup dengan mentraktirku saja di restoran enak langganan kita" kata Helix sambil tertawa mengejek.
Wailea tersipu malu mendengarnya. Wajahnya memerah. Untuk menutupi rasa malunya, ia pun berpura-pura menatap layar komputer seolah-olah sibuk.
"Ya... Walaupun memang itu salah satu kemauanku juga sih" Helix menggigit bibir lalu berlari kecil menjauhi Wailea.
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang, waktunya untuk beristirahat sejenak. Wailea mengambil ponsel yang sedari tadi berada di dalam tas, lalu berjalan kearah tangga hendak menuju kantin. Baru saja Wailea menginjakkan kakinya di anak tangga pertama, kakinya terpeleset. Seseorang di belakangnya dengan sigap menarik tangan Wailea dan menahannya agar tidak sampai terjatuh. Lagi-lagi sang penolong adalah Helix.
"Thank you, Hel" Wailea menghela nafas.
"Bisakah kata terima kasihmu aku kumpulkan agar menjadi golden ticket dan ditukar dengan hatimu?" Helix menggoda. Wailea menatapnya sinis.
"Walaupun kamu jutek, judes, sinis, jahat dan lain sebagainya. Aku tetap cinta kamu, Lea" Helix tersenyum lebar.
Wailea yang kesal, berbalik berjalan ke arah meja kerjanya.
"Kamu lupa ya?" tanya Helix yang juga mengikuti Wailea dari belakang.
"Lupa apa?" tanya Wailea.
"Janjimu tadi pagi" jawab Helix mengingatkan.
Wailea diam sejenak dan berfikir. Tak lama, dia pun menutup wajahnya dengan tangan. Wailea ingat akan janjinya yang mau mentraktir Helix di restoran dekat tempat kerjanya itu. Wailea kembali berdiri dan berjalan keluar lobby. Helix hanya tersenyum kegelian.
Nasi goreng sapi dan telur ceplok dengan soda gembira. Itu adalah dua kombinasi makanan dan minuman yang selalu mereka pesan disana. Mereka pernah coba untuk memesan yang lain, tapi lidah mereka sudah terlanjur jatuh cinta pada dua menu itu.
Sepuluh menit kemudian, makanan pun datang. Saat mereka sedang asik ngobrol dan menikmati sajian di atas meja. Seseorang datang menghampiri mereka.
"Helix" sapa seorang gadis cantik bertubuh kutilang, dia adalah Lenny.
Setelah pandangan Lenny dan Helix bertabrakan, Lenny menoleh kearah Wailea. "Kamu istrinya Rezo kan?" tanya Lenny.
Wailea mencoba mengingat siapakah dia. Belum sempat Wailea menjawab, Lenny membantu Wailea untuk mengingat siapa dirinya. "Aku sekretaris di kantor pak Rezo" lanjut Lenny. Wailea tersenyum kecil pertanda kini dia sudah mengingatnya.
"Kenapa bisa kamu sama Helix? Pak Rezo mana?" tanya Lenny penasaran.
"Helix ini teman satu kantorku dan Rezo sedang ada tugas ke luar negri" sahut Wailea menjelaskan.
"Luar negri?" Lenny nampak terkejut. Wailea mengangguk dengan polosnya.
"Pak Rezo bukannya cuti keluarga? Beliau ijin di kantor dengan alasan akan pergi ke Sumatera" Lenny kembali bertanya. Wailea tercengang mendengar pernyataan Lenny.
Melihat reaksi Wailea yang sepertinya sangat kaget, Lenny menghentikan pembicaraannya dan segera meninggalkan mereka. Wailea hanya terdiam dan berfikir. Apakah dia harus mempercayai ucapan orang yang tidak ia kenal sesungguhnya atau tetap percaya pada suaminya itu. Karena rasa penasaran yang mengganggu hatinya, Wailea segera berlari mengejar Lenny.
"Kasih tau aku, apa saja yang kamu tau!" pinta Wailea.
Lenny kembali menjelaskan pada Wailea apa yang sebenarnya ia tahu. Rezo memang mengajukan ijin di kantor untuk pergi ke luar kota, tepatnya Sumatera tempat dimana ibu Wailea tinggal. Alasan Rezo adalah untuk berlibur bersama keluarga untuk merayakan ulang tahun Wailea.Mendengar semuanya seperti sangat aneh, Wailea mencoba untuk berfikir positif. Wailea meyakini dirinya jika sang suami sengaja membohonginya dan seolah tidak ingat akan hari ulang tahunnya agar semua rencana untuk memberikan kejutan padanya tidak gagal. Mungkin saja Rezo hendak mengajak mama untuk datang ke Jakarta, pikirnya dalam hati.Setelah berbincang dengan Lenny, Wailea pun kembali ke dalam restoran melanjutkan makan siangnya yang tertunda.“Kamu kenal Lenny, Hel?” tanya Wailea sambil mengunyah makanan di mulutnya. Helix pun tersedak. Hampir saja makanan di mulutnya lompat keluar mengenai wajah Wailea. Wailea menepuk punggung Helix, mencoba membantunya mengeluarkan makanan
“Terima kasih, ma. Suara mama kenapa lemas sekali? Mama sakit?” tanya Wailea khawatir. Suara lembut dari seberang telepon adalah suara dari seseorang yang amat Wailea cintai. Dia adalah Weni, ibu kandung Wailea. Weni bagaikan batu karang di tepi pantai. Beribu kali dihantam gelombang tetapi tetap berdiri dengan tegar. “Biasa, Lea. Kurang enak badan” sahut Weni. “Mama sudah ke dokter?” tanya Wailea lagi dengan suara yang mulai panik. “Sudah sayang, jangan khawatir ya. Rezo mana, Lea?” tanya Weni. Wailea tersentak, dia terdiam sejenak. Mengapa mama bertanya soal Rezo, tanyanya dalam hati. Hal ini cukup membuat Wailea lemas hingga membuatnya duduk di sofa merahnya. Tanpa Wailea sadari, dia melamun cukup lama. Weni yang menunggu jawaban Wailea sempat memanggilnya beberapa kali hingga akhirnya Wailea tersadar dari lamunannya. “Oh, Rezo masih lembur, ma” suara Wailea terdengar sedikit bergetar. Ia terpaksa harus membohongi orang tuanya karen
Kaki Wailea mendadak lemas dan dahinya dipenuhi dengan keringat. Jantungnya berdegup begitu kencang. Panik, ya memang Wailea sedang panik saat ini. Kenapa kamu tega membohongiku, jerit hati Wailea. Sesaat setelah Wailea merasa lebih baik. Dia pun langsung berjalan menuju ruang kerja Robin, sang direktur utama. “Silahkan Wailea, ada apa?” tanya Robin. Robin memang sosok direktur yang sangat disegani banyak orang. Karena kewibawaannya dan juga rasa pengertian dia yang begitu besar pada karyawan. Robin adalah anak dari sang presiden direktur. Itu sebabnya ketika dia menunjuk Wailea sebagai pengganti Brandon, semua menyetujuinya karena percaya akan pilihannya itu. Wailea mencoba menjelaskan titik permasalahannya dan memang seperti biasa Robin langsung mengerti posisinya. “Silahkan selesaikan dulu masalahmu. Saya mau kamu tampil dengan baik ketika pengangkatan nanti” kata Robin dengan sangat bijak. Kini terlihat wajah Wailea yang kembali dihiasi se
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Wailea kini sudah berada di dalam pesawat kelas ekonomi. Wailea memang terlahir bukan dari keluarga kaya raya. Gajihnya pun tidak terbilang besar. Sangat berbeda dengan Rezo yang memang sudah terlahir dari keluarga kaya raya. Bisnis orang tuanya cukup untuk beberapa generasi. Namun, menikah dengan Rezo bukanlah sesuatu yang dapat merubah kebiasaan hidup Wailea yang sederhana dan mandiri. Bahkan kekayaan Rezo bukan menjadi peluang bagi Wailea untuk hidup enak tanpa bekerja. Berkali-kali Wailea diminta untuk bekerja di perusahaan sang ayah mertua, tetapi Wailea tetap ingin bekerja di tempat ia bekerja saat ini. Sudah terlanjur nyaman dan tidak ingin pindah lagi. Di dalam keramaian, Wailea tetap merasa sepi. Dia menerka-nerka apa yang akan terjadi setelah ini. Tangan kirinya menopang dagu sambil memandangi pemandangan yang semakin jauh terlihat dari atas pesawat. Tanpa disadari, lamunannya membawa Wailea kepada satu tahun yang lalu.
“Sudah siap?” tanya Rezo sambil tersenyum dan terlihat begitu tulus. Wailea hanya memandangnya sambil mencoba menerima kenyataan. Rezo mengambil kedua tangan Wailea sambil berkata “Kamu tenang ya, aku akan selalu ada di samping kamu”. Itu adalah kalimat yang sangat membantu Wailea dalam menghadapi serangan panik yang ia alami saat ini. Wailea yang gugup perlahan mulai merasa nyaman. Wailea mencoba mengikhlaskan akan semua ini. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa memang Rezo adalah orang yang tepat dikirimkan Tuhan untuk menemaninya seumur hidup. Wailea yang berdiri di lantai dua gedung melihat ke arah bawah dan memandang sekelilingnya. Gedung yang luas dipenuhi dengan dekorasi super indah dan elegan. Kemudian ia juga memandangi kursi para tamu yang tertata rapi dengan hiasan bunga dan pita menambah kesan romantis. Lalu matanya menatap ke arah yang lebih jauh yaitu bagian prasmanan, terlihat sejumlah hidangan yang sangat menggiurkan dan melimpah di atas meja
Momen itu cukup memalukan, menyebalkan dan juga menguntungkan. Semuanya bercampur menjadi satu dan membuat Wailea kebingungan, apakah dia harus bahagia atau malah sedih. Jika memikirkan tentang statusnya sebagai istri, Wailea merasa sedih. Mengapa hal yang tak terduga malah datang di saat yang tidak tepat. Tetapi disisi lain, Wailea merasa lega karena dia tidak harus merasa terpaksa. Apalagi Rezo dalam keadaan tidak sadar, entah memang itu karna dasar Rezo menyukainya atau hanya karena pengaruh alkohol saja. Keesokkan paginya, Wailea sudah sibuk di dapur dari jam setengah enam pagi. Menyiapkan sarapan mulai dari roti hingga nasi goreng. Minumannya pun beragam, ada kopi dan juga jus buah. Wailea memang tidak tahu apa yang biasa di makan oleh Rezo untuk sarapan paginya. Jadi Wailea memutuskan untuk membuat beberapa menu. Ia sengaja tidak membuat sarapan untuk dirinya sendiri, Wailea berfikir untuk memakan makanan yang tidak dipilih oleh Rezo. Dengan begitu tidak ada maka
Mengingat kejadian itu membuat Wailea tersadar dari lamunannya. Dia segera mengambil botol air mineral yang disediakan dari pihak maskapai. Wailea meneguk air tanpa berhati-hati, membuatnya tersedak dan batuk berkali-kali. Apa karena ini Rezo berselingkuh? pikirnya. Hatinya kini semakin terasa kacau, ia mencoba untuk berfikiran positif namun sungguh sulit, mengingat sikap yang selama ini dia rasakan di dalam rumah tangganya. Selalu sendirian karena harus ditinggal tugas ke luar negeri hampir setiap bulan dalam waktu yang lama pula. Setelah turun dari pesawat, Wailea berjalan menuju toilet untuk membasuh wajahnya. Wailea menatap cermin di depannya dengan pandangan yang kosong. Ia pun tak mengerti mengapa kegundahan hatinya tak kunjung usai. Padahal belum tentu semua yang di dalam kepalanya sesuai dengan kenyataan. Mungkin saja aku salah, katanya dalam hati. Setelah menarik ribuan nafas masuk dan keluar dalam paru-parunya, kini Wailea siap menghadapi apapun yan
Suasanya berubah menjadi penuh haru. Wailea dan Ketty saling berpelukkan untuk melepas rasa rindu di hati mereka masing-masing. Ini adalah pertemuan tak terduga setelah sekian lamanya mereka terpisah jarak dan waktu. Wailea merasa sangat lega karena akhirnya memiliki orang yang ia kenal di kota ini. “Kamu apa kabar?” tanya Wailea dengan mata berkaca-kaca. Ketty menjawab pertanyaan Wailea sambil meneteskan air mata. Wailea mengajak Ketty untuk mencari tempat duduk. Pertemuannya dengan Ketty membuatnya lupa akan rasa lapar dan kekhawatiran yang sedari tadi menyelimuti hatinya. Ketty yang terlihat amat rindu akan saudara tirinya itu tak henti-hentinya memeluk Wailea sambil menangis bahagia. “Maafkan aku Lea. Sejak pindah ke Tokyo, aku mengganti nomor dan tidak menggunakan sosial media lagi. Bukan tanpa maksud, tetapi agar mereka tidak bisa menemukanku” Ketty mencoba menjelaskan. Wailea hanya tersenyum dan mengerti situasi yang dialami Ketty memang tidak mudah, i