"Kecapnya banyak banget Dek? Mau nyoba semua merek?”
“Bukan Mas. Lihat nih, ‘kan ada kecap asin, kecap manis, ada saus tiram dan teriaki.”“Ooo. Mas yang penting kamu masak dan rasanya enak.”“Dasar tukang makan.”“Iyes. Apalagi makan kamu.”Aku mencubit perut Mas Syafiq. Dia sedikit mengaduh tapi tetap tertawa. Suwer ewer ewer deh. Beneran kejutan banget setelah tahu sifat asli suamiku. Setelah membayar kami membawa semua belanjaan ke mobil. “Mau makan di area foodcourt atau nyari di luar?”“Foodcourt aja. Sekalian nanti balik lagi,” ucapku dengan binar mata bahagia.“Pasti mau belanja, ‘kan?” ucapnya sambil mencubit hidungku.“Iya, soalnya udah punya suami ya manfaatin aja.”“Harus, percuma suami kerja capek-capek tapi bininya gak mau make. Asal jangan boros ya?”“Siap Bos,” ucapku samAku sedang bercengkrama dengan Tuti dan Yuyun. Sementara Joko, Rafi dan Mas Syafiq sedang berada di ruang tamu. Setiap minggu, kami menyempatkan mengunjungi Ibu. Kalau sempat ya menginap seperti sekarang ini. Tadi malam kami tidur disini. Niatnya kembali ke Purwokerto besok senin.“Gimana?” tanya Tuti.“Gimana apanya?”“Jadi istrilah.”Aku tersenyum, “Menurutmu?”“Ck. Udah gak nangis-nangis lagi, ‘kan?”“Ah, kamu Tut,” ucapku dengan menahan malu.“Hahaha. Kayaknya langsung buka segel juga ini hahaha.”“Tutiii,” rengekku. Ah, aku jadi malu.“Buka segel apa? Emangnya Mbak Ambar habis beli apa sih? Baju?”“Astaga! Aku lupa masih ada satu gadis polos. Kalau yang ini lagi suka volos di kamar. Hahaha.”“Tutiiii.” Aku memukul lengan Tuti keras. Tuti sendiri hanya tertawa saja. Puas memukuli Tuti, aku
Bisik-bisik para mahasiswi didekatku bisa kudengar dengan jelas. Aku menahan diri untuk tidak melabrak mereka. Apa maksud mereka? Ghibahin orang pas di depan orangnya. Aku sungguh gelisah. Rasa minder dan rendah diri belakangan ini sering muncul. Ditambah lagi ulah Linda yang setiap hari senin pagi selalu nebeng mobil kami. Linda sudah tahu jika setiap sabtu dan minggu kami akan menginap di rumah Ibu dan akan kembali pada senin pagi. Aneh, sudah empat kali dia nebeng. Aku jadi semakin curiga dengan tingkah Linda. Seperti pagi ini, itulah kenapa aku berakhir di perpus jurusan Fisika. Karena Mas Syafiq sengaja membawaku ketika Linda lagi-lagi nebeng untuk kelima kalinya. Saat aku masih merenung, suara seseorang mengalihkan perhatianku.“Loh, Mbak Ambar masih disini?”“Iya, Bu Mala.”“Ngapain baca-baca Mbak, toh Mbak Ambar bukan mahasiswa.”Aku cuma tersenyum, dalam hati menggerutu. Memangnya yang boleh belajar hanya mahasiswa saj
Aku sedang bercermin dan melihat penampilanku. Perfect. Pelukan hangat kurasakan dari seseorang. Gesekan lembut hidung bak papan luncur pada pipiku membuatku bergetar.“Cantik.”“Mas juga ganteng.” Kami saling menatap lewat pantulan cermin. Sesekali Mas Syafiq menyapukan hidungnya pada pipiku sedangkan aku menyentuh pipinya dengan tanganku.“Kita berangkat sekarang yuk, kalau enggak aku bakalan khilaf dan makan kamu. Aw!” Mas Syafiq mengaduh karena perutnya aku cubit.“Udah ayok berangkat.”“Iya istriku. Ayok berangkat.”Malam ini kami mendatangi resepsi pernikahan putri Pak Eko, salah satu dosen senior di jurusan Fisika. Tadinya aku tak ingin ikut, tapi setelah dipikir-pikir kenapa aku harus takut dengan nyinyiran Bu Mala maupun Linda? Aku Ambar ya. Wanita yang sejak kecil sudah terdidik dengan kehidupan yang keras. Sampai di kediaman Pak Eko, aku merasa takjub. Rupanya orang kaya konsep
Aku sedang berbaring di atas sofa, lelah rasanya. Beberapa hari ini aku mudah merasa lelah dan mengantuk.Plak. Pukulan kasar mampir ke bahuku. Aku menatapnya kemudian memilih memejamkan mata.“Kita itu datang buat bertamu Ambar. Malah kamu tidur terus.”“Lemes Tut.”“Kenapa kamu? Lembur terus ya?”“Ish ... apaan sih Tut?”“Wkwkwk. Oh iya kamu tahu gak info terbaru di desa.”“Apa?”“Linda sama Syam batal nikah?”“Serius?”“Iyup.”“Kenapa?”“Syam yang mundur, alasannya karena keluarga Linda terlalu banyak menuntut.”“Oh.”“Cuma oh aja.”“Lah, ngapain aku kepo. Udah bukan urusanku.”“Iya juga sih. Urusanmu sekarang ati-ati sama Linda. Dia kayaknya ngincer suami kamu.” Tuti duduk di sampingku, Yuyun sendiri lagi di kamar mandi
Aku hanya duduk diam di salah satu kursi. Aku sudah menjelaskan bagaimana aku bisa berada di ruangan yang sama dengan Syam. Mas Syafiq sedang bicara dengan Pak Eko, Bu Mala, Syam dan Linda. Entah apa yang sedang mereka bicarakan aku tak begitu dengar.“Gak bisa dong Pak, udah jelas mereka selingkuh kok dibiarkan. Saya gak terima!”“Jika Bu Mala sampai membocorkan, saya tak segan memberi peringatan pada Bu Mala. Juga kamu Mbak Linda. Dan kamu juga Syam. Masalah ini akan kita selesaikan baik-baik,” terang Pak Eko.“Gak bisa dong Pak ... ini ....”“Bu Mala mau saya umbar aib suami Bu Mala, juga?” Mas Syafiq berkata dengan tenang.“Pak Syafiq!” bentak Bu Mala.“Saya hanya butuh waktu untuk mengambil keputusan. Saat ini HP saya dan Ambar sedang rusak. Jadi, saya tidak ingin gegabah.”“Baik, kita lanjutkan setelah HP mereka sudah diperbaiki. Saya mohon jangan sampai berita ini
Aku tak percaya, setelah hampir satu tahun menghilang lelaki itu kini muncul dihadapanku. Aku meminta Mbok Iroh menemaniku. Lalu, tatapan tajam kuarahkan pada Ilo.“Mau apa kamu?!” tanyaku tajam.“Mbar, aku kangen sama kamu. Aku ingin ketemu kamu.”Aku tertawa miris, “Kamu tahu rumah aku dari siapa?”“Itu gak penting, Mbar. Yang penting aku datang. Aku kemarin ke rumah kamu. Tapi kata ibu kamu, kamu udah nikah.” Aku melihat tatapan kecewa pada mata Ilo.“Jadi bener, kamu milih suami kamu karena dia kaya. Lebih kaya dari aku.”“Bukan! Aku milih dia karena dia pilihan ibuku.”“Kamu matre Mbar!”“Aku matre? Kalau aku matre aku gak mungkin bayarin utang kamu. Kalau aku matre aku gak mungkin bayarin denda kamu. Kalau aku matre gak mungkin aku yang ganti rugi sebab kamu merusak perabotan mahal milik majikan kamu,” ucapku dengan amarah.“Oh, jad
Sebuah tangan menyentuh bahuku. Aku menoleh dan tersenyum ke arah Joko.“Kalau rindu, diangkat dong teleponnya. Bales juga chatnya. Kamu gak kasihan sama suami kamu.”Aku hanya diam malas menanggapi. Kepalaku terlalu pusing soalnya.“Kalau sayang ya ngomong. Gengsi kok digedein.”“Apaan sih, Jok.”“Kamu yang kenapa? Wajahmu pucet banget? Nangis terus kamu?”“Gak.”“Halah, bohong dia Jok. Dari kemarin dia nangis terus.”Aku menatap sinis Tuti yang baru datang bersama Yuyun.“Apa? Emang gitu kok.”Aku memilih menarik selimutku hingga menutup dada. Ya Allah rasa mual itu datang lagi.“Kamu kok gak mau dengerin Syafiq ngomong? Denger ya Ambar, pola pikir laki-laki itu beda sama perempuan. Kita itu mikir pakai otak bukan pakai perasaan apalagi berandai-andai.”“Udah ngomongnya? Berisik tahu!”Joko terlihat membu
*Syafiq*Aku membuka surat cinta yang terselip diantara tumpukan buku milikku. Lagi. Siapa sih pelakunya? Benar-benar orang tak beradab dan tak punya malu. Bisa-bisanya dia mengirimiku surat cinta padahal aku yakin dia tahu kalau aku sudah mempunyai istri. Aku meremas surat itu dan memasukkannya ke dalam laci. Pokoknya aku harus mencari tahu ini ulah siapa.Dua hari ini aku sibuk mencari bukti bersama Rafi. Ada rasa bersalah pada Ambar karena waktu itu aku malah terkesan cuek dan tak percaya padanya. Padahal begitu kami pulang. Aku segera menghubungi Elang, meminta bantuannya membenarkan ponselku dan Ambar guna mencari bukti disana. Elang itu jaksa dan kenalannya banyak. Pasti dia bisa bantu. Agh, aku memutuskan keluar untuk mencari udara.Bruk.“Duh, maaf Pak Syafiq. Saya gak sengaja.”“Gak papa, Bu Tria.”Aku membantu Bu Tria mengambil beberapa berkas dan buku batik besar yang sepertinya berisi perencanaan atau anggaran dana. S