Share

Kontrak Anak

"Siapa wanita yang tadi dibawa Marco?”

Sementara itu di kediaman saudara tiri Marco, kejutan yang diberikan oleh Marco membuat bincang siang mereka terasa kian berat.

“I don’t know, mom,” jawab wanita cantik berambut sebahu di dekat guci besar.

“Tapi dia cantik. Rambutnya yang panjang bergelombang, bibir merah merona, wah ... pakai baju saja dia seindah itu apalagi tidak.”

“Hei, Reza!” seru dua wanita di dekatnya itu bersamaan.

“Yah ... ternyata adikku sudah besar.”

“Stop nonton film biru atau otongmu mama bikin impoten.”

Bila sang kakak membela, mamanya kelihatan kurang senang. Dia senang kalau melihat anaknya ketakutan sambil merapatkan kaki guna menyembunyikan senjata pusakanya.

“Di mana dia dapat perempuan secepat itu? Bukannya kemarin dia masih jomlo?”

“Wanita itu sudah ada bersamanya sejak dua hari lalu.”

“Kamu kok bisa tahu?”

“Anak buah Reza yang kasih tahu.” Pria berkulit sawo matang itu terlihat menyembunyikan sesuatu dari mama dan kakaknya.

“Yah anak mama yang tampan, ternyata sudah dewasa sekarang.” Dia menepuk pundak anaknya bangga, tanpa menaruh curiga sama sekali. “Jadi rencana yang kamu bilang tempo hari ternyata ini. God job, honey. Teruskanlah.”

“Jangan hanya ngikutin tetapi gali informasi sebanyak-banyaknya.”

“Iya, kak,” jawabnya dengan nada mengejek. “Aku juga akan cari tahu di mana dia bisa bertemu wanita cantik sepertinya.” Kata-kata itu untuk dirinya sendiri tetapi kuping mamanya tajam. Hampir saja pipinya lebam dapat tinjuan dari sang mama.

“Bisa tidak kalian fokus sedikit. Kita ada masalah lain sekarang. Dokumen yang kita curi ternyata dicuri lagi! Siapa yang berani bermain-main dengan kita? Ahhhhh!” Bayangkan ledakan nuklir Tsar Bomba 1961, kira-kira seperti itulah ledakan kemarahan ibu tiri Marco.

Dua anaknya cuman bisa menutup kuping takut-takut.

“Raina kamu cari tahu siapa pencuri itu. Dan kamu Reza, tetap lanjutkan misimu. Satu bulan lagi rapat pemegang saham kalau kita bisa menumbangkan Marco, kalian akan menjadi satu-satunya pemilik Barkley. Paham?”

“Iya, mam.”

“Ok, mom,” jawab Raina sambil mengacungkan jempol.

“Anak itu kenapa susah sekali sih hancurnya?”

Kenapa pohon bisa tahan terhadap angin kencang? Jawabannya sederhana, karena akar-akarnya kuat. Jadi, mengapa Marco tidak tumbang meskipun mama dan saudara tirinya selalu menghadirkan banyak masalah buatnya? Karena pondasi dasar yang dia miliki kuat.

Menjadikannya pebisnis ulung yang ditakuti oleh lawan bisnisnya. Caranya bermainnya terkadang brutal tanpa ampun, terkadang juga licik seperti kancil atau bisa jadi menggunakan keduanya.

Malang melintang sedari kecil, membuatnya paham bahwa dunia bisnis itu adalah dunia yang paling mengerikan. Salah strategi sedikit saja, ganjarannya sudah jelas adalah kehancuran.

Terkadang ada keinginan untuk berhenti. Namun, rasa tidak terima membuatnya berpikir ulang tentang keinginannya tersebut. Musuh-musuh papanya sewaktu masih hidup dulu, seperti harta turun temurun. Ditambah lagi mama dan saudara tirinya yang tamak, tentu dia tidak boleh menyerah begitu saja.

Oleh sebab itu, ketika kemenangan hampir digenggaman dia akan terus bertahan. Mengenyahkan semua tantangan, step by step. Dan memberikan jawaban paling masuk akal kepada sang nenek termasuk salah satunya.

“Marco, Marina kenapa kalian diam saja. Jelaskan kontrak apa yang kamu maksud tadi!”

Marco menghela napas panjang. Kepalanya kembali terasa pening. Sedangkan Marina ekspresinya lebih ke takut. Padahal sempat terbesit niatan untuk jujur tentang statusnya. Sayang sekali, niat tersebut langsung pupus ketika membaca raut wajah nenek Marco. Wanita tua renta yang tadi menyambutnya hangat, dengan tatapan sendunya mengingatkan Marina pada almarhum neneknya. Dia jadi tak tega jujur.

“Kontrak anak, nek.”

Marina cukup terkejut dengan jawaban Marco. Namun, yang paling kaget di sini tentu saja neneknya.

“Setelah menikah nanti, Marco tidak akan memaksa Marina mau punya anak atau tidak.”

“Kenapa? Kamu tidak mau punya anak darinya atau kamu tidak bisa punya anak, Marco?” Dia tak menyangka dengan ucapannya sendiri. Lalu dalam sekejap berubah histeris. “Kamu impoten, nak? ‘Itu’ mu tidak bisa berdiri?”

Mata Marina tanpa sadar mengikuti ke mana nenek Marco menatap. Beberapa detik setelah dia sadar bahwa itu salah, dia langsung membuang pandangan sambil senyum-senyum sendiri.

“Bukan-bukan, nek. Bukan itu maksud, Marco.”

“Pokoknya besok kamu ke tukang urut. Nanti nenek carikan yang bisa buat perkasa, berotot dan tahan lama.”

Membayangkannya saja, sudah menggelikan. Marina menggigit bibir menahan tawa.

“Tukang urut?” Marco menolak usul itu mentah-mentah. Dia merasa tubuhnya dalam keadaan baik dan berfungsi dengan normal. “Punya Marco masih bisa berdiri!” tekannya.

Mata Marina tak bisa dikendalikan, langsung ke arah tubuh bagian bawah Marco. Baru setelah Marco menatap tajam, dia kaget dan buang muka.

“Benarkah?” Sesaat neneknya seakan tak percaya, tetapi setelahnya dia bisa bernapas dengan lega. “Syukurlah kalau begitu. Jadi kalau memang tidak ada yang bermasalah, kenapa harus pakai kontrak-kontrak segala?”

“Marco cuman ngak mau Marina menderita mikirin calon penerus. Kasihan kalau dia sampai kepikiran. Dan juga itu untuk mengendalikan diri Marco sendiri.”

“Kamu benar-benar pembuat skenario yang buruk,” ledek Marina dalam hati.

“Sampai segitunya kamu mikirin perasaan calon istrimu?”

“Euhm, tentu saja. Karena Marco adalah calon suaminya.”

Marina refleks menutup mulut, hampir muntah.

“Benar begitu ‘kan ....” Marco tak mungkin jatuh sendiri. Marina harus turut serta. “Calon istriku?” Dia menyeringai. Membuat Marina ingin sekali menampolnya.

“Tetaplah seperti ini selamanya, nak. Nenek melihat ada chemistry yang kuat di antara kalian berdua. Bila kalian bersama, hubungan pernikahan kalian akan langgeng sama seperti kakek dan nenek.”

“Amin.”

Niat hati ingin bergurau, Marina justru ketar-ketir dibuat jawaban Marco barusan. “Kenapa harus di aminkan. Bukankah ini hanya nikah kontrak?” gumamnya.

“Yah sudah sekarang nenek masuk dan istirahat, Marco masih mau ngomong sama Marina.”

“Iya-iya. Nenek ngak akan ganggu kalian lagi. Oke, selamat malam.”

Setelah neneknya menghilang dibalik pintu, Marco segera menghela napas panjang seperti habis maraton lama. Marina mengedikkan bahu, memberi kode agar Marco melepas pelukannya.

“Sekarang bagaimana? Aku tidak mau kontrak itu diperpanjang. Aku mau cari Nathan sendiri saja.”

“Selama ini aku sudah sabar menghadapimu, tapi kelihatannya kamu terus memancing amarahku.”

“Sa-sakit. Lepas!” Lengan kecilnya seperti ranting kering yang diremukkan oleh tangan kokoh Marco.

“Aku tidak akan ragu melenyapkanmu dengan tanganku ini.” Bukannya melonggarkan, Marco justru makin menguatkan cengkeramannya.

Air mata Marina meleleh. Dia tidak bohong soal rasa sakit itu.

“Kuharap kamu mau menuruti ucapanku, Marina. Kamu sopan, aku segan.”

Mau tidak mau Marina harus mengakui bahwa posisinya sekarang di rantai makanan paling terbawah. Lemah sekali.

“Besok pagi akan aku berikan kontrak yang baru. Sekarang masuk ke kamarmu dan jangan berbuat yang aneh-aneh atau selamanya kamu tidak akan lepas dariku.”

Tubuh Marina didorong kasar oleh Marco. Lalu setelahnya pria itu melengos masuk, meninggalkan Marina yang masih mematung di tempatnya. Melanjutkan tangisannya.

“Apa aku terlalu kasar?” Di dalam kamarnya, rasa bersalah tiba-tiba muncul. Telapak tangan besarnya ditatap cukup lama. Sampai ponselnya bergetar setelah sebuah pesan masuk dari anak buah. Di sana tertulis jelas bahwa, orang yang mencuri dokumennya berhasil kabur. Sudah berhasil ditemukan, tetapi dalam keadaan tidak bernyawa lagi.

“Siapa yang sudah berani mendahuluiku?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status