Sore yang hampir menjemput malam yang sunyi. Ada Utari yang diseret paksa oleh bapaknya untuk pergi menuju rumah juragan Somat.
Banyak pasang mata tetangga yang memperhatikan mereka berdua, namun tidak ada yang berani untuk melawan kebengisan seorang Saman, sang preman kampung yang kerjanya suka menghutang sana sini.“Bapak, lepasin tangan Utari! Utari enggak mau dijual sama juragan Somat!” seru Utari yang mencoba memberontak dari cengkeraman tangan Saman.
“Mulut lo bisa diam enggak, sih! Berisik banget lo kayak kambing congek!” bentak Saman semakin mengeratkan cengkraman tangannya.
“Bapak, Utari mohon jangan jual Utari. Utari janji bakalan kerja lebih giat lagi, Utari juga janji bakalan berhenti sekolah,” mohon Utari yang semakin menangis histeris saat dirinya sudah sampai di depan rumah juragan Somat.
“Waduh ... Permaisuri cantik nan jelita akhirnya sudah sampai, nih,” sambut juragan Somat pada kedatangan Utari bersama Saman.
“Juragan, saya jual anak saya ini untuk melunasi hutang saya pada juragan,” ucap Saman dengan lugas.
“Enggak! Utari enggak mau dijual, Bapak!” teriak Utari yang membantah ucapan Saman.
“Alah, kamu enggak usah sok nolak, deh. Hidup kamu akan terjamin kalau jadi istri ketiga saya Utari,” ucap juragan Somat yang memandang Utari lekat-lekat seperti seakan menelanjangi tubuh Utari.
Utari menggelengkan kepalanya tegas. Sesekali mencoba memberikan dari pertahanan Saman, namun tetap saja tenaganya kalah dengan bapaknya itu.
“Juragan, saya mohon jangan beli saya. Saya masih mau sekolah, atau enggak saya yang akan cicil hutang-hutang milik Bapak,” mohon Utari yang sudah bersimpuh di bawah kaki keriput juragan Somat.
“Enggak bisa gitu, dong. Bapak kamu sudah menandatangani surat perjanjian kontrak sama saya. Yang ada saya rugi besar.”
Tangis Utari pun semakin kencang. Harapannya sudah tidak ada lagi. Apalagi ketika melihat bapaknya yang berbinar bahagia setelah menerima uang dari juragan Somat.
“Sekarang Juragan bisa sepuasnya pakai tubuh si Utari, Makasih, ya, Juragan,” ucap Saman sambil menganggukkan kepalanya pelan dengan senyuman puas.
“Bapak, bawa Utari pulang,” mohon Utari menangis tersedu-sedu.
Saman pun memalingkan wajahnya agar tidak menatap Utari langsung.
“Kalau begitu saya pamit pulang, Juragan,” ucap Saman membungkukkan tubuhnya. Setelah itu benar-benar pergi tanpa membawa Utari pulang bersamanya.
“BAPAK ...! JANGAN TINGGALKAN UTARI!” teriak Utari histeris, saat tubuhnya diseret paksa oleh anak buah juragan Somat.
***
Sepanjang malam Utari tidak ada henti-hentinya untuk mengeluarkan air matanya. Berulang kali istri pertama Somat mengunjungi ke kamar Utari untuk mengecek keadaan gadis itu.
“Sudah lah, Nak. Kamu enggak usah terlalu banyak menangis, nanti kamu sendiri yang senang bisa hidup bergelimang harta ketika dinikahi sama suami saya,” ucap Rumih yang duduk di samping Utari.
“Tapi saya enggak mau menikah, Bu. Saya masih mau sekolah dan apalagi saya tidak mau dinikahkan dengan juragan Somat yang usianya lebih tua dari Bapak saya,” balas Utari yang kekeh menolak menikah dengan juragan Somat.
Rumih mendengus kesal atas sikap keras kepala dari Utari. “Heh, Utari! Kamu itu jangan sok belagu jual mahal, ya! Masih mending saya menerima kamu sebagai madu kedua saya, kalau tidak saya akan buang kamu ke rumah bordil!” bentak Rumih menunjuk-nunjuk wajah Utari dengan marah.
“Lebih baik saya jajakan keperawanan saya ke rumah bordil dari pada saya dijadikan budak pemuas nafsu juragan Somat yang gila itu!’” seru Utari yang terus terang melawan istri pertama dari juragan Somat.
Plak ...!
Satu tamparan kencang mendarat di pipi mulus Utari sampai kepalanya melengos ke samping.
“Jaga mulut sialan kamu itu, Utari! Harga diri kamu tidak berarti dibandingkan dengan kulit tangan saya!”
Utari kembali terisak menangis. Bukannya Utari sangat cengeng, tetapi Utari sudah kepalang takut harus menggantungkan nasibnya pada juragan Somat. Apalagi banyak rumor yang beredar kalau Somat selalu melakukan kekerasan rumah tangga pada istrinya dan juga pada gadis yang dipaksa diperawani oleh juragan Somat.
“Rumih, ada apa ini? Kenapa kau buat calon istriku menangis seperti ini?” tanya Somat yang baru saja menutup pintu kamar yang ditempati oleh Utari.
“Ini, Mas. Calon istrimu mulutnya tidak bisa bertutur sopan berbicara tentang dirimu, Mas,” adu Rumih yang langsung menghampiri suaminya itu dengan manja.
Utari yang ditatap tajam oleh Somat semakin merasa takut dan terancam.
“Oh, ternyata calon istriku sudah bisa berbicara, ya,” ucap Somat sambil tersenyum mematikan pada Utari.Utari menggelengkan kepalanya tegas. Ia pun juga memundurkan langkahnya menghindari Somat yang ingin mempersempit jarak di antara mereka.
“Ampun, juragan. Saya enggak berbicara seperti itu,” sanggah Utari memohon ampun pada Somat.
Somat pun langsung mengikis jarak dirinya dengan Utari. Lalu, mencengkeram kuat dagu Utari.
"Mulut kamu boleh beracun, Utari. Tetapi, saya tahu cara menangkal racun dari mulut kamu itu," bisik Somat tajam tepat di telinga Utari.
***
Halo, jangan lupa vote, komen, dan share.
"Sayang, kenapa kamu menghindar terus, hem? Kita enggak akan melakukan hubungan suami istri sekarang juga sebelum saya mengucapkan ijab qobul,” ucap Somat dengan suara mendayu dilembut-lembutkan.Tangan Utari semakin mencengkram kuat kaos usang yang dipakainya. Apalagi tatapan cabul dari juragan Somat mampu membuat harga diri Utari hancur berkeping-keping.“Kayaknya saya perlu belikan kamu jamu untuk membesarkan dua gunung kembar kamu itu. Saya lebih suka yang besar dari pada kecil seperti milik kamu itu,” ungkap Somat yang semakin mencabuli Utari dengan kata-kata kotornya.Utari masih membungkam mulutnya rapat-rapat.“Ayolah, Utari. Keluarkan suara merdu kamu itu,” rayu Somat sambil mengelus pipi Utari dengan gerakan seduktif.“Jangan sentuh saya, juragan!” sentak Utari dengan suara bergetar.“Kamu ini kenapa, sih? Suka menolak sentuhan dari saya, hah!” bentak Somat yang merasa tersinggu
Utari diam-diam sudah melancarkan aksinya dengan berjalan mengendap-endap menuju ke arah belakang rumah juragan Somat. Berbekal handphone butut tanpa aplikasi senter dan juga sepeda rinjing yang besinya sudah berkarat menjadi kendaraan untuk Utari kabur."Pokoknya aku harus pergi dari sini. Dan jangan sampai para anak buah juragan Somat mengetahui rencana aksi kabur aku ini," gumam Utari yang menyemangati dirinya agar tidak takut untuk melancarkan aksinya ini.Kepala Utari celingak-celinguk ke kanan dan kiri. Rok kebaya yang sempit membuat jalan Utari semakin lambat. Selama ini, keadaan masih aman. Namun, dalam beberapa detik semuanya langsung kacau balau."Gue dengar-dengar kalau juragan Somat mau nikahin si Utari cuma mau merasakan keperawanannya itu. Katanya juga sehabis juragan Somat ngambil keperawanannya, Utari bakalan digilir sama pekerja konstruksi yang juga sudah booking sama juragan Somat," ucap seseorang pada temannya dengan suara pe
Sedangkan di lain tempat, Utari sedang berjuang melarikan dirinya dari kejaran anak buah juragan Somat. Kaki mungil Utari pun sudah terasa kebas menggoes pedal sepeda."Astaga, kenapa enggak ada mobil yang lewat pisan, sih," decak Utari menoleh ke kanan dan kiri.Utari sudah sampai jalanan raya besar. Namun, ternyata ekspetasinya tidak sesuai realita.Jantung Utari semakin berdegup kencang. Apalagi pasti anak buahnya juragan Somat sudah dekat menuju ke arahnya."Aduh, ini gimana, nih? Masa sudah capek-capek kabur langsung ketangkep, sih." Utari menggigiti kukunya cemas, dirinya masih duduk di atas sepeda.Percuma jika ia kabur hanya ke kampung sebelah, yang ada malah bertemu juragan baru. Karena wilayah kekuasaan juragan Somat sudah sampai ke kampung sebelah."Utari, jangan kabur kamu!" seru Nirman kembali, ketika jaraknya dengan Utari sudah dekat.Bersamaan itu pula, ada sorot lampu mobil yang tearah ke wajah polos Utari."Alh
Di sepajang jalan, mata tuan Darsa tidak fokus untuk mengemudikan mobilnya. Lirikan ekor matanya selalu tertuju pada bukit kembar dan kulit mulus pada betis yang menggoda milik Utari."Kamu kenapa kabur dari anak buahnya juragan Somat. Bukannya enak ya jadi istri juragan Somat yang kaya raya itu?" tanya Darsa, lagi dan lagi melirik ke arah bukit kembar Utari."Enghhh ... Itu, Tuan." Utari menjeda ucapannya sejenak, karena merasa gugup. "Sebenarnya saya dijual sama Bapak saya ke juragan Somat untuk melunasi hutang," jelas Utari dengan kepala tertunduk malu."Oh, ternyata begitu," sahut Darsa menganggukkan kepalanya pelan."Lalu, tujuan kamu sekarang ke mana?" tanya Darsa lagi pada utari.Utari melirik takut-takut ke arah wajah tampan lelaki matang yang ada di sampingnya itu. "Saya mau ke kota, Tuan," jawab Utari pelan."Waduh, kalau ke kota malam-malam terus sendirian kayak gini berbahaya untuk kamu. Nanti yang ada kamu diperkosa sama o
Mobil yang dikendarai oleh tuan Darsa akhirnya sampai di sebuah villa yang sangat megah dan mewah. Ada gerbang tinggi yang menghalangi masuk ke dalam villa.Dengan gerakan luwes, Darsa mengambil remote control di balik dasboard mobilnya. Kemudian, membuka kaca jendela mobilnya dan langsung menjulurkan tangannya ke luar guna menyatukan sensor yang tertempel di dinding pagar itu."Wah ... Ini villa pribadi milik Tuan?" tanya Utari berdecak kagum menyaksikannya."Iya, ini punya saya. Tapi, sudah lama tidak ditempati. Karena saya terlalu sibuk di luar kota," jawab Darsa sekenanya."Berarti Tuan ini orang kaya juga di kampung ini, ya?" tanya Utari yang semakin tidak mengontrol rasa antusiasnya mengetahui seluk beluk dari seorang Darsa."Enggak juga lah. Saya sama kayak kalian semua, manusia yang membutuhkan sesuap nasi," elak Darsa yang tidak mau mengaku kebenarannya.Utari hanya bisa mengulum senyuman manisnya yang malu-malu."Kalau jaran
Di dalam ruang persegi empat yang lumayan luas dan megah, namun terasa minimalis. Ada Utari yang sedang melihat-lihat isi dari ruang tersebut. Koleksi sabun cair yang beraneka rasa dan masih banyak lagi perlengkapan untuk mandi."Tuan, Utari merasa sedang mimpi melihat kamar mandi orang kaya sebagus kayak gini," ucap Utari terpesona melihat kemewahan yang ditampilkan oleh kamar mandi milik Darsa.Darsa menggelengkan kepalanya pelan. "Kamu ini norak sekali 'sih, Utari. Masa cuma lihat kamar mandi saja sampai air liur kamu tumpah-tumpah," decak Darsa menunjuk sudut bibir Utari yang basah.Sontak Utari langsung mengelap air liurnya yang keluar dikatakan oleh Darsa."Aduh, maaf banget, Tuan. Kalau sikap Utari bikin Tuan Darsa jijik." Utari membukukan tubuhnya beberapa kali guna meminta maaf pada Darsa."Bukannya saya jijik sama kamu Utari. Melainkan saya merasa rugi kalau air liur kamu terbuang sia-sia," jelas Darsa yang terasa ambigu di
Sepanjang malam sampai pagi, mata Utari masih terjaga dengan segar bisa dibilang mata Utari kuat melotot. Sejak kejadian di dalam kamar mandi bersama tuan Darsa membuat Utari langsung demam tinggi. Sedangkan tuan Darsa tidurnya malah tambah nyenyak setelah memainkan squisi alami milik Utari. "Tuan, kenapa kita berangkatnya pagi-pagi sekali? Memangnya pejalanannya sangat jauh, ya?" tanya Utari masih dalam keadaan ngantuk, melirik kek arah Darsa yang sedang fokus menyetir mobil. Kenapa Utari bertanya sedemikian seperti itu. Karena, mereka berangkat sebeluum matahari terbit. Sehabis shalat subuh Utari bersama Darsa sudah berangkat untuk meeninggalkan kampung tersebut. Dan Darsa pun melupakan janjinya pada anak buah juragan Somay, tentang janjinya yang menyuruh juragan Somat untuk menemuinya pagi hari. "Sangat jauh, Utari. Sudah begitu Mamah saya dari semalam menanyakan saya kenapa membatalkan rencana saya untuk pulang semalam," jawab Darsa yang menjelaskan secar
Suara ketukan di kaca mobil Darsa terdengar nyaring membuat tubuh mereka refleks saling menjauh. Buru-buru Darsa membuka pintunya dengan gerakan yang lumayan tergesa. "Wah, ternyata Tuan Darsa yang ada di dalam. Saya kira tamu nyonya Indri, Tuan," ucap seorang satpam dengan sopan pada Darsa. Darsa menganggukkan kepalanya kaku dengan senyuman canggung. "Iya, Pak Dirman. Saya baru saja ganti mobil, pasti Pak Dirman enggak mengenalinya, kan?" "Hahaha ... Tuan Darsa tahu saja apa yang otak saya pikirkan," ucap Dirman terkekeh geli. Lalu, Dirman melongok kan kepalanya guna melihat Utari. "Tuan, yang di dalam itu siapa, ya? Kok, kayak masih anak-anak, ya?" tanya Dirman penasaran. Darsa menghela napasnya sejenak. Kemudian melirik Utari mengkode gadis itu untuk turun dari mobil. Seakan mengerti kode dari Darsa, Utari langsung turun dari mobil dan menghampiri Darsa. "Kenalkan, Pak Dirman. Ini pembantu baru yang akan berkerja di