[Maaf, aku baru sempat balas, Mas. Banyak pekerjaan hari ini. Maklumlah akhir bulan.] Balasan dari Senja dan Sabda langsung meneleponnya."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Aku jemput di kantor sekarang, ya? Kamu sudah mau pulang kan?""Aku lembur hari ini.""Lembur? Pulang jam berapa?""Belum tahu, Mas. Ini masih nyelesain laporan. Biasanya pulang jam tujuh.""Baiklah, nanti kujemput. Kalau sudah mau pulang kabari ya!""Nanti aku bisa pulang sendiri.""Nanti kujemput." Sabda tetap memaksa."Baiklah. Sudah dulu ya, Mas. Aku lagi ada di mushola untuk Salat Asar ini.""Oke, nanti kabari. Tapi kamu tak apa-apa, kan?""Oh, nggak. Aku nggak apa-apa," jawab Senja lirih. "Serius?""Iya, serius.""Oke, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Sabda meletakkan ponsel di dashboard. Tadi bersemangat sekali pulang sekalian jemput Senja. Rupanya dia sedang over time. Sabda sangat khawatir jika Senja marah atau takut menganggap dirinya mengambil kesempatan malam tadi. Setelah termenung lumayan la
"Mas, kita jalani saja apa yang ada saat ini. Mas, juga belum putus kan dari Citra. Jangan rusak hubungan yang sudah direstui keluarga. Jangan mengharapkan ku lagi. Aku bukan lagi seperti Senja yang kamu kenal dulu."Mata Arga menyipit. Penasaran dengan maksud ucapan Senja baru saja. Namun dia tidak bisa menduga-duga apa yang telah terjadi. Senja yang cemas berulangkali memandang ke seberang jalan. Dia khawatir kalau Sabda turun dan menghampiri mereka. "Ayo, kuantar pulang!"Senja menggeleng. "Nggak, Mas. Terima kasih, ya!" Setelah berkata demikian, Senja berlari menuju angkot yang kebetulan berhenti di halte untuk menaikkan penumpang. Keputusan itu spontan saja datang ketika melihat kendaraan umum itu berhenti. Lebih baik dia menghindari keduanya.Di seberang jalan, Sabda yang hampir turun akhirnya mengurungkan niatnya setelah melihat Senja masuk ke angkot. Pria itu juga tidak ingin ribut lagi dengan sepupunya yang akan menimbulkan lagi perkelahian. Ada cara yang lebih dingin untuk
Lagi-lagi Sabda telat datang. Keluarganya tengah makan ketika ia sampai. Acara kali ini hanya di hadiri keluarga inti Pak Prabu saja. Mereka berkumpul di ruang keluarga yang berukuran luas. Ada sofa, coffee table, dan juga kursi ottoman cantik memberikan kesan menarik yang sedang diduduki oleh Bumi. Mereka sangat ceria terutama ketika membahas akan hadirnya cucu pertama di keluarga Pak Prabu. Apalagi dia cucu perempuan yang di dambakan oleh Bu Airin.Sabda langsung menyalami dan mengucapkan selamat ulang tahun pada kakak iparnya setelah terlebih dulu mencium tangan papa dan mamanya."Yeay, makasih ya," ucap Tata saat di salami Sabda. Tidak ada kado di setiap acara ulang tahun mereka, kecuali untuk anak-anak yang masih kecil, tapi Bumi sekarang sudah delapan belas tahun. Biasanya akan diberikan uang atau di tanya apa yang diinginkannya. Untuk orang dewasa, cukup datang dan makan malam bersama. Kesempatan seperti ini dimanfaatkan untuk momen berkumpul keluarga yang tiap harinya sama-sa
"Aku serius, Pa." Sabda kembali menceritakan semuanya secara runtut dan detail. Pak Prabu terdiam mendengarkan. Beliau sangat menyayangkan tindakan yang diambil putranya. Namun tak dapat semarah istrinya karena bagaimanapun juga semua telah terjadi. Beliau paham atas kepanikan orang tua Senja. Andai itu terjadi pada putrinya, dipastikan dirinya pun akan marah. Tapi tak dipungkiri kalau beliau juga kecewa pada mereka."Kamu bisa ya, memutuskan sendiri perkara sebesar ini. Kamu kira pernikahan itu main-main. Ada tanggung jawab besar di hadapan Allah dan dua keluarga. Menikah itu bukan hanya untuk kalian berdua, tapi untuk bisa menyatukan dua keluarga." Kini papanya yang emosi. "Aku akan bertanggung jawab atas tindakanku, Pa. Aku akan bertanggung jawab pada Senja."Pak Prabu mendengkus pelan seraya kembali bersandar di punggung sofa. "Di mana perempuan itu sekarang?""Dia tinggal di kosan. Dia juga bekerja, Pa." Sabda tidak menceritakan kalau malam ini Senja ada di apartemennya."Jika m
Senja membawa mukenanya sendiri yang dibawa dari rumah. Mukena dengan bahan katun paris berwarna army yang bisa dilipat kecil dan mudah dibawa ke mana-mana. Di kamarnya, Sabda sudah membentang dua sajadah di sebelah tempat tidur. Senja jadi berdebar-debar ketika berdiri jadi makmumnya sang suami.Apalagi mendengar suara merdu dan bacaan yang fasih dengan tajwid yang tepat, timbul rasa haru dan kekaguman yang dalam. Apakah dia jatuh cinta ketika sedang menjalankan ibadah? Dua rakaat dijalani dengan khusuk. Meski tadi malam pikiran Senja sedang kacau, tapi pagi ini hatinya merasakan damai. Sejuk, sesejuk embun di pagi ini. Senyuman Sabda saat berbalik dan memandangnya terasa mendamaikan. "Aku sudah menyuruh orang untuk mencari tempat tinggal buat kita. Walaupun keluargaku belum bisa menerima, nggak apa-apa kita tinggal serumah. Tapi bukan di apartemen ini. Kita cari tempat lain. Setelah itu kita ajukan permohonan pengesahan pernikahan siri kita ke pengadilan agar pernikahan kita memi
Hari ini Senja kembali sibuk di kantor. Rekan-rekan heran melihat penampilannya yang berbeda. Mulai Senin ini Senja telah berhijab. Mbak Yuni senang dengan perubahan stafnya. Ada juga yang mencandainya. Segala perubahan pasti akan menimbulkan berbagai respon orang-orang di sekeliling. "Kamu cantik berpenampilan begini," puji Sabda tadi pagi ketika mereka sarapan bersama. Pujian yang membuat Senja sangat ceria sepanjang hari menjalani aktivitasnya di kantor. Menyelesaikan banyak pekerjaan yang menumpuk di meja kerjanya."Kamu langsung pulang ke apartemen," tanya Nina sore itu ketika mereka melangkah keluar dari kantor."Ya.""Okelah, aku tinggal nunggu kabar kehamilanmu bulan depan."Senja tersenyum. Setelah malam pertamanya, kemudian percintaan di pagi itu dan setelahnya, Senja sempat kepikiran bagaimana kalau dirinya hamil? Sementara keadaan masih seperti ini. Sabda memang bilang akan melakukan isbat nikah ke KUA, tapi mustahil dilakukan secepatnya. Mengingat dia sangat sibuk akhir
Jam delapan malam Sabda baru keluar dari kantor. Pesannya yang dikirim pada Senja belum di balas, bahkan belum juga di buka sejak tadi. Mungkin ponselnya ada di kamar atau sedang di-charge.Sabda tergesa masuk ke dalam lift. Tidak sabar untuk segera sampai di rumah dan makan malam bareng Senja. Rasa laparnya sudah di tahan sejak tadi. Dia hanya makan roti abon dan teh hangat yang diberikan asistennya habis Salat Maghrib.Pria itu mengambil kunci pintu apartemen dari saku celananya. Saat masuk lampu-lampu sudah menyala. "Senja," panggilnya ketika sadar kalau rumah terasa sunyi. Dibukanya pintu kamar Senja dan memeriksa kamar-kamar yang lain. Namun senja tidak ada. Di balkon juga kosong. Di meja makan sudah tersedia nasi, tempe goreng, dan opor ayam. Masih hangat, berarti baru saja di siapkan.Pria itu heran, lalu mengambil ponselnya di saku celana, menelepon Senja sekali lagi tapi panggilannya tidak diangkat.Sabda tidak bisa menunggu. Di sambarnya kunci mobil di atas meja, lantas menu
Malam kian hening. Dia memandang langit-langit kamar yang gelap karena semua lampu di matikannya. Biasanya lampu malam yang temaram akan tetap menyala. Hanya ada cahaya dari lampu teras yang menyorot masuk lewat angin-angin atas jendela kaca.Baginya yang biasa hidup sederhana sejak kecil, kabar uang delapan ratus juta yang di bilang ibunya tadi nyatanya tak bisa menggantikan kesedihan dengan apa yang dialaminya saat ini. Mungkin begitu juga yang ada dalam pikiran mamanya Sabda. Kehormatan keluarga lebih dari segalanya di banding kebahagiaan putranya. Dua wanita high class yang memiliki dua pandangan sama. Mamanya Arga menilai segala sesuatu dengan harta, sementara mamanya Sabda lebih memikirkan tentang penilaian orang lain terhadap keluarga mereka. Mungkin saja begitu. Senja hanya menerka-nerka.Begitu cepatnya wanita itu menemukan tempat kerjanya. Bahkan bisa tahu jam pulangnya dari kantor. Ah, mereka punya uang, apapun bisa dilakukan. Apa susahnya mencari tahu tentang seorang gadis