Jam sembilan pagi mobil Sabda memasuki halaman rumah orang tuanya. Di garasi yang sudah di buka, tiga mobil masih ada di sana. Syukurlah, kedua orang tuanya pasti berada di rumah.Baru saja dua langkah memasuki ruang tamu, Sabda dikejutkan oleh satu tamparan keras yang mengenai rahang kirinya. Bu Airin memandang putranya dengan kilatan kemarahan yang meluap-luap. "Kurang ajar kamu, Sabda. Bisa-bisanya kamu membohongi kami," teriak sang mama. Teriakan yang membuat papanya muncul dari dalam. Juga adiknya dan Mbok Sum, diikuti oleh Mbak Rini, pekerja paruh waktu di rumah besar itu."Mana perempuan itu? Mana?" teriak mamanya lagi. "Bisa-bisanya kamu bertindak bodoh. Menikahi dia tanpa berpikir panjang.""Ma, sudah. Ayo kita duduk dan bicara baik-baik." Pak Prabu bicara dengan tenang sambil meraih lengan istrinya."Gimana bisa tenang, Pa. Anakmu sudah nggak menghargai kita sebagai orang tuanya."Pak Prabu mengandeng Bu Airin dan mengajaknya duduk di sofa. Mbok Sum dan Mbak Rini kembali ke
Hidup adalah pilihan. Sabda memilih bertahan dengan Senja yang sudah sah menjadi miliknya, meski pernikahan mereka awalnya karena terdesak keadaan. Bukan kembali pada cinta lamanya yang pernah mengukir kisah manis bersamanya.Meski bersama Senja penuh rintangan, kalau dengan Bela sudah dipastikan restu di dapatkan dari seluruh anggota keluarga. Namun pilihan tetap pada perempuan yang sudah menjadi haknya."Setelah ini Mas mau tinggal di mana?" tanya Bumi yang mengikutinya ke kamar. Saat Sabda memasukkan benda-benda yang perlu di bawanya. Sabda hanya membawa beberapa setelan mahal yang ada di lemari bajunya."Mas sudah mendapatkan tempat tinggal. Cuman belum tahu kapan akan pindah. Sementara ini Mas akan nge-kost dulu," jawab Sabda sambil memasukkan koleksi jam tangannya ke dalam travel bag ukuran sedang. Khusus benda yang merupakan hadiah dari mamanya sengaja ditinggalkan."Ngekos di mana?""Belum tahu, nanti baru mau nyari."Tampak sekali Bumi cemas ketika hendak ditinggal sang kakak
"Mereka kan orang kaya, Ja. Kita hanya orang dusun yang nggak setara dengan mereka.""Ibu jangan khawatir. Kami baik-baik saja." Senja menenangkan ibunya, meski dalam hati ketar-ketir juga. Jika ibunya tahu pasti beliau sangat sedih.Untuk mengalihkan pembicaraan. Senja membahas hal lain. "Buk, dulu di sawah Mbah Dullah sana banyak tanaman mendong, kan? Sekarang kok nggak ada satu pun." Senja menunjuk sawah yang berada di pinggir dan di kelilingi pohon kelapa yang menjulang tinggi.Tanaman mendong ini untuk bahan tikar. Dulu menjadi komoditas yang menjanjikan. Waktu Senja masih kecil banyak kaum perempuan di desanya yang menganyam tikar mendong."Sekarang mana laku tikar seperti itu, Ja. Apalagi ketika tikar berbahan plastik buatan pabrik telah menyerbu pasar desa. Lagian sudah nggak zamannya hari gini tidur di atas dipan dengan alas tikar mendong. Walaupun di rumah kita ibu masih punya banyak tikar mendong.""Iya, Buk. Spring bed saja sekarang sudah terbeli oleh masyarakat pedesaan."
Langit sebelah timur warna biru pekat bercampur dengan warna jingga dan semburat cahaya kekuningan. Hawa dingin menusuk hingga ke tulang. Mobil Arga menerobos kabut tebal di jalanan desa menuju jalan utama. Sepagi ini mereka berangkat kembali ke kota.Senja memeluk tubuhnya yang masih kedinginan meaki sudah memakai jaket tebal. "Kita akan memulai hidup baru hari ini. Kamu ikut aku tinggal di kosan. Lumayan luas kamarnya. Walaupun menyatu dengan kamar mandi dan dapur.""Setelah pulang kerja, aku akan mengambil barang-barangku di kosan. Nanti setelah ibu kos sudah pulang dari rumah anaknya, Mas antar aku untuk pamitan.""Oke, Sayangku."Senja tersenyum. Sebutan itu sukses menghangatkan hati dan pipi Senja yang kedinginan."Semoga setelah tahun baru, rumah kita sudah bisa di tempati. Jadi pas bulan puasa nanti kita sudah di rumah sendiri.""Aamiin."Mobil telah menapak di jalan raya, suasana masih gelap. Jalan mulai halus dan signal ponsel telah pulih. Mobil melintas di sebuah pasar bes
Senja yang ikut membaca pesan, merasa tak nyaman hinggap dalam hati, apalagi membaca balasan dari Sabda untuk Bela. Hatinya terasa teriris.[Aku akan datang besok malam.]Belum sempat Senja bertanya, Sabda memandangnya dan bilang, "Aku akan mengajakmu ke acara itu besok malam jam tujuh."Senja terperanjat. Jika dia diajak berarti semua akan terbongkar segera. Terlebih jika Sabda mengakui jika mereka sebenarnya telah menikah."Mulai besok akan banyak orang yang tahu tentang hubungan kita. Bahkan tentang pernikahan kita. Kita yang menjalani hubungan ini, jadi tak perlu memikirkan apa pandangan mereka. Kita memulai hidup baru," ucap Sabda sambil menyentuhkan keningnya pada kening Senja. Wanita itu mengangguk. Kalau Sabda siap dihakimi keluarga besarnya, ia pun harus siap juga di sampingnya. Senja bisa menduga, 80% kesalahan akan di tuduhkan padanya dan yang 20% untuk Sabda yang dianggap sebagai korbannya.Jujur saja, Senja gelisah. Dia butuh waktu lagi untuk menata hati. Tapi melihat kes
"Aku nggak bercanda. Kenalkan ini istriku, namanya Senja." Sabda memperkenalkan Senja pada temannya. Namun dia tidak membiarkan teman lelakinya menjabat tangan sang istri.Senja tersenyum pada laki-laki yang berada di depannya dan sedang menatapnya heran. Benar kata Sabda, malam ini adalah awal dari cerita baru. Dia akan berhadapan dengan banyak orang dengan penilaian mereka masing-masing."Kapan kalian menikah? Kenapa nggak ngundang teman-teman?""Kami belum ngadain resepsi.""Oh ... jangan lupa nanti undang kami."Sabda tersenyum. Dari satu orang yang diberitahu oleh Sabda akhirnya tertular pada rekan-rekan yang lain. Makanya Sabda dan Senja jadi pusat perhatian mereka.Salah seorang teman memberitahu Bela tentang kehadiran Sabda. Gadis itu memandang ke arah pria yang berdiri tidak jauh darinya. Netranya menatap tajam tak berkedip, terlebih ketika melihat tangan Senja melingkar di lengan pria itu.Bela berdiri dan menghampiri Sabda. Pria itu mengulurkan tangan untuk menyalami, tapi
Baru saja Sabda merebahkan diri di kasur, ponselnya berdering. Mamanya sedang menelepon. Belum sempat bilang halo, sang mama sudah marah-marah dengan lantangnya. Tentu saja mengenai pertemuannya dengan Bela dan kejadian di acara tunangannya Pangky tadi. "Kenapa kamu bawa perempuan itu ke acara temanmu? Mengenalkanmu pada mereka kalau perempuan itu istrimu.""Apa itu salah, Ma? Aku membawa Senja ke acara orang lain, bukan di acara keluarga kita. Mama hanya tidak mengizinkan aku membawa Senja ke acara-acara keluarga besar kita saja, kan?""Tapi kamu sudah mempermalukan Bela?""Mempermalukan bagaimana? Dia sendiri yang bilang pada teman-temannya kalau akan bertunangan denganku. Sementara aku dan dia sudah nggak ada hubungan apa-apa sudah lama. Aku juga sudah bilang dari awal kalau menolak rencana mama itu. Kenapa mama tetap melanjutkan? Bahkan Mama juga melarangku menemui Pak Pras untuk membatalkan pertunangan itu. Ma, kenapa malah getol membela Bela, yang anak mama itu aku bukan?"Bu A
Sabda melihat jam di pergelangan tangannya. Pukul dua. Masih ada waktu dua jam lagi untuk bertemu Arga. Hari ini Senja juga terakhir kerja. Dia tidak mungkin mengajak Senja untuk menemui Arga. Diambilnya ponsel dari dasbor dan mencoba menghubungi istrinya. Semoga saja Senja bisa menerima teleponnya. Dua kali deringan, akhirnya panggilannya di jawab."Halo, Assalamu'alaikum Mas.""Wa'alaikumsalam. Lagi sibuk?""Baru saja nyelesain pekerjaan. Mas, di mana ini?" Bunyi musik yang terdengar lirih, membuatnya berpikir kalau suaminya sedang ada dalam kendaraan."Mas di perjalanan. Baru pulang meeting. Tapi aku nggak bisa jemput kamu nanti pulang kerja. Aku masih ada urusan di luar sebentar.""Ya, nggak apa-apa. Aku nanti pulang naik angkot saja.""Hati-hati, ya. Kita ketemu di rumah nanti. Oh ya, persiapkan apa yang harus kita bawa untuk berangkat besok.""Iya, Mas.""Assalamu'alaikum.""Wa'alaikum salam."Sabda mengembalikan ponselnya di tempat semula. Dia langsung memutuskan untuk pergi ke