"Daniel, tunggu!!" pekik Sandy, lalu mengejarnya. Sedang Daniel sudah bertanya pada semua pegawai yang ia temui."Dia tidak masuk," ucap Daniel menghela napas panjang sembari duduk di pantry. Sandy melihat gurat sedih di wajah Daniel."Tadi aku mau mengatakan hal itu. Kalau, Selena tidak masuk hari ini," ucap Sandy menyesal karena baru mengatakannya sekarang. "Kau?!" Daniel terlihat marah. "Aku rasa, kau sudah benar-benar mencintainya," kata Sandy. "Pcckkk. Sudah berapa kali aku bilang. Aku hanya, ...""Niel. Mencintai itu tidak salah. Itu wajar dan sah-sah saja. Apa kau takut orang-orang mengataimu kalau kau mencintainya?" ucap Sandy membuat Daniel bungkam. Daniel juga masih belum tahu jelas tentang hal itu. Ia pikir, ia hanya ingin memanfaatkan Selena untuk kepentingannya. Tapi, ia juga tidak memungkiri bahwa ia juga menyukai gadis itu sejak pertama kali melihat. Daniel menghela napas panjang. Ia kembali berdiri dan berjalan menuju ruangannya. Diikuti Sandy di belakangnya. "Da
"Siapkan mobil!" titah Daniel yang diangguki Sandy dengan senyum. Untuk kali ini, entah kenapa Sandy sangat mendukung temannya mengejar gadis bernama Selena. Seperti semesta sudah mendukung Daniel."Kenapa jadi begini, Bu? Jangan membuatku takut. Aku tak punya siapa-siapa lagi selain Ibu," ucap Selena sembari menggenggam tangan Ibunya. Ibunya sedang dalam keadaan tidak sadar diri karena percobaan bunuh diri dengan menyayat nadinya sebelah kiri. "Kita harus membawa Ibumu ke rumah Sakit, Selena. Perawatan luka dariku tak akan mampu mengobati sepenuhnya. Aku takut, lukanya akan menjadi infeksi atau hal buruk lainnya," ucap Rani memberi tahu Selena. "Aku benar-benar sudah tak ada uang lagi, Ran. Sudah banyak barang-barang yang kujual untuk membeli obat Ibu dan keperluan kita sehari-hari," kata Selena dengan terus memandang Ibunya sedih."Kau bisa memakai uangku dulu. Saat kau sudah gajian, kau bisa mengembalikannya.""Aku tidak mungkin melakukan itu, Ran. Aku saja tak bisa membayarmu.
"Akhirnya, ponsel ini masih bisa diperbaiki. Padahal semua foto-fotoku bersama Selena ada di ponsel ini. Apalagi belum aku back up ke laptopku," ujar Alvaro sedih memandang ponselnya yang retak, tapi sudah bisa menyala karena telah selesai di service. Alvaro menyalin semua nomer telponnya ke dalam sim card yang baru, karena sim card nya yang lama sudah penuh. "Aku sudah sangat merindukanmu, Sel," ucap Alvaro. Jemarinya sudah menekan nomer ponsel Selena dan hendak menghubungi kekasihnya itu. Namun, ia ingin memberi kejutan pada Selena. Untuk itu, Alvaro lebih memilih ingin menghubungi Rani, perawat Ibu Selena lebih dulu. KAKEK CALLING. Nama yang muncul di layar ponselnya, membuat Alvaro mendengus pelan."Ya, hallo, Kek," sapa Alvaro pada kakeknya. "Dasar anak nakal! Kemana saja kau! Kenapa tidak pernah menghubungi Kakek?!" marah Sanjaya pada cucunya. Membuat Alvaro memejamkan mata dengan sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga. Suara kakeknya sangat-sangat mengejutkan. "Ponsel
"No!""Tidak!"Sahut Daniel dan Selena berbarengan. Membuat Sandy mengulum senyum karenanya. "Jangan berani keluar dari sini tanpa perintah dariku," imbuh Daniel. Sandy hanya mengangguk pasrah. "Bagaimana dengan tawaranku, Selena?" ucap Daniel membuka suara pada gadis di depannya. Demi apapun juga, sebenarnya ia sangat gugup berhadapan dengan Selena. "Tentang?" "Tentang tawaran menikah denganku," sambung Daniel. Selena mengatupkan bibirnya rapat. Sebenarnya Selena juga merasa tidak enak jika ia dibantu tapi tak bisa membalas kebaikan pria itu. "Aku masih butuh waktu untuk berpikir," kata Selena."Tapi aku tak punya banyak waktu, Selena," ucap Daniel penuh penekanan. Ia menghela napas sebentar, melihat Selena sedikit terkejut dengan ucapannya. "Maaf, aku tak bermaksud, ...""Untuk berapa lama?" tanya Selena memberanikan diri. Daniel menganga mendengar pertanyaan Selena. Otaknya masih sedikit berpikir perihal ucapan Selena baru saja. "Apa maksudmu?""Kau bilang, pernikahan itu ha
"Ya?""Apa kau tidak membaca perjanjian ini?" tanya Rani heran. "Sudah. Memang kenapa?" tanya Selena bingung. Ia meraih kertas dari tangan Rani. Lalu seketika membuka mata lebar dengan tulisan yang ditunjuk Rani sebelumnya. "Ini?" Selena terbata. Ia seperti melewatkan sesuatu dalam poin perjanjiannya. "Tapi, Pak Daniel bilang hanya enam bulan-, tidak. Tidak mungkin. Dia sudah mengatakan dengan jelas padaku. Bahwa perjanjian ini hanya enam bulan, Ran," ucap Selena dengan bingung. "Meski dia berkata seperti itu. Seharusnya kau bisa membacanya lagi, Selena," ucap Rani dengan menhela napas pelan."Dia sudah membohongimu, Ran? Dia sudah menipuku!" teriak Selena meremas kertas pernjanjian itu dan berlari keluar kamar Ibunya. "Selena berhenti!" teriak Rani. Namun gadis itu sudah menghilang di pelupuk matanya. Rani hanya menarik napas panjang dan berharap semuanya baik-baik saja. *******Brak!!"Dasar brengsek!!" teriak Selena yang tiba-tiba masuk ke ruangan Daniel. Ia menerobos masuk t
"Kita akan mengatakan yang sejujurnya. Ibumu sedang sakit dan Ayahmu---" ucap Daniel terhenti dan menatap Selena. Karena ia memang tidak tahu tentang Ayah Selena."Ayahku sudah meninggal," jawab Selena lirih membuat Daniel mengulas senyum tipis. "Baiklah! Kita katakan yang sebenarnya seperti itu. Jika kakek menolak, aku tak akan menghiraukannya. Karena aku hanya akan menikahimu," ucap Daniel serius Membuat Selena memicingkan mata. "Ck, kau berkata seperti itu, seolah kita adalah benar-benar pasangan yang sedang tidak direstui saja," celetuk Selena sambil mengusap pipinya. Membuat Daniel tertegun dan salah tingkah. Sedangkan Sandy sedang menahan tawa karena merasa lucu dengan atasan sekaligus temannya itu. Namun, ia segera terdiam setelah mendapat lirikan tajam dari Daniel.*********"Kau lihat gadis tadi?" "Iya, Tuan!""Aku ingin kau segera mencari semua informasi dari gadis itu. Jangan sampai ada yang tertinggal. Cari tahu segala hal, bahkan hal terkecil sekalipun!" perintah San
Tatapan keduanya saling mengunci satu sama lain. Degup jantung mereka pun, rasanya hampir terdengar di telinga masing-masing. Masih dalam posisi yang sama, Daniel meneguk salivanya susah payah. Selena, gadis itu sangat harum baginya. Saat berdekatan seperti ini, rasanya ia enggan untuk menjauh. Bahkan, ia sangat ingin terus mencium aroma harum yang memanjakan indera penciumannya. Namun, fokusnya menjadi buyar saat Selena bergerak melepas pelukan Daniel saat ia akan terjatuh itu. "M ... Maaf. Aku ... Hanya reflek tadi," ucap Daniel tergagap. "Terima kasih," lirih Selena tertunduk malu. "Tidak usah ganti baju lagi. Seperti ini saja. Kita makan dulu, sambil menunggu malam tiba untuk makan malam bersama Kakek," sambung Daniel menghentikan langkah Selena. Gadis itu melirik sebentar ke arah Daniel. Kemudian kembali menunduk dan menganggukkan kepala lemah. "Mmm... Begini saja. Biar adil, aku juga akan berganti pakaian resmi sepertimu. Kau tunggu di sini dulu. Duduk saja dulu, aku akan
"Apa kau bilang?!" tanya Selena marah. Daniel merutuki kebodohannya. Karena tak bisa mengontrol mulutnya. "Kau tak berhak menilai kekasihku! Kau tak tahu apapun tentang dia! Dan lagi, kau tak tahu keadaan yang sesungguhnya!!" teriak Selena mulai marah. Bahkan, matanya sudah membendung air mata. Daniel terdiam. Ia merasa telah melampaui batas. Tak seharusnya ia berkata begitu. "Selena, aku tak ber...""Kau tak berhak menilaiku ataupun kekasihku! Kau tak tahu apa-apa!!!'" teriak Selena menumpahkan kesedihannya. Entah bagaimana, seketika itu juga ia mengingat Alvaro, dan seakan membenarkan perkataan Daniel. Bahkan hingga kini, Alvaro pun masih belum menghubunginya. "Selena. Maaf. Aku tak bermaksud begitu." Daniel merasa bersalah karena Selena menangis begitu saja. Jika begini, maka makan malampun akan batal. Bagaimana ini?"Selena, aku minta maaf. Aku tak bermaksud menilai ataupun menyinggungmu. Aku...""Saya tidak bisa melanjutkan ini lagi. Saya harus pergi," ucap Selena hendak men