"Kau?!" Karina membelalakkan mata ketika melihat sosok lelaki yang ada di depannya. "Hai, Sayang. Aku sangat merindukanmu, tapi maaf, kau jadi seperti ini," ucap laki-laki itu menyentuh pipi Karina dengan telunjuk jarinya. "Jadi, kau yang melakukan itu?!" tanya Karina dengan sorot mata yang tajam. Sedangkan laki-laki itu selalu menampilkan senyum evilnya."Pergi kau dari sini!" usir Karina marah. "Ayolah, Sayang, aku baru sampai di sini ingin melihatmu," ujarnya sok peduli. "Pergi!!!' teriak Karina mengundang para pengawal yang ada di luar. "Ada apa, Nyonya?!" tanya salah satu pengawal. Sedangkan perawat itu sudah kembali memakai maskernya. "Tidak apa-apa, Tuan. Ibu Karina hanya tidak mau minum obatnya," ujar perawat itu lalu berjalan keluar setelah sebelumnya menatap Karina tajam.******"Aku pernah membaca tentang psikologi yang mengatakan bahwa pria lebih cepat jatuh cinta dan segera menyatakan perasaannya daripada perempuan. Dan aku salut padamu, Daniel. Kau secepat ini memb
Sandy memalingkan wajahnya dan beranjak pergi meninggalkan Daniel dan Selena. Pria itu memberikan sedikit ruang dan waktu untuk berbicara. Selena terkesiap saat Daniel memeluknya erat. Saat kesadarannya kembali, ia memberontak meminta dilepaskan. "Tenanglah! Tenanglah, Selena," ucap Daniel memeluk Selena erat. Selena menitikkan air mata dan mulai terisak tangis. Berulang kali ia memukul-mukul punggung Daniel, tapi pria itu semakin mengeratkan pelukannya. "Maaf. Maafkan aku, Selena. Maaf, karena aku mencintaimu," ucap Daniel mengeratkan pelukannya pada Selena."Jangan bicara omong kosong, Daniel!!!" geram Selena seraya mendorong dan melepas pelukan Daniel dengan kasar. "This is not bullshit, Selena. I'm telling the truth," ucap Daniel berusaha meyakinkan Selena. Sedangkan gadis itu lebih memilih membuang muka dan tersenyum kecut menanggapi ucapan Daniel. "Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah percaya pada apapun yang kau katakan, Daniel!" kesal Selena memandang tajam pria itu.
"Sa... Saya sudah melakukan sesuai perintah, Tuan," ucap Sang Suster dibalik telepon. "Bagus! Pergi dari sana dan jangan sampai ada yang menyadari keberadaanmu!" ucap seseorang diseberang sana. "Baik!"***********Tepuk tangan yang meriah teriring setelah Daniel dan Selena resmi menjadi pasangan suami istri. Daniel selalu memasang senyum lebar di wajahnya, tapi tidak dengan Selena. Gadis itu selalu murung dan hanya terpaksa senyum jika dihadapkan kamera. Tapi, semua orang pasti akan menyadari, jika senyuman yang diberikan Selena adalah senyuman paksa. "Sepertinya, aku pernah melihat gadis itu. Di mana ya?" gumam Joshua sembari meneguk minumannya dan terus memandang ke arah Selena. "Selamat untukmu, Sepupu. Dengan begini, minggu depan kau resmi menyandang jabatan itu," ucap Joshua menyalami Daniel dengan senyum menyebalkannya. "Terima kasih, Jo. Semoga kau juga segera menyusul," sahut Daniel membuat tawa Joshua."Sepertinya aku akan mengikuti jejakmu, Sepupu. Aku akan menikah, saa
"Tapi, Pak Daniel. Terkadang hal itu memang biasa terjadi pada pasien yang akan meninggal, jadi...""Lakukan otopsi pada pasien. Agar lebih jelas, apa penyebab kematiannya," tukas Daniel tegas menatap Dokter. Sang Dokter gelagapan bertatap mata dengan Daniel. Membuat Daniel memasang curiga padanya. Seolah, sang Dokter sedang menutupi sesuatu. "Kalian berdua, kunjungi bagian informasi. Cari rekaman cctv di kamar Ibu Selena. Cepat!" perintah Daniel pada kedua anak buahnya. Sang Dokter terlihat sedikit gugup. "Bisa kan? Anda melakukan otopsi pada pasien?" tanya Daniel sekali lagi. Sang Dokter akhirnya menganggukkan kepala meski dengan sedikit gugup. Membuat Daniel terus menatap dan mengawasi gerak-gerik Dokter itu. "Rani? Saat Ibu Selena meninggal, kau selalu ada di sisinya, kan?" tanya Daniel pada Rani. Ia tak tega mendengar Selena menangis meraung meratapi Ibunya yang sudah meninggal. Tapi, ia juga harus bertindak cepat untuk mengatasi masalah ini."Tadi, Ibu Selena bangun. Dan di
"Kek? Begitukah kau menyambut cucumu setelah sebulan pergi? Apa kau tak menanyakan aku sudah makan atau belum?""Apa kau lupa tempatnya meja makan? Kalau kau lupa, aku akan menyuruh pengawal mengantarkanmu ke meja makan di luar negeri sana," ujar sang kakek tanpa menoleh padanya. Sedang Alvaro hanya melotot kaget dan tak percaya dengan ucapan kakeknya."Dasar orang tua. Selera humornya jelek sekali," gerutu Alvaro. Ia berdecak kesal lalu kembali menuju kamarnya yang sempat tertunda.Alvaro menghempaskan tubuhnya sejenak di atas ranjang. Ia memejamkan mata sebentar kemudian membukanya lagi menatap langit-langit kamarnya."Sebaiknya, waktu ini aku gunakan untuk bertemu Selena," gumam Alvaro sendiri yang langsung bangkit dari pembaringannya. Tanpa berganti pakaian ataupun mandi sekalipun, ia bergegas meraih jaketnya kembali dan segera menuruni anak tangga hendak menemui Selena. ********Hasil autopsi Ibu Selena telah keluar. Dan benar, pernyataan yang menunjuk bahwa Ibu Selena mengalami
Jantung Selena seakan berhenti berdetak. Seketika wajahnya menjadi pias. Air matanya menggantung di kelopak matanya. Namun, tatapannya tertegun menatap sang kekasih. Bagaimana Selena akan mengatakan hal yang sesungguhnya. Jika sebenarnya, dirinya sudah menikah. Ah, tidak. Sebenarnya, itu hanya pernikahan kontrak. Namun, apakah Alvaro bisa menerimanya?"Al, aku...""Aku pastikan akan segera melamarmu, Selena," ucap Alvaro kembali memeluk kekasihnya. Ia ingin menebus kesalahan karena sudah mengabaikan Selena sebulan ini. Seharusnya, keberadaan Alvaro serta ajakan lamaran dari kekasihnya itu menjadi hal yang sangat ia harapkan. Namun, keadaan sudah berubah. Selena juga sangat menyayangkan kedatangan Alvaro yang terlambat menemuinya. Andaikan saja ia datang sebelum pernikahan itu terjadi, mungkin...Tangan Daniel mengepal erat. Dadanya bergemuruh mendengar penuturan Alvaro baru saja. Bagaimana mungkin Alvaro akan melamar Selena. Sedangkan wanita itu sudah menjadi istrinya. Jika Kakeknya
"Tugas sudah selesai, Tuan," ucap salah seorang pengawal."Kau yakin semua aman?" tanya seseorang yang mengepulkan asap rokok dengan membelakangi pengawalnya. "Saya sudah pastikan tak ada yang mengetahui hal itu, Tuan," jawab sang pengawal. Seorang laki-laki paruh baya itu memutar kursi dan mematikan puntung rokok yang masih tersisa separuhnya ke dalam asbak."Baguslah. Semoga saja usahamu tak meninggalkan jejak," sahut laki-laki itu dengan kemudian ia menggerakkan tangannya tanda menyuruh pengawalnya keluar. "Andai saja kau menurut padaku waktu itu, Harry, mungkin keluargamu tak akan mengalami hal pahit ini," gumam laki-laki itu dengan memandang sebuah foto yang selalu ia pandangi belakangan ini.BRAK!Ia menaruh kasar bingkai foto itu ke dalam laci. Ia merasa kesal. Namun, ia tertawa seolah ada hal lucu. Raut wajahnya sulit ditebak. Kadang tertawa, kadang sedih, bahkan sedikit air mata terselubung di kelopak matanya.*********Dalam sebuah kamar yang luas nan megah, Selena berbar
"Kita harus bicara, Al!" Daniel menghampiri kamar Alvaro. Dan adiknya itu sedang meringkuk di atas ranjang dengan tatapan kosong dan mata yang berkaca-kaca."Tak ada yang perlu dibicarakan!" sahut Alvaro dingin dan menutup matanya. Membiarkan bulir air itu jatuh."Aku tidak tahu jika Selena adalah kekasihmu. Itu jujur!" "Lalu darimana kalian bertemu? Kenapa kau tak memberi tahuku jika akan menikah dengan Selena, Niel!" "Aku mencintainya sejak pertama kali bertemu dengannya," ucap Daniel lirih, tapi begitu mantap didengar.Alvaro membuka matanya. Ia duduk di pinggir ranjang dan menatap dingin ke arah kakaknya. "Cinta kau bilang? Hhh! Bullshit dengan cintamu, Niel! Aku sangat tahu kau! Kau tidak pernah tertarik dengan wanita! Lalu? Kenapa harus Selena!" teriak Alvaro membuat Daniel memejamkan mata. Daniel memijat pangkal hidungnya. Ia sedikit pusing bagaimana mau menjelaskan hal ini pada Alvaro. Tidak mungkin ia akan mengatakan pada Alvaro jika pernikahannya dengan Selena hanyalah k