"Pa, aku mau bertemu Alex."
Benyamin melotot, "Tidak boleh! Papa tidak bersusah-payah menyuruhmu pulang hanya untuk melepasmu kembali ke tangan lelaki itu! Bagian mana yang tidak kamu pahami mengenai larangan Papa?" "Tapi Papa...." "Papa tahu orang seperti apa dia! Dia bukan pilihan untukmu, Diana! Bahkan terlintas dalam pikiran pun tidak!" "Papa belum kenal Alex, bagaimana bisa menilainya?" "Kamu membela orang lain daripada keluargamu sendiri? Bagus! Semakin memperkuat alasan Papa melarangmu dekat dengannya!" "Pa, justru Alex yang memintaku untuk pulang ke sini, supaya Papa lebih tenang. Dia memikirkan hal yang baik, Pa." Diana menjelaskan. "Apa motivasi di balik itu? Kamu begitu saja percaya kata-katanya? Dia memanfaatkan kepolosanmu, Nak!" Benyamin tidak goyah terhadap penjelasan Diana. "Aku sudah dewasa, Pa. Aku bisa memutuskan apa"Cincin ini bagus juga dikalungkan." Alex memainkan cincin pemberiannya yang tergantung di tengah dada Diana. Diana terkikik geli, "Biar Papa tidak tambah emosi melihatnya." "Posisinya bagus. Aku akan sering-sering menyentuh cincin ini." Mata Alex berkilat nakal. "Alex! Pikiranmu sampai kesana!" "Memang kamu tidak menyadarinya?" Diana kehilangan kata-kata karena Alex menciumi kulit telanjang di sekeliling cincin. Matanya terpejam saat Alex mengulum puncak yang lembut. "Mmhh... Kamu memang nakal...," desah Diana. "Aku suka melihat wajahmu yang begitu menikmati." Alex bertopang dagu di sisi Diana. Pipi Diana merona, membuat Alex tidak tahan dan menciuminya kembali. Kelembutan kulit yang seputih pualam membuat Alex ketagihan. Tidak ada wanita yang membuatnya merasa seperti ini. Tidak ada wanita yang membuatnya tidak ingin meninggalk
Dua mobil melaju beriringan di jalan tol yang sepi. Diana bersandar miring memandangi Alex sepanjang perjalanan. Enggan sekali kalau harus berpisah lagi. "Kamu yakin papa mau bicara denganmu?" tanya Diana. "Selain ayah kan masih ada ibumu. Cara lain untuk mendekati lelaki adalah melalui wanitanya." "Ohh..." Diana tidak menyangka jawaban Alex. "Aku tidak akan menyerah, Princess." Alex menggenggam tangan Diana. Siapakah lelaki di sampingnya ini? Pikiran Diana melayang pada saat mereka pertama kali bertemu. Alex memberi kesan yang menakutkan karena sikap agresifnya. Setelah beberapa waktu mengenalnya ternyata Alex memiliki hati yang baik dan menghargai. Diana berharap semoga Benyamin dapat melihat diri Alex di balik penampilan yang terkesan cuek. Ketegangan membuat Diana terjaga sepanjang perjalanan, padahal biasanya dia mengantuk dan tertidur sebentar. Keluar dari
Sore hari ketika Alex harus pulang... "Aku akan sering berkunjung," janji Alex. Mata Diana berkaca-kaca, "Janji?" "Janji, Sayang..." Alex mencium pipi Diana setelah yakin tidak ada yang melihat. "Baiklah. Hati-hati di jalan." Diana enggan melepas tangan Alex. Alex mencium tangan Diana, "Nikmati waktumu disini. Aku akan menelepon nanti malam." "Iya." Diana menunggu di gerbang sampai mobil Alex menghilang dari pandangan. Mikaela berjalan tanpa suara ke sisi Diana. Mereka menghela nafas berbarengan. Diana terlonjak kaget, "Mama? Bikin kaget saja." "Dasar anak muda. Untung papamu tidak melihat adegan cium pipi tadi, kalau tidak dia bisa berlari keluar dengan golok di tangan," goda Mikaela. Diana tertawa malu. "Sudahlah, Nak. Dia pasti akan kembali kok. Ayo kita masuk, sudah sore." Mikaela
Pagi-pagi sekali Diana terbangun oleh gedoran di pintu. Dilihatnya handphone sudah mati kehabisan daya. Diana langsung menancapkan kabel charger. Dia membenahi pakaian tidurnya dan membuka pintu. Mikaela berdiri dengan wajah pucat. "Ada apa, Ma?" Diana langsung merasa ada yang tidak beres. "Ada yang melempar sesuatu ke dalam pagar," kata Mikaela lirih. "Apa itu?" Mikaela tidak menjawab. Mereka berdua bergegas turun menuju pusat kehebohan. Penjaga dan karyawan lain berkerumun di pekarangan. Jack tampak berdiri di antara mereka. Diana berlari menghampiri, tangannya menepuk bahu Jack, "Ada apa?" "Nona, sebaiknya jangan dilihat," kata Jack. Wajahnya tanpa ekspresi. Diana melongok ke tengah kerumunan. Kelihatannya ada sebuah kotak kardus besar. Mata Diana terbelalak melihat isinya. Gambaran itu tertanam dalam otak Diana, membuatnya bergidik jijik. Bangkai t
Suara jeritan wanita terdengar sayup dari dalam rumah. Niko berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Hasratnya bangkit mendengar suara-suara itu. Han adalah binatang yang tak terpuaskan. Wanita-wanita yang dipaksa melayani bos mereka terkadang harus kehilangan nyawa karena kebuasan lelaki tua itu. "Lakukan sekarang," perintah Niko lewat handphone. Niko memerintahkan anak buahnya untuk membakar tumpukan ban di depan rumah Benyamin Hartanto. Mereka kenal Benyamin, seorang konglomerat dengan masa lalu yang kelam. Kalau bukan karena Alexander mereka tidak akan mengganggu konglomerat itu. Niko tahu dengan kekayaan yang dimiliki, Benyamin dapat mengimbangi kekuatan kelompok hitam. Di depan rumah Benyamin beberapa orang bergerak. Mereka melempar beberapa ban bekas yang dibawa. Saat salah seorang dari mereka hendak menyulut api, polisi menyergap. Kejadiannya sangat cepat. Satu orang lolos karena saat pen
"Silakan. Yang paling tua boleh memulai dulu." Alex tersenyum. Penampilan Han boleh terlihat seperti lelaki tua, tapi gerakannya luwes dalam pertarungan. Langkah kakinya ringan seolah tak berbobot. Hanya butuh dua langkah lebar bagi Han untuk memperkecil jarak sejauh dua meter antara dirinya dan Alex. Alex sudah mengantisipasi tapi dia masih terkejut. Dia menghindar ke samping saat Han melayangkan telapak tangan ke kepala. Besi menghantam dada Han dengan keras, membuatnya mundur selangkah. Alex tidak membuang waktu, batang besi di tangannya berputar, menusuk, memukul tubuh Han bertubi-tubi. Han berteriak keras dan melancarkan serangan balasan. Alex menangkis tepat waktu. "Kamu sudah bertambah tua. Cuma segitu pukulanmu?" ejek Alex. "Siapa yang tertawa paling akhir itulah pemenangnya," kata Han. Satu sentakan dan bajunya pun robek, menunjukkan tubuh tua yang masih
"Kapan pulang??" tanya Benyamin dengan galak. "Pa, aku janji akan pulang kalau Alex sudah pulih. Sekarang biarkan aku merawatnya. Dia terluka karena menghadapi orang-orang yang meneror rumah Papa," bujuk Diana. Benyamin terdiam sesaat, "Baiklah! Tapi hanya kali ini saja Papa ijinkan kamu berdekatan dengannya!" "Iya Pa." Diana tersenyum. "Ehm, bagaimana Nona? Pak Ben mengijinkan?" tanya Jack penasaran. "Iya. Sampai Alex pulih." Diana meletakkan handphone di meja. "Hah! Kamu beruntung, Vorst." Jack tertawa. "Aku bersyukur." Alex tersenyum senang. Jack meninggalkan kamar untuk cari angin. Alex tahu Jack sengaja keluar untuk memberi privasi padanya dan Diana. "Sakit banget ya?" tanya Diana dengan wajah sedih. "Masih bisa ditahan. Aku pernah beberapa kali mengalaminya meskipun tidak sepa
"Temani aku tidur," bujuk Alex. "Kamu bisa manja juga ya?" "Hmmm... Kapan lagi? Mumpung ada kesempatan." Diana memanjat ke tempat tidur dan rebah di sisi kiri Alex, "Begini cukup, Kakak?" Dia menahan tawa. Alex mengerang, "Aku benar-benar disiksa. Kamu tahu kan aku sulit tertawa?" "Iya, maaf. Habisnya kamu manja sih. Ini sudah hari ke berapa sih kamu istirahat?" "Baru satu minggu, Princess. Aku butuh waktu sekurangnya satu bulan untuk pulih seratus persen." "Satu bulan ya. Setelah itu aku harus pulang." Diana bersandar di dada Alex. Alex melingkarkan lengan di punggung Diana. Dia menahan nyeri untuk menarik Diana mendekat. "Sakit ya?" tanya Diana. "Masih bisa ditahan. Aku sudah terbiasa." "Kamu tidak mau minum obat dokter?" "Obat pereda nyeri me