“Si Jingga? Apakah hanya ada satu warna Jingga, Kek?”Pria muda belum sempat mendengarkan jawaban si kakek karena perhatiannya teralihkan oleh keributan di jalan raya. Para supir angkutan bertengkar karena berebut penumpang. Sayangnya ketika ia menoleh ke arah pria tersebut, si pria tua itu sudah tak ada lagi.Ardhan segera turun dari motornya dan berkeliling mencari keberadaan si Kakek. ia bahkan memanggil-manggil nama Kakek tersebut seperti orang gila. Nyatanya sosok misterius itu tak muncul kembali. Ia menyesal karena sempat mengalihkan pandangannya sebentar.Karena tak percaya sosok tua itu pergi dengan cepat, Ardhan mencoba untuk mencari jejaknya. Ia menelusuri setiap jalan namun usahanya tentu saja sia-sia. Lelaki yang putus asa itu akhirnya memilih untuk kembali ke rumahnya.Sepanjang jalan Ardhan memikirkan perkataan Kakek misterius itu hingga ia mengambil kesimpulan jika Prama adalah orang yang perlu ia waspadai karena ia adalah satu-satunya pemilik bola mata Jingga. “Apa yan
“Apa ya, saya juga tidak paham Pak,” respon Ardhan yang bingung tiba-tiba rekan bisnisnya mengatakan tentang mimpinya.“Baru kali ini lho Pak, saya mimpi dan itu mengganggu aktivitas karena kepikiran terus,” imbuh lelaki itu.“Tidak usah dipikirkan Pak Prama, mimpi itu bunga tidur,” jawab Ardhan santai. Ia lantas mengajak rekannya itu untuk masuk ke kantor mereka. Setiap kali Prama menjelaskan detail mimpinya, Ardhan selalu mengalihkannya pada hal lain.Seperti saat ini mereka jadi membahas masalah klub bola padahal Prama sama sekali tidak mengerti permainan sepakbola. Keduanya terus mengobrol serius sampai tak terasa sudah sampai di depan kantor sementara mereka. Prama masuk lebih dahulu diikuti Ardhan di belakangnya.Tak ada yang berubah dengan tatanan meja kerja Ardhan, semua masih tampak rapi seperti saat terakhir ditinggalkannya. “Pak Ardhan mau sampai k
“Baik Pak, saya terima file-nya. Terima kasih banyak.”Meskipun merasa kesal dengan perbuatan Prama namun Ardhan harus tetap bersikap ramah dan sopan pada rekan bisnis perusahaannya itu karena ia tak mau kerjasama mereka terputus. Sebenarnya file yang diberi oleh lelaki itu tak diperlukan oleh perusahaan Ardhan tetapi ia tetap membawanya.“Hati-hati di jalan Pak.”Ardhan hanya tersenyum simpul, kakinya bergerak cepat menuju area parkir. Si hijau langsung menyala dalam sekali percobaan, perlahan ia mulai meninggalkan area proyek. Kondisi jalanan tampak lebih ramai dan padat daripada biasanya, sehingga Ardhan sedikit telat sampai di kantor.“Selamat sore Pak Ardhan, pegawai teladan perusahaan kita. Yang lain sudah pulang tetapi Pak Ardhan baru datang sekarang,” ujar Moritz menyambut kedatangan Ardhan di lobby kantornya. Tentu saja apa yang dilakukan oleh lelaki seumuran Ardhan itu menarik perhatian para pegawai yang akan pulang. Mereka mengira jika keduanya akan bertengkar lagi.Ternyat
Jonas sama terkejutnya dengan Ardhan, perkataan Moritz barusan mengisyaratkan jika dirinya siap melakukan kriminal. “Maksud bapak apa, Pak? Apa yang akan Pak Moritz lakukan pada Pak Ardhan?”“Hahaha, tenang saja Jonas. Jangan takut begitu, aku tidak akan melakukan kekerasan padanya,” ucap Moritz. Ardhan tahu siapa temannya itu, ia juga yakin jika Moritz tak akan tega melakukan hal keji padanya. Tetapi melihat dari waut wajahnya ketika berbicara seperti itu, Ardhan yakin ada hal laiin yang akan lelaki itu lakukan.“Aku mundur Pak Moritz, aku tidak mau ikut terlibat masalahmu lagi,” ucap Jonas kemudian pergi meninggalkan Moritz.Lelaki itu tak mencegah kepergian salah satu anak buahnya, ia tetap di sana menunggu Ardhan keluar dari lift. “Tunggulah aku hingga besok pagi,” ejek Ardhan kepada Moritz. Ia lantas pergi keluar dengan santai.Ternyata tak cuma Moritz dan Jonas yang tidak bisa bisa melihat Ardhan, orang-orang yang berada di luar juga tidak menyadari kehadiran lelaki itu. Mereka
“Ada bu, dia di seberang,” jawab Ardhan sembari menunjuk sosok pria tua baik hati itu.“Jangan bicara ngawur kamu, Dhan. Sudah masuk sana, mandi ganti baju,” usir sang Ibu karena takut anaknya membicarakan sosok yang tak terlihat.“Motormu biar ayah yang urus,” imbuh sang Ayah.Karena anaknya tak kunjung masuk ke dalam, ibu Ardhan sampai mendorongnya. “Sebentar Bu, aku mau berterima kasih pada Kakek itu,” ucap Ardhan. Namun tenaga ibunya sangat kuat hingga dirinya masuk ke dalam kamar.Lelaki itu segera membuka jendela kamarnya, ia masih ingin melihat sosok Kakek misterius itu. Sayangnya kakek itu sudah pergi. “Ardhan, cepat mandi dan ganti baju!” ujar ibunya yang sedikit panik.Ardhan menurut, ia menutup jendelanya kemudian meletakkan tas kerjanya. Membuka baju kerjanya, tangannya menyambar handuk lalu berjalan menuju kamar mandi. Kini lelaki itu sudah merasa lebih segar, dirinya duduk di meja makan. Berhadapan dengan kedua orang tuanya.“Siapa yang tega melakukan itu padamu?” tanya
Ardhan menantikan kalimat Pak Bobby selanjutnya, ia menduga jika atasannya tahu tentang kejadian kemarin sore. Ketika pria didepannya itu buka suara, mendadak telepon di ruangannya berdering.Pak Bobby memberikan kode pada anak buahnya itu untuk menunggu karena ia harus menjawab panggilan tersebut. Ardhan menghela napas lega, ia membenarkan posisi duduknya. Ketegangannya sedikit mencair dan atmosfer di ruangan tersebut menjadi hangat.“Begini Dhan, aku mendapatkan telepeon jika kerja sama kita dengan anak perusahaan Pak Prama ditunda hari ini. Jadi kamu baru akan pindah kerja besok.”“Hari ini saya kerja di mana, Pak? Kantor atau proyek?” tanya Ardhan, ia butuh kepastian akan ditempatkan di mana.“Karena kemarin kamu terlibat masalah dengan Moritz dan Jonas. Saya –““Bukan saya yang mencari masalah Pak, mereka yang ingin mencelakai saya,” ujar Ardhan menggebu-gebu, ia tak ingin atasannya menjadi salah paham. “Jonas mencopot busi dan mencoba menggunting kabel rem motor saya. Hari ini s
“Siapa?” tanya Ardhan.Brakkk ... Braakkk ... BraakkkPria yang mengikuti mereka dari belakang itu memukul jendela belakang hingga depan. Tentu saja hal itu membuat keduanya terkejut. “Itu Mas Prama, Mas,” kata Kinanthi dengan suara yang pelan. Perempuan itu terlihat sangat ketakutan.Usai melakukan ha tersebut pengemudi motor itu tancap gas. Ardhan yang mengetahui kalau ternyata itu adalah Prama ikut memacu gas dalam-dalam. Ia tak ingin reka bisnisnya itu salah paham dengannya. Ia bertekad untuk bertemu dengan Prama dan menjelaskan semuanya.Baik Ardhan ataupun pengendara motor itu tak ada yag mau mengendurkan tensi mereka, adegan yang tercipta seperti di film-film action. Saling berkejaran satu sama lain, didalam mobil Kinanthi hanya bisa menangis.“Mas Ardhan kita sudahi saja. Tidak usah dikejar lagi,” larang Kinanthi.“Tetapi kita harus menjelaskan ke Pak Prama. Saya tidak mau terseret dalam kisah cinta kalian, saya hanya sekedar membantu saja,” tolak Ardhan. Ia bersikeras untuk m
Ardhan terkejut mendengar perkataan supir taksi tersebut, ia refleks kembali memandang wajah lelaki tersebut melalui kaca spion depan sembari berpikir siapa orang tersebut.“Wah kayaknya kamu beneran lupa,” ucap pria itu lagi.“Apa kita satu sekolah dulu? SMP ya?”“Bukan, kita pernah bertemu di suatu tempat. Yasudah tak apa kalau kamu lupa,” kata lelaki itu pasrah. Ardhan meminta maaf karena sama sekali tak ingat siapa lawan bicaranya itu. Ia lantas memulai perkenalan seperti orang yang baru kenal.Pria bernama Marco itu lalu menceritakan bagaimana awal mereka bertemu, ingatan Ardhan yang semula hilang tiba-tiba muncul termasuk bagian yang membuat kesal pada pria itu. “Bagaimana bisa aku lupa kejadian hari itu ya,” celetuknya.“Tak apa, namanya juga manusia ada lupanya juga,” balas lelaki berkulit coklat tersebut. Ardhan