Share

Chapter 13 Awal yang gagal

Pagi hari yang terasa damai, udaranya hangat-hangat sejuk. Apalagi saat pikiran tenang, membuat tidur lebih nyaman. 

Sayang sekali, pagi itu telinga mendengar sebuah kebisingan dari mesin kendaraan, sepertinya ada seseorang yang hendak berangkat. Membuat Linara terpaksa membuka mata dan segera beranjak dari ranjangnya yang lebih menggoda untuk tidur kembali, dengan terpaksa semua harus ditinggalkan, karena bising membuat ganggu.

Mengumpulkan seluruh nyawa, menguap sementara, dan meregang otot-otot yang terasa pegal. Kakinya mulai menyelipkan kedalam Sandal Rumah berwarna Peach dengan bentuk kelinci. Segera pergi meninggalkan ruangan dengan tubuh yang masih terbalut piyama.

Menuruni satu persatu anak tangga, dan mendekati suara bising dari kendaraan itu. Langkahnya mengarah pada garasi rumah, benar saja dugaan Linara. Kakek Aathif yang sudah terlihat segar dan sepertinya Aathif hendak pergi.

"Kakek, mau kemana?" Itulah secuil pertanyaan yang pasti terlontar.

"Kakek mau ke Kedai dulu," jawab Aathif sembari menutup bagasi mobil.

"Sudah empat hari kedai tutup. Oh iya, kamu kapan mulai kuliah lagi, Linara?" Timpal Aathif pada Linara yang masih mematung disana.

"Emm ... Linara juga bingung, Kek. Disatu sisi Linara harus mengurus perusahaan Ayah, satu sisi Linara juga harus mencari Bunda." Sangat terlukis jelas wajahnya yang terpaut bingung.

Aathif jalan mendekatinya, mengusap lembut pangkal rambut Linara, "Kakek yakin kamu bisa menjalaninya, ingat selalu ada Tuhan yang akan membantu mu, jangan merasa sendiri." 

Secercah senyum kini terukir kembali, mengantar hangat mentari, semangatnya mulai mengintari. Linara mengangguk paham akan pepatah Kakek Aathif. Pamitan singkat terjadi, tangan melambai dibalik jendela mobil, saatnya melaju.

Linara Putri Atmaja adalah seorang anak tunggal dari keluarga besar Atmaja. Linara terlahir dikeluarga yang cukup berada, terlebih lagi dia adalah anak semata wayang dari keluarga besarnya. Maka besar harapan pula keluarganya pada Linara sebagai penerus keluarga. Dari segi kekayaan, perusahaan yang dimiliki keluarga, kini Linara mau tidak mau harus menjalaninya dan mengurusi seluk beluk dunia bisnis.

Meskipun kekurangan Linara cukup signifikan dari kaki yang dia miliki tidak sesempurna manusia lainnya. Tapi, Linara yakin bisa melewati dan menjalani ini semua. Terlebih lagi dia mempunyai mandat untuk menjaga aset perusahaan Keluarga Atmaja.

Perusahaan yang sudah lama dibangun ini menjadi simbol kebesaran tersendiri untuk keluarga Atmaja, apalagi bisnis ini sudah lama dianyam oleh keluarga Atmaja. Kini pemegang terakhir adalah Linara, sungguh amanat terbesar bagi Linara, rasanya berat. Namun, inilah kenyataan yang harus dia hadapi.

Linara selalu diajarkan oleh Bunda bahwa dia harus tetap menjadi orang yang baik hati, pemurah, dan selalu menolong sesama manusia. Jangan melihatkan dirinya seorang anak kaya raya, merendah diri hingga orang lain tidak berani merendahkan, itulah yang ditanamkan Bunda, hingga melekat sampai Linara dewasa.

Rumah dua tingkat dengan desain minimalis, satu garasi cukup luas dan taman yang asri. Hanya menyediakan kehampaan didalamnya, apalagi saat Aathif telah pergi ke Kedai Kopi miliknya membuat suasana menjadi terasa sepi, hanya ada seorang pembantu dan satu penjaga rumah juga sang majikan, Linara.

Kini Linara bersiap diri untuk bertempur dengan hari, mengeringkan rambutnya perlahan sambil menyisir pelan. Baju yang Linara kenakan hanya busana sederhana yang tidak mencolok, tujuan utamanya hari ini adalah melihat secara langsung keadaan perusahaan.

“Masalah perusahaan!” note kecil yang Linara tempel pada papan tujuannya, dengan menulis langkah satu persatu memudahkan Linara untuk menjalani semua urusannya.

Setelah menepelkan note tersebut, Linara segera meraih Tote bag dan memasukan barang yang kira penting, merapikan kemeja sebentar dan iya siap untuk berangkat. Menuruni anak tangga dengan tangan yang sibuk merapihkan rambut yang terurai, berusaha mengikatnya agar terlihat lebih rapih.

“Non, Sarapan dulu?” Tawar Bi Inah dengan selebar roti gandum dan segelas susu hangat yang telah siap dihidangkan.

Linara segera menyambar roti itu, dan sedikit meneguk susu yang telah Bi Inah sediakan. Sepertinya langkahnya terburu-buru hingga meninggalkan berlalu begitu saja dengan roti yang masih Linara gigit di bibirnya.

“Linara berangkat dulu Bi...,” ya itulah secarik kata perpisahan yang sudah tidak aneh untuk Bi Inah saat melihat Linara dipagi hari yang terburu-buru itu.

“Ya, Hati-hati Non. Masih saja seperti dulu,” Bi Inah hanya menggelengkan kepalanya melihat gelagat sikap Linara yang masih saja tidak berubah.

***

Notifikasi panggilan masuk, bergetar memberikan infomasi pengguna untuk segera mengangkatnya. Linara merogoh ponsel tersebut, namun sayang panggilan segera berakhir sebelum dia menjawabnya. Dan meninggalkan sebuah pesan singkat.

‘Linara bagaimana kabar mu? Kapan kamu kuliah lagi? Dosen selalu menanyakan kamu?’ secarik pertanyaan dari Kaivan melalui pesan singkat.

Linara sudah menduga bahwa itu adalah sahabatnya, segera dia balas disela kesibukannya saat diperjalanan menuju perusahaannya. Mungkin besok Linara akan mulai kuliah kembali, itu lah yang Linara jawab untuk membalas pesan singkat Kaivan.

Balasan pesan singkat itu upaya agar temannya tidak banyak berbicara lagi dan memenuhi notifikasi layar ponsel Linara. Benar saja setelah membalasnya, notif tidak masuk lagi. Linara menghirup napas sedikit lega, sesekali memandang jalanan yang ramai lancar.

Sudah sangat lama sekali Linara tidak mengintari dunia luar, apalagi saat ini dia bercengkrama dengan perjalanan mandiri. Mengingat semua kejadian bersama Ayah dan Bunda dulu, tergelincir sedikit air matanya. Segera Linara menyeka kembali wajahnya.

Tak terasa waktu bergelincir dengan cepat, perjalanan telah sampai tujuan. Supir telah memberitahukan tujuan telah sampai pada Linara, segera Linara turun dan memberikan selembar uang kertas sebagai buruh jasanya.

Saat supir hendak mengembalikan kembaliannya, sayang sekali Linara sudah berlari meninggalkannya sambil berucap, “Ambil aja kembaliannya buat Bapak...,” itulah ucapnya dengan senyum penuh semangat.

Kini Linara berada tepat depan perusahaan turun temurun keluarganya itu, amanat yang besar sesuai dengan bentuk perusahaan yang besar. Memandang sejenak melihat bangunan luas itu, tak menyangka Ayah sudah berjuang keras untuk mempertahankan ini, kini giliran Linara yang akan berjuang.

Bruk!

“Aduh!” 

Mendadak seseorang menyinggung Linara, memecah lamunannya. Seorang gadis dengan pakaian semi formal dan memakai rok seatas lutut, kancing kemejanya cukup terbuka saat itu hingga melihatkan sebagian gunung kembarnya. 

Wanita itu memungut berkas yang berserakan, Linara pun langsung membantunya. Dalam benak Linara merasa asing dengan wanita itu, apalagi dengan pakaiannya cukup terbuka, membuat risih melihatnya.

“Bisa engga jangan menghalangi jalan! Gue buru-buru tahu! Minggir...,” Linara hanya bisa menghela napasnya melihat reaksi wanita itu yang seakan tidak tahu etika, sudah tahu dia salah dia juga yang nyolot. 

“Apakah dia adalah karyawan perusahaan ini?” pertanyaan dalam benak Linara saat melihat wanita itu jalan berlenggak lenggok dengan penuh arogan, mengingatkan Linara pada Zelline.

“Apa mungkin itu anak buah Zelline? Apakah diperusahaan ini masih ada pengabdi Zelline?” Linara segera menumpaskan pikirannya dan segera berjalan masuk.

Linara disambut oleh Satpam yang saat itu sedang bertugas didepan pintu masuk, menyapa dan bertanya terlebih dahulu. Karena sosok Linara terlihat asing bagi Karyawan disana. Bahkan banyak yang tidak menyadari bahwa Linara adalah anak pewaris perusahaan.

Linara cukup mengeluarkan kartu identitasnya, dengan itu Satpam percaya dan mengawalnya untuk masuk kedalam. Saat memasuki ranah bisnis yang panas itu, terlihat jelas deretan para manusia yang berkutat dengan komputer masing-masing, sebagian juga ada yang masih cekikikan sambil bersenda gurau dengan kopi yang ditenteng.

“Bau-bau karyawan nakal,” gumam Linara saat melirik sebagian karyawannya yang tidak menyadari kehadiran Linara saat itu, padahal saat itu adalah waktu jam kerja yang super sibuk. Linara tidak menggubrisnya dan terus berjalan hingga memasuki ruangannya.

“Terima kasih, Pak. Tolong jangan beritahu tentang saya dulu ya.” Bisik Linara pada seorang resepsionis yang telah mengantarnya sampai ruangan. 

“Baik, Bu.” Balasnya dengan sedikit menunduk, Linara hanya memberi simbol untuk dia pergi. Dan sesaat Petugas resepsionis itu mengerti dan segera berlalu.

Linara segera membuka pintu dan melihat sekeliling ruangan Ayah dulu. Buku yang berjajar rapih dan beberapa dokumen yang masih menumpuk dimeja pengumpulan data. Kini Linara duduk disinggasana Ayahnya, terasa lekat sekali saat Ayah masih disini, berkutat dengan bolpoin dan berkas.

“Linara pasti bisa!” Menghembus napas penuh dengan semangat.

Tangannya meraih telepon kantor yang berada disampingnya, panggilan terhubungan langsung pada sekretaris kantor langsung, “Saya ingin mengadakan Rapat hari ini, kumpulan semua data pendapatan dalam satu tahun ini, dan tidak boleh ada yang berhalangan hadir. Saya tunggu dalam dua puluh menit, semua harus siap.” 

“Baik, Bu!” belum sempat sekretaris itu menjawab, panggilan itu terputus. Rasanya seperti mendapati dentuman besar saat itu, mendadak mendapati mandat besar.

Semua karyawan terlihat kocar-kacir dengan beberapa berkas yang dipegang satu sama lain, semua sibuk dengan rapat yang terdengar dadakan itu, waktu tepat dua puluh menit. Akhirnya telah tiba, mau tidak mau perwakilan tiap instansi masuk ruangan rapat, hingga menunggu siapa pemimpin yang berani menyuruh rapat dadakan ini?

Seluruhnya sudah berada diposisi masing-masing, tak selang lama pintu terbuka, memberi tanda bahwa pemimpin mereka segera masuk. Semuanya membuat tercengang saat Linara yang memasuki ruangan. Bahkan Wanita yang bersingungan dengan Linara tadi merasa malu saat mengetahui Linara adalah pemimpinnya, wajahnya menunduk tak berani menampilkan muka.

“Baik, mari kita mulai saja. Sebelumnya saya perkenalan dulu, mungkin ada sebagian yang tidak mengenal saya. Saya Linara Putri Atmaja pewaris utama perusahaan Atmaja. Kini saya yang mengambil alih Perusahaan, dan Ibu Zelline hanya sebagai pengganti saja bukan penerus. Perlu kalian tekankan itu.” 

“Langsung saja kepada intinya, saya ingin mengetahui laporan pendapatan dan pengeluaan pada tahun ini,” lanjut Linara dengan tegas.

Seluruh berkas kini ada dihadapan Linara, semua tersaji dengan rinci. Sedikit terkejut saat mendapati laporan penurunan drastis dan hutang piutang yang melejit. Membuat Linara ingin meminta penjelasan dengan situasi genting ini. Salah seorang berdiri dan berupaya memberi penjelasan.

“Biar saya jelaskan. Akhir-akhir ini perusahaan sedang digenjat beberapa hutang piutang saat dipimpin oleh Ibu Zelline, yang menjadikan efek buruk bagi kepercayaan investor perusahaan. Maka terjadi kemerosotan pendapatan. Ditambah Ibu Zelline menjual setengah aset dari perusahaan ini untuk menggaji sebagian karyawan, bahkan ada yang tidak terbagi juga Bu.” Jelasnya membuat Linara tertohok saat mendengar itu semua.

“Zelline kau sungguh keterlaluan!” linara mengepal tangannya dengan lautan emosi menaungi dalam diri. 

“Bagaimana Bu dengan gajih kami yang belum terbayar?” tanya salah seorang karyawan yang memecah lamunan Linara.

“Besok saya akan membayar gajih kalian, dan rapat hari ini selesai.” Titah Linara yang mengakhiri rapat tersebut, semua yang mengahadiri segera berhambur keluar ruangan.

Linara masih terduduk disana dengan memijat pelipisnya yang terasa pening. Tidak habis pikir dengan ulah Zeline yang benar-benar ingin menghancurkan perusahaan.

“Zelline akan ku balas semuanya!” 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status