Beberapa hari ini Linara selalu saja sibuk dengan tugas tambahannya, selain tugas kuliah yang lambat laun menumpuk. Kini bebannya bertambah saat memasuki kelas tambahan, yaitu kelas bahasa. Mungkin dengan menambahnya bahasa membuat Linara semakin mempermudah untuk nanti menyusul Bunda.
Meskipun keberadaan Bunda tidak terlalu meyakinkan ada di negara yang berjulukan Kota Gerbang Dunia, Hamburg, Jerman. Setidaknya ada titik celah harapan untuk Linara tetap semangat dalam merajut hidup.
Semua berkat Kaivan, yang membantu mencari keberadaan Bunda hingga kini. Meskipun belum ada perkembangan lebih dari keberadaan Bunda. Tapi, Linara yakin Dia bisa bertemu dengan Bunda dan menyampaikan sedikit amanat dari Ayahnya.
Keseriusan Linara sangat terlihat dengan beberapa tumpuk buku disebelahnya, matanya menyorot helai demi helai kertas, Pena yang menyangkut disela jarinya, sangat terlihat fokus disudut salah satu meja pelanggan Kedai dekat jendela. Juga ada Fara yang ikut be
“Pagi, Ayah!” Sambut Altan begitu hangat saat Avraam baru saja usai menuruni anak tangga. “Pagi, Altan,” Avraam berjalan mendekati Altan yang sudah bersikap rapih dihadapan meja makan. “Kenapa belum dimakan sarapannya?” “Nungguin Ayah,” Avraam tersenyum begitu lembut, lalu menyiapkan sehelai roti untuk Altan. Baru saja Avraam hendak mengoleskan selai dipermukaan Roti, mendadak Altan menghentikannya. “Tunggu Yah,” “Kenapa? “Boleh engga kalau sarapannya Ke Kedai Paman Aathif aja?” Pinta Altan yang begitu sederhana. “Why?” Avraam sedikit heran dengan pintanya yang begitu sederhana, apakah kini Altan sudah mulai candu dengan sajian di Kedai Aathif? “Altan pengen roti yang dibuat Kak Linara kemarin, boleh kan Yah?” Pinta Altan dengan memohon. “Tentu saja! Selera mu sama dengan Ayah,” Avraam dengan sumringah meresponnya, “Maksud Ayah?” “Tidak, ya udah Ayo kita berangkat,” Ajak Avraam b
“Bagaimana apa Rotinya enak?”“Enak banget, Kak!” Altan menjawab dengan penuh semangat, mulutnya penuh akan remahan roti.“Dan ini Americano mu, Tuan.”“T-terima Kasih,” Jawab Avraam dengan nada pelan, dengan mata yang beralih lawan arah.Linara tak memperdulikan Avraam, kini Linara hanya berpaling pada Altan yang begitu terlihat ceria. Suasana hati Altan seakan penuh bunga. Semua perhatiannya seakan tumpah pada Altan.“Ya udah, Altan makan yang banyak ya, Kakak mau lanjut bekerja.” Linara tersenyum pada Altan.“Tunggu, Kak!” Sesaat Altan menahan Linara dengan secepat kilat menggenggam tangannya.“Ada apa?” Linara mengelus lembut puncak kepala Altan.“Boleh temenin dulu Altan sarapan?” Pintanya dengan tatapan menggemaskan.“Altan jaga sikapmu!” Tukas Avraam, membuat Altan seketika tertunduk kasihan.“M
“Terima kasih, Paman. Jadilah Anak yang baik ya, Altan.”“Iya, Dadah ... Ayah...,” Altan telihat begitu gembira, membuat Avraam tersenyum tentram.Avraam pergi perlahan hingga punggungnya terlihat semakin jauh perlahan tak nampak setelah mobilnya melaju cepat.“Yasudah Ayo kita masuk, Nak.” Aathif mendorong Kursi roda Altan kembali masuk kedalam Kedai.Altan duduk di Meja dekat dengan kasir, semua ditempatkan agar Altan tampak terpantau dari kejauhan. Linara hilir mudik melayani para pelanggan yang mulai berdatangan, sorot matanya juga selalu memantau Altan.“Rasanya Altan terlalu jauh, suasana Cafe juga mulai ramai,” Linara mulai cemas dengan posisi Altan yang sedang asik berkutat dengan pensil dan beberapa pensil warna nya.Linara langsung berjalan mendekati Altan, begitu dekat Linara langsung berjongkok dihadapan Altan, “Ada apa, Kak?” Tanya Altan pada Linara yang mendad
Sudah dua pekan berlalu, namun balasan surat tak kunjung bertamu. Membuat Linara semakin resah perkara kabar Bunda, setiap malam selalu dihantui ketakutan dan kekhawatirannya akan kegagalan yang timbul.Akankah gagal?Semua yang Linara rancang untuk bertemu Bunda, dari mulai mengusai bahasa, mencari sumber informasi meskipun tidak 100% akurat, akan kah semua gagal begitu saja? Hanya karena menunggu balasan surat yang tak kunjung datang menyurat kembali?Resah dan gundah setiap malam, layaknya ritual wajib yang dilakukan sebelum tidur. Setiap pergantian hari, siang berganti malam hingga berganti kembali menjadi pagi, putaran poros hari yang menjadi drama saksi bisu kegelisahan hidup.“Bunda, Linara rindu...,”Jeritan hati kecilnya yang selalu menguak rindu, tapi tak kunjung syahdu. Hingga mata tertutup dengan sembab setiap harinya. Sungguh menyiksa, pabila hidup menahan rindu yang tak beradu, layaknya hidup hilang tanpa daksa.&nb
Malam semakin larut, Kedai juga sudah terasa sepi, mungkin ini waktunya menutup Kedai. Tapi perkara hati Linara masih berkecamuk dengan kegelisahan juga rindu yang menyiksa. Wajahnya tampak lebih sendu dari biasanya, membuat Rayhan yang memperhatikannya merasa sakit campur khawatir dengan Linara.Saat secarik lap sedang diputar pada porosnya meja, menghilangkan sebagian noda yang tertinggal. Tapi lamunan sang pemegang lap tampak risau, dia tak berhenti mengelap meja, hingga menyenggol vas kecil yang menimbulkan sedikit bising.Prang!Pecahan belingnya menyebar, suara bising sesaat membuat Linara tersadar dengan cerobohnya. Segera berjongkok dan mulai memunguti serpihannya.“Kamu engga apa-apa, Linara?”Rayhan segera hadir, Linara hanya menatapnya sebentar lalu kembali memunguti serpihan beling. Rayhan menyadari perihal tatapan dingin Linara, segera mungkin dia membantunya.“Kalau
Rayhan segera berlalu pergi, “Pantas saja Linara tidak mau bertemu dengan keduanya, ternyata begitu menyebalkan.’ Gerutu Rayhan sembari menghela napasnya.Linara masih saja bersembunyi dengan merangkul kakinya penuh takut. Rayhan meliriknya sembari tersenyum kecil, dengan cepat Rayhan menyajikan pesanan dan memberikannya penuh ramah. Beruntung saja Avraam lebih cepat menyelesaikan sarapannya bersama Altan, mereka langsung pergi begitu saja setelah usai semuanya.Dan beruntungnya Aathif belum berkecimpung kembali dunia Kedai, apabila sudah bertemu Avraam terkadang Aathif suka tidak tahu waktu berbincang dengan Avraam. Rayhan segera berjongkok dihadapan Linara, tapi saat melihat Linara, dia dalam keadaan tertidur dengan merangkul kakinya.Kaki yang dirangkul, rambut sebahu yang mulai memanjang itu bergantung bebas, matanya menutup dengan anggun, dengkuran kecil yang terdengar lembut. Melihat semuanya membuat Rayhan tersenyum manis.
Sepanjang jalan trotoar, mengikuti alunan irama bisingnya perkotaan. Ditengah perjalanan tapak kaki, sorot perhatiannya mengalih pada sebuah Toko. Toko yang menyerbak harumnya bunga dan deretan bunga yang tampak indah tersorot silau cahaya jingga.“Indah sekali...,” Ucap Linara saat memandang deretan bunga, sorotnya tertuju pada Peony Flower yang merekah indah berwarna merah muda.Seketika Linara membelokan arahnya, rasanya ingin sekali meminang indahnya Peony Flower. Saat memasuki Toko Bunga dipinggir jalan perkotaan, Linara disambut dengan hangat.“Ada yang bisa saya bantu, Nona?”“Saya ingin Peony flower itu dan Aster putih ya,” Jawab Linara sambil menunjuk arah bunga yang dituju.“Pilihan yang tepat, Nona. Tunggu sebentar ya, saya akan kemas untuk Anda.” Ujar pelayan Toko dengan segera mengemas bunga yang dipesan Linara.Pesanan Linara telah selesai, saat melihat
“Roti ini enak loh, Linara.” Tunjuk Rayhan pada sepotong roti yang berada didalam etalase kaca. “Iyakah?” “Tentu, coba saja.” Rayhan langsung memesan roti yang dia maksud. "Wah iya, Roti ini enak banget!" Ucap Linara dengan mata yang berbinar saat menyantap sepotong roti atas rekomendasi Rayhan. Rayhan tersenyum dengan senang ketika ukiran senyum Linara kini terurai dengan lembut. Rasanya menenangkan jiwa. "Kamu akan menemukan Roti ini di Hamburg nanti," "Benarkah? Apa namanya?" Linara tak berhenti mengunyah dengan semangat hingga remahan roti muncul di pinggir bibirnya. Rayhan menatap remahan roti yang tertinggal ditepian bibir Linara, kini tangan Rayhan mulai menyibak dengan lembut remahan roti tersebut. "Ini namanya, Franzbrötchen," Jawab Rayhan sembari mengelap bibir Linara dengan tangan lembutnya. Linara sedikit terkejut saat tangan Rayhan kini menyentuh kembali, segera mungkin Linara menyibak tangan Rayhan