"Nah itu mereka," seru Arga."Kalian tersesat?" tanya Risma khawatir."Iya, Ma," jawab Adinda berkilah. "Yaudah, ayo masuk!" Risma mengajak Sena dan Adinda masuk ke dalam rumah."Sebelah sini ruang tamu. Nah, kalau yang ini ruang keluarga, kalau yang atas itu kamar kalian berdua," tunjuk Risma. "Gimana rumahnya, suka?" tanya Opa Gunandar.Adinda dan Sena hanya menganggukkan kepala lemah."Mulai sekarang kalian berdua akan tinggal di rumah ini. Opa berharap kalian bisa belajar hidup mandiri.""Dinda, mulai sekarang Papa nggak akan kasih kamu uang bulanan lagi. Kamu sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Sena," ucap Salman. "Ya nggak bisa gitu dong, Pa. Ini namanya nggak adil. Dinda kan udah nurutin kemauan Papa buat nikah sama Sena.""Sayang, Papa melakukan ini semua juga buat kebaikan kamu, Nak. Percayalah!" ucap Risma."Halah... bulshit!" jawab Adinda ngegas.Berlalu meninggalkan mereka semua, Adinda masuk ke dalam kamar, lalu mengunci pintu dari dalam. "Dinda..." ucap Risma semb
Kedua keluarga besar itu telah meninggalkan kediaman sepasang pengantin baru. Kini, tersisalah Sena dan Adinda. Raut wajah keduanya tampak kusut. Bagaimana tidak, kehidupan keduanya serasa jungkir balik. Mendadak menikah, mendadak hidup serba pas-pasan juga.Melangkahkan kaki mendekati Adinda, Sena perlahan mengikis jarak diantara keduanya. Menatap gadis itu dalam, lalu merengkuh pinggangnya. Sekian detik keduanya saling bersitatap, membuat Adinda kepayahan. Adinda memalingkan wajahnya. Adinda terlalu gugup. Dadanya bergemuruh, tubuhnya meremang. Tidak pernah sekalipun Adinda diperlakukan begini dengan seorang pria.Membingkai wajah Adinda, Sena mengulum senyum manisnya. Siapa saja pasti akan terpana melihat betapa tampannya makhluk satu ini. Termasuk Adinda. Adinda begitu larut dalam temu pandang itu. Hidung keduanya saling bertabrakan. Selangkah lagi Sena dapat menjemput rezeki. Merasakan betapa manisnya bibir merah muda yang halal disentuhnya. Adinda terpaku seketika. Gadis itu s
Sena pikir, perlu adanya sebuah perjanjian pernikahan. Mengingat pernikahan ini hanya didasari sebuah keterpaksaan.Kini, keduanya tengah berkutat membubuhkan pena di atas selembar kertas.Sena Adi Pratama sebagai pihak pertama dan Adinda Almira Wijaya sebagai pihak kedua. Isi surat perjanjian yang dibuat Sena:[1. Pihak pertama dan pihak kedua bebas melakukan aktivitas apapun, seperti saat sebelum menikah. 2. Pihak pertama dan pihak kedua bebas menjalin hubungan dengan siapapun, asalkan tidak sampai ketahuan oleh pihak keluarga dan dapat menjaga rahasianya dengan baik. 3. Pihak pertama tidak memiliki kewajiban memberikan nafkah apapun, mengingat pernikahan ini hanyalah pernikahan sandiwara.4. Dilarang mencampuri urusan masing-masing.]Diberikannya surat perjanjian itu pada Adinda. "Nah, baca!"Netra Adinda menelusuri deretan abjad. Mengerutkan keningnya. Adinda tampak berpikir dengan apa yang ditulis si loser. "Nggak bisa gitu dong, masa gue nggak dikasih uang bulanan," protes A
"Laper..." rengek Adinda manja. "Bentar. Ada yang harus gue pastiin," ucap Sena. "Apa?""Kenapa elo nggak marah?" tanya Sena. "Marah soal apa?" Adinda balik bertanya. "Si brengsek itu udah cium pipi elo, Dinda..." ucap Sena geram. "Tapi, gue nggak berasa apa-apa, Sena."Sena melirik sinis ke arah Adinda. "Iyalah, orang elo pingsan.""Jangan-jangan om itu pacar elo? Makannya waktu lo tahu dicium biasa aja," tuduh Sena. "Nggak usah asal nuduh. Gue nggak punya pacar. Lagian yang lo maksud siapa sih? Bahas om-om mulu dari tadi.""Kan gue udah bilang gatau namanya, Dinda..." "Yaudah, biasa aja gausah ngegas."Adinda membuka kotak pizza. Mengambil sepotong hendak memakannya, tapi Sena menghalau pergerakannya. "Nggak usah dimakan udah jatuh. Jorok," cibir Sena. "Jatuhnya kan masih pake bungkus. Nggak bakalan kotor juga ini pizzanya. Udah ah awas, gue laper pengen makan."Sena bergeming. Enggan melepaskan cekalannya. "Jawab dulu, itu pacar elo atau bukan?"Adinda menelisik netra Sena.
Hujan membasahi bumi. Tanah yang gersang kembali lembab. Bunga yang sempat layu kembali bersemi. Seorang wanita memandang nanar sekitarnya. Guratan penuh kesedihan nampak di wajahnya. Netranya tidak berhenti menitikkan air mata. Ya, dia tengah terisak di bawah guyuran air hujan.Memukuli dadanya sendiri yang terasa amat menyesakkan. Napas tersengal-sengal dan tercekat di tenggorokan. Tidak, dia tidak sanggup menerima kenyataan pahit ini. Dicampakkan saat tengah berbadan dua. Sebuah penyesalan menyelimuti perasaannya saat ini. Ah, andai saja malam itu tidak termakan bujuk rayu setan, pastilah tidak akan mengalami kesakitan yang sebegininya. Kotor. Itulah yang dirasakannya saat ini. Menggosok tubuh di bawah guyuran air hujan. Berharap air dari langit dapat meluruhkan seluruh dosa-dosanya. Hawa dingin kian terasa. Perpaduan hembusan angin dan guyuran air hujan membuat tubuhnya menggigil. Netranya mulai berkabut. Seluruh persendiannya terasa melemas. Hampir saja wanita itu limbung. Be
Adinda dan Sena berangkat ke kampus menggunakan motor masing-masing. Mereka berdua masih menyembunyikan status pernikahan ini. Mereka berdua sepakat akan mencari Wildan dan meminta pertanggungjawaban dari pria itu. Mau tidak mau Wildan harus bertanggung jawab dan menikahi Andina. Tidak mungkin kan Adinda dan Sena akan membiarkan Andina menanggung perkara ini semua seorang diri. "Gue duluan yang cari si Wildan. Kalau emang gak ketemu baru giliran lo yang cari," ucap Sena. "Oke. Gue duluan."Menekan tuas gas, Andina melajukan motornya memasuki kawasan kampus. Sementara Sena, masih berdiam diri di atas motor. Menunggu berjaga jarak dengan Adinda. Sena tidak mau ada anak kampus yang mengetahui hubungannya dengan Adinda.Memarkirkan motor di sisi selatan gedung Fakultas Ekonomi, Sena memicingkan mata. Nampak Wildan berjalan bergandengan tangan dengan seorang gadis berambut panjang. Mengepalkan tangan hingga buku-buku jari memutih, Sena tergopoh menghampiri Wildan. Dengan meredam segala
"Lo belum bilang kalau gue hamil kan, Din?" tanya Andina. Saat ini mereka tengah berada di taksi. Setelah dipaksa Adinda, Andina akhirnya mau pulang ke rumah. "Sena udah bilang, Kak.""Kenapa bilang sih?" sentak Andina. "Gak... Gue nggak mau pulang. Pak, kita putar balik," ucap Andina pada sopir taksi. "Jangan, Pak. Terus jalan. Saya yang bayar bukan Kakak saya. Jadi, Bapak harus ikut kata saya," ucap Adinda. "Din, gue gak mau pulang. Papa-Mama pasti marah besar," rengek Andina. "Harus pulang, Kak. Hari ini juga lo nikah sama Wildan."Andina tampak syok. "Ha-hari ini?""Iya, Sena udah bawa Wildan ke rumah. Di sana juga ada orangtua Wildan.""Ta-tapi, gue takut diamuk habis-habisan," cicit Andina. "Enggak akan. Palingan juga dinasehati. Lo tahu sendiri Mama sama Papa sayangnya gimana ke elo."Sesampainya di kediaman keluarga Wijaya, Risma menghambur mendekap Andina. Menciumi puncak kepala Andina bertubi-tubi. Lalu, beralih mengusap perut rata Andina. Di sana terdapat janin yang a
Gabriella Larasati. Gadis yang pintar, cantik, tinggi semampai, dan juga memiliki kulit seputih salju. Siapa pria yang tidak menaruh minat kepadanya. Apalagi, karirnya sebagai model sedang berada di atas. Ella tentunya bisa mendapatkan pria tampan dan kaya manapun yang dia mau. Namun, hati Ella hanya tertaut pada mantan kekasihnya. Tujuan Ella kembali ke Indonesia juga karena mantan kekasihnya itu. Ella ingin memperbaiki hubungan yang sempat retak. Dari bandara, Ella menuju kampus mantan kekasihnya. Sengaja Ella tidak pulang ke rumah terlebih dahulu. Ya, karena tujuannya pulang hanya untuk bertemu sang mantan, apalagi. Menggigit bibirnya kesal, bosan dirasakan Ella. Gadis cantik itu sudah dua jam menunggu kehadiran mantan kekasihnya, tapi sayang sekali yang dicarinya sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya.Memutar otak, kembali berpikir. "Astaga... Kenapa baru kepikiran sih," ucap Ella. Masuk ke dalam mobil, menyuruh sang sopir melajukan kendaraan pada alamat yang dituju.T