Semua mata tertuju pada lelaki yang baru datang itu.“Lho, Ken, kamu datang? Tadi katanya lagi banyak kerjaan,” seloroh Laila pada sang putra.Tanpa menghilangkan senyuman di wajahnya, Kenan mengayunkan kaki mendekat pada keluarga yang sedang berkumpul di sofa.“Bolos,” kata lelaki itu dengan entengnya. Dia berhenti di samping sofa yang diduduki oleh Aida dan Hanan, lalu menoleh pada pasangan yang sedang berbahagia itu. “Ciyeee! Sumringah banget mukanya,” ledek Kenan.“Iya, dong! Udah baca kan chat di grup keluarga?” sahut Hanan.Kenan memberi jawaban dengan mengedikkan bahu. Lalu dia melihat pada Aida untuk sejenak, sebelum mengambil langkah dan duduk di samping kakak iparnya tersebut.“Eh, apaan, sih?” Spontan Aida memprotes aksi Kenan yang duduk di sampingnya tanpa permisi.“Nggak boleh duduk di samping kakak ipar?” ujar Kenan sambil menaikkan sebelah alisnya.
Rumi menutup pintu kamar lalu bersandar pada papan kayu tersebut. Gadis itu menghela napas panjang dengan mata yang terpejam. Tangan kanannya terangkat, menyentuh dada yang terasa sesak.“Apa aku cemburu?” gumamnya seraya membuka mata.Begitu cepatkah hatinya jatuh pada sosok Hanan, padahal mereka terbilang belum lama saling mengenal? Memang, Hanan adalah suaminya, tetapi Rumi merasa belum sepenuhnya menjadi istri dari lelaki tersebut. Haruskah dia melakukan sesuatu untuk mendapatkan haknya dari Hanan?“Astaghfirullahalazim.” Rumi beristighfar sambil menggelengkan kepalanya. “Nggak, Rum! Buang jauh-jauh pikiran itu! Mas Hanan dan Mbak Aida sudah baik banget sama kamu. Jangan merusak kepercayaan yang sudah mereka berikan sama kamu!” Rumi menceramahi dirinya sendiri.Gadis itu menarik napas lalu mengembuskannya dengan keras. Kakinya melangkah gontai menuju tempat tidur. Dia raba permukaan ranjang yang dingin, di mana Hanan pernah tidur di sana—ingat, hanya tidur tanpa melakukan sesuatu
Untuk sesaat, Rumi terbuai oleh kehangatan yang Hanan berikan. Lalu tiba-tiba bayangan Aida yang sedang mengelus perut melintas di kepala. Rumi mendorong dada Hanan hingga pelukan itu terlepas. Dia lantas melangkah mundur, membuat jarak dengan sang suami.Hanan mengerutkan alisnya, menatap penuh tanya pada Rumi lalu bertanya, “Kenapa?”Rumi menyembunyikan wajahnya dengan menunduk dalam, menghindari bersitatap dengan sang suami.“Maaf, Mas,” ucap Rumi.Hanan menghela napas. “Kenapa minta maaf? Bukankah kita suami-istri?” tanyanya, menduga Rumi merasa tidak nyaman karena pelukannya.“I-iya, tapi ….” Rumi menggantung ucapannya, tak tahu harus memberi alasan apa.“Tapi apa?” desak Hanan.Rumi menggigit bibir dan jemarinya saling meremas. Apa yang dia lakukan itu spontanitas semata karena merasa bersalah pada Aida.“Sebaiknya Mas Hanan kembali ke kamar. K
Hanan panik karena tidak menemukan Rumi di kamarnya. Lelaki itu bergegas membalik badan dan pergi ke lemari pakaian Rumi. Dia buka pintu lemari itu dan memeriksa apakah pakaian sang istri masih ada di sana. Hanan khawatir jika Rumi nekat kabur dari rumah karena debat pagi tadi.“Masih ada,” gumam Hanan.Semua pakaian masih tertata rapi. Lalu, Hanan membuka pintu lemari yang satunya. Kepanikan itu kembali mendera karena dia tak menemukan tas besar berwarna hitam yang Rumi bawa saat datang ke sana. Untuk memastikan dugaannya, Hanan membuka lagi pintu lemari yang sebelumnya. Dia perhatikan baik-baik tumpukan baju itu, mencari pakaian lama Rumi yang dibawa dari panti asuhan. Pikir Hanan, Rumi hanya pergi dengan membawa apa yang dia bawa saat datang ke rumah tersebut.“Nggak ada semua,” ujar Hanan.Lelaki itu mundur satu langkah lalu menyugar rambutnya dengan frustasi. Pikiran macam-macam memenuhi kepala Hanan. Bagaimana dia harus menje
Pada trimester awal kehamilan, bisa dikatakan Aida tidak mengalami kendala yang berarti. Dia hanya merasa lebih cepat lelah dan mengalami mual yang tidak begitu parah. Namun demikian, Hanan tetap meminta Aida untuk berhenti bekerja. Aida sempat protes karena pekerjaannya tidak membutuhkan banyak tenaga. Hanya saja, menurut Hanan, membuat design pehiasan memerlukan pemikiran dan konsentrasi tinggi. Lelaki itu tidak ingin Aida stres, yang mana akan mengganggu pertumbuhan janin di rahimnya. Hingga akhirnya, Aida pun menuruti perintah sang suami.Namun, ada hal lain yang menyita pikiran Aida selama beberapa hari terakhir. Sejak sarapan waktu itu, Aida merasa sikap Rumi semakin aneh. Wanita itu merasa Rumi seperti sedang menghindari dirinya. Bahkan, sudah tiga hari ini, Rumi tidak ikut sarapan bersama. Aida ingin menganggap bahwa itu hanya perasaannya saja, tetapi hatinya selalu menyanggah.“Kok kamu nggak makan? Calon anak kita butuh nutrisi yang banyak lho buat perk
“Gimana, Han?” Aida yang menunggu sang suami di dasar tangga segera menyambut dengan rasa penasaran.Lelaki itu tersenyum tipis menghampiri istrinya. Dia usap kepala Aida lalu menjawab, “Aku khawatir dia anemia. Mukanya pucat. Tadi aku sudah bilang sama dia untuk periksa ke dokter.”“Terus, dia mau?” tanya Aida. Hanan menganggukkan kepala. “Oke, nanti aku antar dia ke klinik,” lanjutnya.“Jangan!” cegah Hanan cepat. “Biar sama sopir saja. Kamu jangan terlalu capek,” imbuhnya.Aida mengerucutkan bibir. “Kasihan Rumi, Han. Lagian aku kan nggak ngapa-ngapain. Cuma duduk nemenin Rumi doang,” kata Aida.“Tetep aja. Nanti kamu kudu ikut antre, terus nunggu giliran diperiksa. Kan lama juga jadinya,” sanggah Hanan.“Waktu aku pergi ke klinik dan ke rumah sakit, dia juga yang nemenin aku, lho, Han. Sekarang Rumi sakit. Aku mau nemenin dia,” uja
Begitu melihat Kenan muncul di sana, Aida langsung memalingkan muka. Wanita itu menghela napas dengan keras, tidak senang dengan kunjungan sang adik ipar.“Tamunya nggak disuruh duduk, nih?” seloroh Kenan seraya mengayunkan kaki.“Mau apa kamu datang kemari?” Aida menoleh pada lelaki itu dan bertanya dengan ketus.Meskipun begitu, Kenan tampak tidak terpengaruh. Dia berjalan dengan santai menuju meja bar tempat Rumi dan Aida sedang menyiapkan bahan masakan. Lelaki itu berhenti di dekat meja, memperhatikan bahan-bahan di atas meja. Lalu dia menarik sudut bibir ke bawah sembari mengedikkan alis.“Aku datang tepat waktu, ya.” Kenan mengalihkan pandang pada Rumi dan Aida secara bergantian sembari tersenyum lebar. “Baiklah, kalau begitu aku akan menunggu untuk ikut makan siang,” lanjutnya dengan ekspresi tanpa dosa.“Nggak ada yang ngundang kamu!” sahut Aida dengan tajam.Satu sudut bibi
Ketika itu, Rumi merasakan hatinya tidak enak. Meninggalkan Kenan dan Aida berdua saja sepertinya bukanlah ide yang bagus. Maka dari itu, setelah meletakkan bunga di atas nakas, dia bergegas kembali ke dapur. Gadis itu tergesa-gesa menuruni anak tangga. Namun, begitu dia tiba di dapur, dia melihat pemandangan yang membuat langkahnya seketika berhenti.“Mbak Aida?” gumamnya sambil menutup mulut dengan telapak tangan.Dalam pandangan Rumi, tampak punggung Kenan membelakanginya, menutupi sosok Aida yang seolah-olah sedang menggamit lengan si lelaki. Rumi sangat terkejut, dan sempat berpikir bahwa Aida dan Kenan sedang berpelukan atau semacamnya. Sampai akhirnya, dia melihat Kenan membopong Aida.“Mbak Aida?” sontak saja Rumi menghampiri Kenan yang tengah berjalan dengan tergesa. “Mbak Aida kenapa, Mas?” tanyanya khawatir.“Hubungi Hanan! Aku akan membawa Aida ke rumah sakit,” titah Kenan tanpa menghentikan langkahnya yang tergesa.Rumi tampak kebingungan. Dia sangat khawatir sekaligus pe