Share

Tidur Bersama

Amanda tidak langsung menjawab pertanyaan Senja. Tangannya membawa jaket milik pria itu agar menepel sempurna pada punggungnya yang terbuka. Ia tidak menolak atau langsung melepas jaket pemberian pria itu. Sebab pada kenyataanya, ia memang sedang kedinginan sekarang.

“Terima kasih,” ujar Amanda. Namun tatapan gadis itu terus tertuju pada hamparan pasir di lantai dasar sana. Ia membiarkan angin malam mengombang-ambingkan rambut panjang yang ia geraikan.

Senja menoleh, lalu mengerutkan dahi, “Terima kasih untuk apa?” tanya pria itu. Kini kedua alisnya ikut terangkat, meleengkapi ekspresi bertanyanya saat ini.

Amanda tertawa kecil, “Untuk jaketnya,” balasnya. Amanda kembali mengangkat kecil jaket berat milik senja agar tubuhnya tidak kedinginan. Mengingat dress yang ia kenakan masih sama dengan dress saat berada di luar, bahunya terlalu terbuka. Dan itu membuat Amanda merinding kapan saja.

“Oh,” balas Senja singkat. Laki-laki itu memilih untuk ikut menatap lurus ke depan. Mencoba untuk merasakan hawa dingin yang sudah biasa dirinya rasa. Senja anak gunung. Udara seperti ini bukan tandingannya saat di puncak.

“Untuk permainan memasak hari ini, aku meminta maaf.” Amanda menatap Senja dari samping, menunggu pria itu memberikan tanggapan atas permintaan maaf yang baru saja dirinya udarakan.

Senja malah terkekeh, pria itu ikut menoleh. Menatap Amanda yang kini juga tengah menatap ke arahnya.

“I’ts okay, Manda. Mungkin keberuntungan tidak sedang berniat memihak pada kita hari ini,” respon Senja. Lagi-lagi, pria itu memberikan balasan yang tidak Amanda bayangkan. Sebelunya, Amanda pikir pria itu akan mendiaminya setelah mengalami kekalahan. Ia pikir, Senja akan menyebalkan seperti saat pertemuan pertama mereka. Ternyata jauh lebih baik. Bahkan sangat baik. Entah, Manda tidak tahu harus mengucapkan syukur atau sebagaimana.

“Senja, sungguh, kau tidak marah karena kita kalah?” tanyanya.

Senja mengembuskan napas, lalu kembali menatap lurus ke depan. Pria itu mengembuskan napas, lalu tersenyum tipis.

“Lagipula, merasa marah pun tidak ada gunanya. Kita hanya bisa membuat permainan selanjutkan berakhir lebih baik dari permainan malam ini,” terangnya. Nada bicara pria itu sama sekali tidak tinggi, terkesan netral dan lembut dalam satu waktu yang bersamaan. Amanda tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Ia tersenyum untuk kesekian kalinya, sepertinya tak lagi terbebani dengan keberadaan Senja.

Amanda mengangguk mantap, “Aku berjanji. Permainan selanjutnya, kita akan menempati tempat pertama sebagai peserta dengan poin paling tinggi,” ungkap Amanda dengan sangat mantap. Senja kembali menoleh, ia menyelam pada bola mata milik pasangannya untuk mencari dusta pada celah yang ada. Namun ia tidak menemukannya. Senja menyimpulkan jika gadis di sampingnya saat ini, tidak sedang bempermainkan ucapannya sendiri.

Senja mengangguk untuk dijadikan respon awal. Lagi-lagi, ia merasa tubuhnya tidak bisa dikendalikan. Satu tangannya mengudara, ia mendaratkannya pada puncak kepala Amanda untuk kali keduanya. Ia mengusapnya pelan, menciptakan gelayar aneh nan asing yang belum pernah Senja rasakan. Seperti yang sudah ia katakan sebelumnya, Amanda membawa pengaruh buruk pada detak jantungnya.

Sementara itu, Amanda terpaku di tempat. Kini, ia tidak bisa bergbohong. Degupan pada jantungnya menggila tiba-tiba. Ia sering pergi ke luar dengan teman-teman prianya, tetapi sensasi menggelitik nan candu ini hanya ia temukan saat bersama dengan Senja. Ini aneh menurutnya.

“Sudah larut, masuk ke kamar dan bersihkan tubuhmu,” titah Senja. Pria itu tampak lebih gugup dibanding Amanda. Tangannya langsung dia turunkan begitu Amanda menatapnya dengan tatapan bertanya. Setelahnya melenggang pergi, masuk ke dalam kamar. Meninggalkan seorang gadis yang jantungnya baru saja ia ombang-ambingkan.

Sepertinya Amanda merasa menyesal karena beberapa saat lalu mengatakan jika Senja bukan tipe laki-laki yang menyebalkan. Ia mendengus kesal, lalu bergegas ikut masuk ke dalam kamar sebelum masuk angin.

“Dasar menyebalkan!” serunya di sela langkah kaki memasuki kamar. Senja mendengar gerutuan kesal yang sepertinya sengaja Amanda kencangkan. Ia hanya tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala, menatap punggung kecil milik Manda yang kini hilang di balik pintu kamar mandi.

***

“Kita benar-benar harus tidur di ranjang yang sama? Oh ayolah, aku tidak ingin bebagi ranjang,” kata Amanda. Kini gadis itu besedekap di sisi ranjang, menatap Senja yang tengah bersandar pada ranjang dengan tenang. Laki-laki itu seolah tidak mempermasalahkan jika harus tidur di atas ranjang yang sama dengan Amanda.

Jelas berbeda dengan reaksi pasangannya, Amanda. Gadis dengan sifat manja itu jelas tidak ingin berbagi ranjang dengan orang lain. Amanda terbiasa menggunakan ranjang besar untuk dirinya sendiri.

Harapan Amanda untuk tidur di ranjang sendirian seolah pupus. Senja mengendikkan bahu tampak tidak peduli, ia malah merebahkan tubuh dan membungkus setengah dari tubuhnya dengan selimut.

“Aku tidak peduli. Naiklah dan berbagi ranjang denganku, atau tidur di sofa jika besok ingin mendapat teguran dari ayahmu,” tukasnya. Nada bicara Senja terkesan membiarkan dan lepas tangan.

Amanda langsung terdiam, yang baru saja Senja katakan benar. Jika keduanya tidak tidur di ranjang yang sama, apalah arti acara panjang ini. Yang perlu ditekankan di sini, kamera pengawas di sudut kamar terus menyala dan merekam segala tindakan orang di dalamnya.

Ayah pasti akan mengomentarinya habis-habisan karena tidak bisa bersikap profesional. Ini pilihan yang sulit.

Amanda mengembuskan napas panjang. Pada akhirnya, ia memilih untuk berbaring di atas ranjang. Ia memberi satu guling sebagai pemisah di antara tubuhnya dengan tubuh Senja.

“Jangan melewati batas yang aku buat!” tekan Manda. Wanita itu mengudarakan suara sembari mendelikkan bola mata.

Bukannya merasa kesal, Senja malah terkekeh sebentar. “Baiklah, kita lihat siapa yang melewati batas yang kau buat malam ini,” goda Senja. Wajah Amanda memerah padam, lalu mendengus sebal sembari membelakangi Senja setelah mematikan lampu tidur pada nakas di sisi ranjang.

Senja malah berbaring menghadap pasangannya, ia menjadikan kedua tangan sebagai tumpuan. 

Lalu memusatkan atensi pada punggung mungil milik Amanda yang tak tertutup rambut tergerainya.

“Amanda,” panggil Senja.

Merasa dipanggil, Amanda langsung berdeham untuk dijadikan tanggapan. Ia tidak berniat mengudarakan suara setelah keadaan menjadi remang-remang. Sesekali, pandangannya tertuju pada jendela dengan tirai yang tidak tertutup sempurna. Ia bisa melihat pekatnya malam yang malah terasa mencengkram.

Namun Amanda langsung menyiritkan dahi saat tak mendengar suara dari belakang tubuhnya. Bukankah Senja baru saja memanggilnya? Walau dengan sedikit rasa ragu, Manda membalikkan tubuh. Ia berusaha menatap wajah sang pria di tengah remang-remang dari kamar yang ditempatinya. Embusan napas teratur yang pria itu keluarkan cukup untuk memberitahu, Senja sudah terlelap. Amanda mengembuskan napas, Senja sepertinya bukan orang yang sulit tidur di tempat baru. 

“Menyebalkan sekali, bahkan tidur selelap itu. Tidakkah dia tahu jika aku sulit memejamkan mata saat tidur di ranjang yang berbeda?

Oh, ia kembali meraung dalam hati. Ia menginginkan ranjang hangat nan empuk miliknya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status