Mas Ammar sedikit terperanjat. Namun, pria itu dengan cepat mengendalikan ekspresinya.
“Kamu dan Daniel adalah cahaya yang menerangi kehidupanku. Aku menyayangi kalian. Tidak mungkin aku rela berbuat rendah yang berakibat kehilangan penerangku. Itu sama saja merugi. Iya, kan?”
Suamiku itu lalu menatapku penuh cinta lalu mendudukkan diri di pinggir ranjang.
Tak lama, ia meraih kepalaku untuk bersandar di lengannya.
Meski hatiku merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tubuhku secara otomatis bergerak, seolah tidak mampu melakukan penolakan.
“Maaf.”
“Iya. Tidak apa-apa. Ini menunjukkan kalau aku begitu berharga bagimu. Selama ini, aku tidak pernah dicemburui aku. Sampai-sampai muncul kekhawatiran kalau sudah tidak dicintai lagi oleh istriku ini. Ternyata dugaanku keliru,” ucapnya sambil mengusap kepalaku dengan lembut.
Mendengar nama anakku disebut, seketika aku merasa air dingin mengguyur kepalaku.
Daniel tampak membenci ayahnya. Lantas, bagaimana memberi penjelasan kepada Daniel?
Di usia yang beranjak remaja, logika lebih dikedepankan. Dia tidak akan menerima segala alasan tanpa ada sebab akibat yang diterima di otak remajanya.
“Untuk Daniel, serahkan kepadaku untuk menjelaskan semua ini. Aku yakin dia tahu dan mengerti,” ucap Amran seolah tahu apa yang kupikirkan dengan yakin.
Kemudian, dia mengalungkan tangan di tubuh ini dan menarikku untuk rebah di dadanya yang menawarkan kehangatan.
Tok! Tok! Tok!
Bersamaan, kami menoleh ke arah pintu saat ada ketukan pintu.
Seorang perawat muncul.
“Selamat malam, Bu, Pak,” ucap perawat setelah masuk menghampiri kami.
Seketika aku menegang. Ada apakah ini? Apa Daniel baik-baik saja?
“Ada apa suster?”
“Pasien Daniel sudah sadar. Sekarang sudah pindah ke ruang perawatan dan bisa dilihat sekarang,”
Wajahnya yang menunjukkan senyuman melegakan hati ini, segera menyingkirkan kemungkinan datangnya kabar buruk.
“Daniel!” seruku lega.
“Syukurlah,” ucap suamiku sembari membalas senyumanku.
Perawat itu kembali tersenyum–seolah mengerti keadaan kami sebagai keluarga pasien.
Tak lama, dia juga kembali memberikan kabar gembira untukku.
“Saya cek tekanan darah ibu dulu. Dokter mengatakan kalau sudah stabil, infus bisa dilepas.”
Aku pun tersenyum. Setidaknya, ada kemungkinan diriku tidak perlu repot lagi untuk mengunjungi putraku itu.
******
Keadaanku sudah cukup membaik.
Setelah infus terlepas, Mas Ammar membantuku turun dari ranjang dan kami bergegas menuju ruangan Daniel.
Namun tepat di depan pintu, kedua kakiku terhenti.
Seketika kekawatiran hadir kembali.
Apakah Daniel bisa menerima kehadiran Mas Ammar?
“Mas bagaimana dengan Daniel?” Aku mengeratkan genggaman ini dan menoleh ke arahnya.“Tenang saja,” ucap pria itu yakin.
Perlahan, tangan ini aku tarik darinya.
Mata ini yang tertuju pada bibirnya, mengingatkan kembali ke adegan di foto itu.
Entah mengapa, aku masih belum bisa menghilangkan ingatan dan masih menyelip rasa tidak rela. Lantas, bagaimana dengan Daniel yang pertama kali melihatnya?
“Hmm…. Lebih baik aku yang masuk duluan. Nanti, Mas Ammar menyusul setelahnya,” ucapku sambil beringsut memberi jarak.
Suamiku itu terdiam. Namun, aku menganggukkan kepala untuk meyakinkan dia menyetujui apa yang kukatakan.
“Baiklah kalau itu yang terbaik,” ucapnya pada akhirnya.
Pelan, aku pun membuka pintu.
Melongokkan kepala, aku mendapati Daniel yang menggerakkan kepala ke arahku.
Tangannya pun menggapai lemah. Dia pasti menungguku.
“Daniel. Syukurlah kamu selamat, Sayang,” seruku lalu meraih tangannya yang terluka baret sana-sini.
“Mama, maafkan Daniel,” ucapnya lemah.
Dia memberikan tatapan sendu. Sorot mata yang senada dengan milik Mas Ammar.
Aku menggenggam tangannya, mencium sambil mengucapkan syukur.
“Yang terpenting sekarang kamu konsentrasi dengan kesembuhanmu. Jangan memikirkan yang lain.”
“Mama di sini, kan?”
“Hu-um.”
Aku mengusap rambutnya, memberikan senyuman supaya dia tenang. Baru saja anakku ini menunjukkan senyuman, matanya melebar dengan kedua alis mata bertaut.
“Mama,” lirihnya.
“Kenapa, Sayang?”
Aku mengikuti arah sorot matanya, mendapati Mas Ammar yang berdiri menutup pintu kemudian menuju ke arah kami. Suamiku itu ternyata mengabaikan permintaanku.
Aku menghela napas dan memperhatikan Daniel yang tubuhnya bergetar hebat--tampak menahan marah. “Kenapa pria peselingkuh itu ada di sini, Ma?”
“Ke-kenapa? Aku tidak mau! Aku tidak mau!” teriaknya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Anakku itu bahkan mengacungkan tangan, menunjukkan penolakan saat Mas Ammar mulai melangkah. “Mas. Tolong.” Segera aku beranjak, mencegah langkahnya. Tubuh suamiku yang menjulang itu, segera aku dorong keluar. “Aku--” “Stop!” desisku memotong ucapannya. Mataku menyorot tajam ke arahnya. Tidak peduli ucapannya, aku tetap mendorongnya melewati pintu kamar. Aku mendengus kesal. Apa yang aku katakan tadi ternyata tidak didengar. Harus menggunakan bahasa apa supaya dia mengerti? “Aida, aku ingin bertemu Daniel. A-aku tidak sabar ingin mengetahui keadaannya.” Sorot matanya menunjukkan keengganan. Dia masih bersikukuh dengan niatnya. “Mas Ammar. Ini bukan masalah kamu atau aku. Apalagi, hanya ingin memuaskan perasaan penasaran. Ini masalah kesehatan Daniel.” “Tapi, Ai. Aku--” “Untuk apa Mas Ammar masuk ke dalam kamar? Apa Mas hanya ingin menambah sakit Daniel?! Tidak cukupkan Mas Ammar menyaki
Mata ini menatap laki-laki di depanku tanpa kedip. Yang aku lihat bibirnya bergerak-gerak tanpa mendengar suara yang diucapkan. Indra pendengaranku seakan dilumpuhkan karena penolakan hati yang enggan menambah rasa sakit. Ucapannya yang sempat tertangkap begitu menggores hati ini."Anda ini seorang ibu yang mengutamakan kesembuhan putranya, kan? Namun, kenapa Anda tidak mencegah sesuatu yang membuat pasien tertekan?” Ucapan ini terngiang di telinga, menandakan dia mempertanyakan aku sebagai seorang ibu. Jiwa dan raga ini seakan dihantam dari segala arah. Semua menyerangku secara bersamaan, sampai-sampai aku ingin menyerah. Dan, menyatakan kalau aku kalah. Namun, apakah itu menjadi sebuah jawaban? Atau, hanya menambah beban? Menyatakan kalau aku hanya wanita yang tidak diperhitungkan?“Terima kasih atas penjelasannya, Dok,” ucapku kemudian beranjak.Tidak peduli dengan dia yang masih berucap, entah itu apa. Aku hanya ingin secepatnya pergi dari ruangan dokter yang tidak memberika
Walaupun tidak sepenuh hati, aku menerima alasan Mas Ammar tentang foto-foto itu. Toh, di luar sana banyak laki-laki yang luar biasa gila. Sedangkan suamiku hanya khilaf. Itupun karena pengaruh alkohol yang dicekoki oleh teman-temannya. Bukan seperti cerita orang-orang yang suaminya terpergok selingkuh dan ternyata sudah beranak-pinak. Tuduhanku dan penolakan Daniel, memantik kemarahan Mas Ammar. Bahkan suamiku terlihat kesal saat menelponku malam itu. “Bagaimana keadaan Daniel?” Sesaat aku terdiam. Mata ini menajam ke layar ponsel di depanku. Bukan memperhatikan wajah suamiku, tetapi menilik keadaan sekitarnya. Kecurigaanku masih enggan beranjak dari hati. Bisa jadi panggilan video call ini dia terima di tempat lain. “Kata dokter Daniel sudah mulai membaik, Mas. Dia bisa pulang di waktu dekat ini,” jawabku dengan perasaan lega. Dinding yang menjadi latar belakangnya, sangat aku kenal. Wall paper garis-garis membuktikan kalau dia b
Seseorang sering kali menampilkan kepribadian yang berbeda saat bekerja. Padahal, belum tentu selepas jam kerja, dia berpenampilan sama. Seperti yang tertangkap di mata ini sekarang.Aku mendekatkan langkah dan mendapati dia yang berbeda. Penampilannya tidak seperti yang biasa tertangkap di mata ini. Wajah kaku dan ekspresi menyebalkan tidak berbekas pada sosok di depanku sekarang.Dengan masih menampilkan sisa tawa, dia menoleh. Tidak ada rambut yang biasanya klimis, bahkan baju bercorak kotak-kotak terlihat santai dipadu dengan celana jeans biru tua.“Dokter Burhan? Kenapa ada di sini?” ucapku sambil menggelengkan kepala. Mata yang sempat terpaku tadi, harus aku singkirkan segera. Dia tidak semempesona Lee Ming Ho, tapi cukup membuat mata ini tidak berkedip beberapa detik.Seketika bibir yang menampilkan senyuman itu kembali lenyap. Raut wajahnya kembali kaku. Tanpa menjawab pertanyaanku, dia beranjak dan kembali menghadap Daniel. “Mama kamu sudah datang. Saya pergi dulu. Ada yang
Dulu aku menyukai menjadi anak tunggal. Apa-apa hanya untukku seorang. Aku tidak perlu susah-susah seperti anak-anak lain yang harus menggadaikan keinginan untuk berbagi dengan saudara. Sekarang aku merasakan ketidaknyamanan tidak memiliki saudara. Banyak yang ingin aku bicarakan. Biasanya kepada Mas Ammarlah aku berkeluh kesah. Bertukar pikiran, sampai mengatakan kekesalan atau kegembiraan yang yang menyangkut dengan pekerjaan. Namun, semenjak pertengkaran karena penolakan Daniel, dia menghilang tanpa kabar. Aku pun malas menghubunginya. Apalagi membayangkan pertengkaran yang akan terjadi. “Hei, kenapa melamun?” Tepukan di pundak mengagetkan aku. Mata ini melotot, tapi terganti dengan senyuman mendapati siapa yang berdiri di belakangku. “Fungsinya ada pintu itu untuk diketuk sebelum masuk. Bukan asal menyelonong dan bikin kaget orang. Untung saja aku tidak jantungan!” Laila sahabatku hanya geleng-geleng kepala, tanpa melepas senyuman dari wajahnya. Dia menunjukkan tas bawaan yang
Raut wajahnya masih sama, beku. Hanya ada sedikit perubahan, rambutnya tidak seklimis sebelumnya. Yang memaksa mata ini membulat, dia tidak mengenakan jas putih seperti biasanya. Namun, setelan jas bercorak kotak-kotak warna black and grey dengan potongan pas di badan. Sesaat waktu seakan berhenti. Setelah sadar, aku memilih bergerak cepat merapikan makanan dan memasukkan ke dalam kabinet penyimpanan makanan. Daripada ini menimbulkan celetukan yang memanaskan telinga. Sedangkan, Laila menyambut Daniel dan bersama suster, mereka membantu anakku untuk berbaring kembali ke ranjang. “Ma-maaf,” ucapku menyambutnya setelah meneguk air putih. Rasa pedas masih tersisa di mulut. Kenikmatan yang harus terjeda, padahal dua sendok terakhir sebenarnya suapan yang paling istimewa. Seandainya anakku datang tanpa orang ini …. Dengan tampang tanpa senyuman, dia menunjuk suster untuk menyerahkan hasil lap kepadaku. “Hasil pemeriksaan Daniel sudah bagus. Tidak ada yang perlu dikawatirkan. Agak siang
Apa memang laki-laki diciptakan sebagai makhluk yang mengesalkan? Tidak hanya dokter ini, tapi juga Daniel, termasuk Mas Ammar.[Maaf, aku tidak bisa menjemput Daniel. Aku harus ke luar kota selama beberapa hari. Ada proyek yang harus aku tangani.][Tidak bisa ditunda besuk, Mas Ammar? Daniel membutuhkanmu] jawabku langsung.Tangan ini tetap memegang ponsel, menunggu jawabannya. Namun, sampai aku sudah tiba di kamar Daniel, jawaban tidak kunjung datang.“Bagaimana, Aida? Semua sudah beres?” tanya Laila sambil mengemas barang-barang ke dalam tas. Aku melirik Daniel yang sedang berdiri di depan jendela dengan tangan terlipat di dada. Dia menatap ke luar jendela dengan wajah terlihat kaku, seakan memikirkan sesuatu.“Iya. Kita bisa pulang sekarang,” jawabku, kemudian menoleh ke arah anakku. “Kenapa dia?”“Ngambek.” Laila berkata sambil menarik resleting tas pakaian. Kemudian menarikku untuk duduk di sampingnya. “Sabar, ya.”“Pasti, Lai. Kamu kan tahu aku bagaimana dari dulu. Wanita tangg
[Aku janji] [I love you, Aidanya Ammar] Sikap manisnya tidak berubah, termasuk kebiasaan Mas Ammar, meminjam uang yang entah membayarnya kapan. Dia memang mengatakan kalau berjanji mengembalikan, sebelumnya pun juga begini. Namun tak apalah, toh ini untuk kerjaan. Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan tentang keuangan. Laki-laki dan perempuan yang sudah menikah, semuanya menjadi satu. Termasuk keuangan. Kebetulan saja, pintu rezeki lebih dilebarkan untukku. Pendapatanku menjadi penyumbang utama di dalam keluarga. Bahkan Mas Ammar sering meminta bantuan untuk pekerjaannya seperti tadi. Bukankah apa yang aku dapatkan karena dukungan dan kesempatan dari suami? Karenanya aku tidak pernah hitung-hitungan dengan dia. Termasuk semua pengelolaan aset yang sudah terkumpul. Mas Ammar bisa dipercaya, buktinya sudah berwujud beberapa tanah, rumah, dan ruko yang disewakan. Segera aku membuka aplikasi mobile banking. Melakukan transfer atas nama Mas Ammar sesuai permintaannya. Sepuluh juta. Be