Share

Bab 7. Daniel

Mas Ammar sedikit terperanjat. Namun, pria itu dengan cepat mengendalikan ekspresinya.

“Kamu dan Daniel adalah cahaya yang menerangi kehidupanku. Aku menyayangi kalian. Tidak mungkin aku rela berbuat rendah yang berakibat kehilangan penerangku. Itu sama saja merugi. Iya, kan?” 

Suamiku itu lalu menatapku penuh cinta lalu mendudukkan diri di pinggir ranjang. 

Tak lama, ia meraih kepalaku untuk bersandar di lengannya.

Meski hatiku merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tubuhku secara otomatis bergerak, seolah tidak mampu melakukan penolakan.

“Maaf.” 

“Iya. Tidak apa-apa. Ini menunjukkan kalau aku begitu berharga bagimu. Selama ini, aku tidak pernah dicemburui aku. Sampai-sampai muncul kekhawatiran kalau sudah tidak dicintai lagi oleh istriku ini. Ternyata dugaanku keliru,” ucapnya sambil mengusap kepalaku dengan lembut.

Mendengar nama anakku disebut, seketika aku merasa air dingin mengguyur kepalaku. 

Daniel tampak membenci ayahnya. Lantas, bagaimana memberi penjelasan kepada Daniel? 

Di usia yang beranjak remaja, logika lebih dikedepankan. Dia tidak akan menerima segala alasan tanpa ada sebab akibat yang diterima di otak remajanya.

“Untuk Daniel, serahkan kepadaku untuk menjelaskan semua ini. Aku yakin dia tahu dan mengerti,” ucap Amran seolah tahu apa yang kupikirkan dengan yakin. 

Kemudian, dia mengalungkan tangan di tubuh ini dan menarikku untuk rebah di dadanya yang menawarkan kehangatan.

Tok! Tok! Tok!

Bersamaan, kami menoleh ke arah pintu saat ada ketukan pintu. 

Seorang perawat muncul. 

“Selamat malam, Bu, Pak,” ucap perawat setelah masuk menghampiri kami.

Seketika aku menegang. Ada apakah ini? Apa Daniel baik-baik saja?

“Ada apa suster?”

“Pasien Daniel sudah sadar. Sekarang sudah pindah ke ruang perawatan dan bisa dilihat sekarang,” 

Wajahnya yang menunjukkan senyuman melegakan hati ini, segera menyingkirkan kemungkinan datangnya kabar buruk.

“Daniel!” seruku lega. 

“Syukurlah,” ucap suamiku sembari membalas senyumanku.

Perawat itu kembali tersenyum–seolah mengerti keadaan kami sebagai keluarga pasien.

Tak lama, dia juga kembali memberikan kabar gembira untukku.

“Saya cek tekanan darah ibu dulu. Dokter mengatakan kalau sudah stabil, infus bisa dilepas.” 

Aku pun tersenyum. Setidaknya, ada kemungkinan diriku tidak perlu repot lagi untuk mengunjungi putraku itu.

******

Keadaanku sudah cukup membaik.

Setelah infus terlepas, Mas Ammar membantuku turun dari ranjang dan kami bergegas menuju ruangan Daniel.

Namun tepat di depan pintu, kedua kakiku terhenti. 

Seketika kekawatiran hadir kembali. 

Apakah Daniel  bisa menerima kehadiran Mas Ammar?

“Mas bagaimana dengan Daniel?” Aku mengeratkan genggaman ini dan menoleh ke arahnya.

“Tenang saja,” ucap pria itu yakin.

Perlahan, tangan ini aku tarik darinya. 

Mata ini yang tertuju pada bibirnya, mengingatkan kembali ke adegan di foto itu. 

Entah mengapa, aku masih belum bisa menghilangkan ingatan dan masih menyelip rasa tidak rela. Lantas, bagaimana dengan Daniel yang pertama kali melihatnya?

“Hmm…. Lebih baik aku yang masuk duluan. Nanti, Mas Ammar menyusul setelahnya,” ucapku sambil beringsut memberi jarak. 

Suamiku itu terdiam. Namun, aku menganggukkan kepala untuk meyakinkan dia menyetujui apa yang kukatakan.

“Baiklah kalau itu yang terbaik,” ucapnya pada akhirnya.

Pelan, aku pun membuka pintu. 

Melongokkan kepala, aku mendapati Daniel yang menggerakkan kepala ke arahku. 

Tangannya pun menggapai lemah. Dia pasti menungguku.

“Daniel. Syukurlah kamu selamat, Sayang,” seruku lalu meraih tangannya yang terluka baret sana-sini.

“Mama, maafkan Daniel,” ucapnya lemah. 

Dia memberikan tatapan sendu. Sorot mata yang senada dengan milik Mas Ammar.

Aku menggenggam tangannya, mencium sambil mengucapkan syukur.

“Yang terpenting sekarang kamu konsentrasi dengan kesembuhanmu. Jangan memikirkan yang lain.”

“Mama di sini, kan?”

“Hu-um.”

Aku mengusap rambutnya, memberikan senyuman supaya dia tenang. Baru saja anakku ini menunjukkan senyuman, matanya melebar dengan kedua alis mata bertaut.

“Mama,” lirihnya.

“Kenapa, Sayang?”

Aku mengikuti arah sorot matanya, mendapati Mas Ammar yang berdiri menutup pintu kemudian menuju ke arah kami. Suamiku itu ternyata mengabaikan permintaanku.

Aku menghela napas dan memperhatikan Daniel yang tubuhnya bergetar hebat--tampak menahan marah. “Kenapa pria peselingkuh itu ada di sini, Ma?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status