"Jika, sampai terbukti Ares adalah anakku. Aku tidak akan pernah melepaskannya."Perkataan Lucas masih terngiang ditelinga Elle bahkan kini sudah berada di pesawat. Lucas dan sifat arogannya adalah satu hal yang tidak dapat dipisahkan. Elle ingin menghentikan ini semua, tapi ia bisa apa?"Sudah memikirkan apa yang akan kau lakukan setelah ini?"Elle tahu betul apa maksud Lucas dan ia memilih terdiam saja. "Kenapa kau mengacuhkanku? Beginikah sikap bawahan pada atasannya? Bukankah kau sendiri yang menyuruhku untuk bersikap seperti itu?"Elle muak. Muak dengan perkataan Lucas padanya. "Kau seharusnya berterimakasih padaku karena setelah ini Ares mungkin saja mendapatkan seorang Ayah.""Hentikan ucapan Anda, Sir."Lucas terkekeh meremehkan. "Kau yang terlalu ambisius juga tidak baik, Emy." Tangan Lucas mendekat pada pipi Elle lalu diusapnya lembut. Elle hanya terdiam."Aku mungkin tidak akan sekeras ini padamu jika kau tidak lebih dulu yang melakukannya."Elle meremat ujung roknya sa
Sudah pukul 7 malam, namun Ares belum juga kembali.Elle mulai gelisah, pasalnya ini sudah melewati waktu dimana Ares harus meminum obatnya. "Aku harus mencarinya!"Tak bisa menunggu lebih lama lagi, wanita itu bersiap keluar rumah dengan mantel tebalnya. Udara malam ini cukup dingin, mendung.Elle mulai mencari di setiap sudut lingkungan apartemen namun tidak membuahkan hasil. Hingga pilihannya jatuh pada beberapa teman Ares yang tinggal tak jauh."Ares, kau ada dimana, Nak?" gumam Elle dalam hati. Berharap cemas pada anaknya. Sudah 3 orang teman Ares yang Elle temui, tapi tetap saja tidak melihat anak itu. "Astaga, kemana kau pergi, Ares? Kenapa jauh sekali? Ibu khawatir, Nak."Elle terus merapal doa sambil mengamati sekitar. Siapa tahu Ares ada di kerumunan orang lalu lalang. Hingga matanya menangkap segerombol orang yang tengah mengerubungi sesuatu.Dengan degup jantung yang menggila, Elle berjalan mendekat untuk melihat."Ares! Astaga!"Elle berteriak saat ia melihat Ares seda
Pukul 11 siang. Elle belum juga mendapat pinjaman uang. Biasanya, Eric yang akan ia mintai tolong, tapi pria itu juga sedang mengalami kesulitan. Elle tidak mungkin membebaninya. Dengan langkah gontai, Elle berjalan menuju bagian administrasi, ingin meminta keringanan waktu. "Maaf, apa aku bisa meminta perpanjangan waktu? Untuk sekarang, aku belum mendapatkan uangnya. Namun, aku pasti akan segera melunasinya.""Tagihan rumah sakit Ares sudah lunas, Ms. Carl."Elle sontak terkejut. Lunas? "Lunas? Bagaimana bisa?"Perawat itu mengangguk, "Benar, sudah ada seseorang yang menanggung semua biayanya.""Siapa?" "Anda bisa menemuinya di ruang rawat inap nomor 3 di lantai 5. Ares sudah dipindahkan ke sana."Elle yang masih terkejut hanya bisa terdiam. Otaknya mulai menduga kemungkinan siapa yang membantunya."Ah ya, jangan lupa untuk menebus obat Ares sore hari nanti karena ada beberapa obat yang sedang habis persediaannya.""Baiklah."Elle bertanya-tanya. Siapa sosok dermawan yang telah
"Wah burrito!" Ares berteriak senang melihat makanan kesukaannya.Elle hanya tersenyum lalu mengusap kepala anaknya. Tadi, saat Elle kembali ke rumah sakit, Ares sudah bangun dan ditemani oleh salah seorang perawat yang Elle yakin Lucas telah menyuruhnya. "Terima kasih, Ibu!"Elle mengangguk, "Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik?"Ares mengangguk dengan mulut yang mengembung lucu. "Sudah, Ibu. Aku hanya masih merasa lemas saja.""Baiklah. Setelah ini, kau harus istirahat, ya." Ares mengangguk."Ibu ingin meminta maaf. Mungkin, jika Ibu tidak keterlaluan padamu, kau tidak berada di sini, Ares.""Tidak apa-apa, Bu. Aku juga yang salah pergi begitu saja. Lagipula, yang diucapkan Ibu ada benar ya, kok. Aku tidak perlu lagi mencaritahu siapa Ayahku. Adanya Ibu di sini, sudah cukup bagiku. Buktinya, kita bisa bertahan hidup sampai sekarang."Senyuman yang ditampilkan Ares kali ini tidak membuat Elle juga ikut bahagia. Namun, dari sorot matanya saja Elle tahu jika Ares sedang menutupi k
Elle menunggu lift seraya menenteng 2 kantong besar berisi makanan ringan kesukaan Ares. Memikirkan Ares lagi-lagi ia juga teringat Lucas. Tak salah memang menerima kebaikan, tapi haruskah dari mantan kekasih? Sialnya, Elle harus mengakui itu.Ting. Lift terbuka.Panjang umur.Elle tidak salah lihat saat mendapati pria yang ia bicarakan sudah berdiri di dalam lift sambil menatap ke arahnya. Untuk apa pria itu berada di rumah sakit? Ia tidak berniat menemui Ares sekarang, kan? Bahkan, keduanya sudah bertemu meski Ares dalam kondisi tidak sadar. Namun, ia belum siap melihat interaksi keduanya.Yang lebih parah lagi, hanya ada mereka berdua."Kau habis darimana?" Lucas yang memulai percakapan."Kantin.""Kau membeli makanan sebanyak itu?""Untuk Ares.""Ah, bagaimana keadaannya?""Dia sudah sadar, jauh lebih baik.""Kau harus lebih memperhatikan lagi. Mempunyai asma bukan suatu hal yang mudah, apalagi Ares masih sangat kecil."Elle diam saja. Tidak menanggapi ucapan Lucas."Bagaimana ji
Tangan Elle gemetar melihat pesan singkat itu. Ia melirik sekilas ke arah Ares yang untung saja sedang sibuk dengan cemilannya. Tak lama, ponselnya kembali berdering, sebuah pesan kembali masuk di ponselnya. "Jika, kau perlu sesuatu, kabari aku."Elle sedikit bernapas lega, setidaknya pria itu tidak mengiriminya yang aneh-aneh. Lucas dengan segala akalnya, Elle tidak akan terbuai meski pria itu telah membantunya.Tanpa membalas apapun, Elle mematikan ponselnya dan kembali menyimpan di atas nakas. Pesan tersebut membuat tubuh Elle sedikit meremang, jika Lucas mengetahui nomor ponselnya itu tandanya pria itu semakin mendapat celah mendekatinya."Siapa?""Oh, siapa?""Siapa yang menelpon Ibu?"Elle membahasi bibirnya, "Teman Ibu, dia menanyakan kabar."Elle menarik dan mendudukkan Ares di depan televisi. Ia melirik kembali ke ponselnya, helaan napas langsung terhembus. Baiklah, hidupnya akan semakin runyam setelah ini.***Lucas sedang berada di dalam mobil menunggu lampu di pinggir ja
Ares sudah dipulangkan. Elle dan Ares baru saja selesai merapihkan beberapa barang, terutama mainan Ares yang cukup banyak. "Ibu, mainan ini aku letakkan dimana?" Ares bertanya seraya mengangkat sebuah mainan dinosaurus yang apabila ditekan tombolnya akan berbunyi. "Letakkan di keranjang dekat kamar. Sebelah vas bunga." Elle berteriak dari dapur, ia ingin membuat teh hangat. Kondisi Ares memang sudah kembali pulih, namun masih ada yang menggangu pikiran Elle. Tangannya merogoh ponsel. Terlihat lagi riwayat pesan yang belum sempat ia balas.Pesan dari Lucas.Sebenarnya, Elle juga merasa tidak enak hati. Pria itu sudah berbuat baik padanya, namun ia malah bersikap ketus kemarin. Tanpa Lucas, mungkin Ares hanya bisa bermain dengan rubiknya, tidak akan ada mainan lain. "Apa aku harus membalasnya? Tapi, aku balas apa?"Elle memikirkan sekiranya balasan pesan untuk Lucas. Ya, ia masih mementingkan egonya untuk meminta maaf dan terimakasih. "Apa aku biarkan saja? Tapi, aku juga meras
Esoknya Elle bekerja seperti biasa.Datang pagi untuk membuatkan Lucas sarapan. Berjalan menuju ruangan pria itu membuat Elle kembali memikirkan perkataan Eric.Meminta lebih dulu uang gajinya? Apa Lucas akan mengiyakan?Agaknya, Elle menelan ludahnya sendiri. Baru saja, kemarin ia berucap jika tidak akan meminta bantuan Lucas. Tapi, sekarang ia malah memikirkan bagaimana Lucas menolongnya."Astaga! Kau benar-benar sial, Elle. Apa tidak ada cara lain?"Elle terus saja menggerutu, untungnya tidak ada siapapun di dalam lift selain dirinya. "Tapi, apa aku coba saja? Bagaimana jika Lucas tidak memperbolehkannya? Atau, dia malah mempermainkanku? Yang lebih parah, dia memanfaatkan kesempatan ini? Astaga! Aku benar-benar gila. Kenapa dari banyaknya perusahaan, harus perusahaan pria itu?"Elle mengerang frustasi dalam hati. Setiap langkahnya menjauhi Lucas, ada saja hal yang membuatnya terus berhadapan dengan pria itu. Jika, ini dinamakan nasib. Maka, nasib Elle sangatlah buruk.Ting.Sepert