“Meytha..., Kita jalan ke Mal yukk.., mumpung pak Rey nggak ada,” ajak Cindy saat berada di depan pintu ruang Dinda dan melihat Meytha mengunci pintu ruangan Reynaldi. “Boleh juga tuh.., kita patungan naik taxi nya yaa..,” ujar Dinda antusias tersenyum lebar. “Maaf.., aku nggak bisa ikut. Kasihan kedua anakku. Kapan-kapan yaa.., Byee.. and makasih udah bantu usir kutu busuk yang tadi,” pamit Meytha melangkah lebar ke arah lift. Rutinitas yang dilakukan oleh Meytha untuk memastikan anaknya sudah makan, tidur siang membuat dirinya tidak memedulikan cuaca panas. Karena baginya makan bersama anak-anaknya adalah suatu bentuk tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Sesampai di tempat parkir, Meytha langsung tancap gas memacu motornya menuju ke rumah. Perlu waktu lima belas menit untuk sampai rumahnya. Hampir setiap hari kedua anak Meytha, selalu menunggu di depan pintu pagar untuk menyambutnya pulang, kecuali pada saat mereka dijemput di sekolahnya. Dan saat terdengar suara motor berada d
Meytha sampai di kantor saat jam telah menunjukkan pukul satu lewat lima belas menit. Peluh membasahi wajahnya karena hari ini cuaca begitu panasnya. Sesampai di kantor, tanpa tergesa-gesa Meytha keluar dari dalam lift dan berjalan santai menuju ruang kerja Dinda. “Hey..! Kok baru datang.., tumben. Cepat..! Pak Rey bolak balik nanya.., emangnya ponselmu mati yaa?” tanya Dinda kala Meytha berdiri di sisi pintu ruang kerjanya. “Jadi.., Pak Rey udah datang..?” tanya Meytha dengan wajah pucat karena terlambat masuk kantor. “Udah.., aku tadi dihubungi sama dia. Batal dah aku Shopping.. karena balik lagi ke kantor,” keluh Dinda pada Meytha yang masih menanyakan situasi terkini tentang sang CEO. “Kenapa harus batal.., bilang aja lagi makan,” tutur Meytha sembari mengambil ponselnya dan dilihat mati karena baterainya habis. “Batal lah.., kan kunci ruangan si Bos ada di aku. Lagian kamu dihubungi sama Pak Rey nggak aktif,” sungut Dinda. “Udah sana masuk.., dari pada tambah panjang taringny
Pagi ini sekitar jam setengah enam, Reynaldi telah bangun dan mandi serta berpakaian rapi. Walaupun hanya menggunakan kaos dan celana denim. Richard tampak telah bangun dan keluar dari kamarnya, bertemu Reynaldi yang sedang meminta pembantu dirumah itu untuk menyiapkan cake keju pada sebuah wadah plastik berbentuk kotak.“Tuan muda.., apa cake keju ini dimasukkan semua ke dalam kotak?” tanya Marni pembantu tersebut sembari memotong cake keju tersebut.“Yaa.., dipenuhi aja Bik.., Makasih..,” tutur Reynaldi usai Marni, pembantunya memberikan wadah plastik berisi cake yang diletakkan pada tas kanvas.Richard yang melihat putranya tersenyum bahagia sambil membawa tas kanvas berisi satu kotak cake keju menepuk punggung putranya dengan bahagia.“Papi lihat wajahmu terlihat bahagia sekali.., apa kamu mendapatkan lotre?” Richard menggoda Reynaldi dengan mengacungkan telunjuknya pada Reynaldi yang memainkan alisnya.Reynaldi yang merasa kalau Richard mengetahui hatinya tengah berbunga-bun
Reynaldi mengajak si kembar memasuki rumah mewah itu dan berjalan melewati beberapa ruangan. Langkah kaki Bintang terhenti saat ia terkagum memandang akuarium yang tampak memanjang pada sebuah dinding dan dibuat sedemikian rupa, sebagai pemisah dengan ruang tamu. Sepanjang dinding berukuran sepuluh meter tersebut, dipajang akuarium sebanyak 3 buah. Dan, masing-masing akuarium berukuran tiga meter itu di isi dengan jenis ikan yang berbeda. “Bagus sekali rumah Om Rey.., ada tempat ikannya..,” tangan Bintang menyentuh kaca akuarium itu dengan mata yang mengamati tiap gerakan ikan dalam akuarium dengan gelembung udara yang menambah keindahan akuarium tersebut. “Kak Bintang..! Jangan pegang akuariumnya kayak gitu.., nanti ikannya loncat!” lugas Bulan memperingati Bintang. Dan, anak lelaki dengan mata indah mirip Meytha itu menarik tangannya dari kaca akuarium. “Maaf yaa, Om... Bintang baru liat ikan bagus seperti ini,” ucap Bintang memandang ke arah Reynaldi yang tersenyum dan menganggu
Widyawati pun duduk di sofa panjang dan Elmira duduk di sofa tunggal sebelah kanan, lalu Meytha menawarkan minuman untuk keduanya.“Maaf Ibu dan Bu Elmira, mau saya buatkan kopi atau teh?” tanya Meytha berdiri dan memandang pada kedua wanita yang telah duduk memandang dirinya dari atas ke bawah.“Tidak perlu..! Aku bersama calon mertuaku ke kantor ini supaya kamu itu tau diri.. dan nyadar.., kalau kamu itu hanya sekretaris. Dan kerjaan kamu itu cuman di atasnya OB dan lagi kam...”Ucapan Elmira yang penuh emosi dihentikan oleh Widyawati dengan mengangkat tangannya beberapa kali ke arah Elmira, agar gadis muda itu berhenti bicara.“Maaf Mii.., soalnya Mira kesel sekali sama ini perempuan, main tampar aja waktu cerita kalau kak Rey tunangan Mira,” ucapnya mengadu kembali pada Widyawati.“Mira tolong kamu diam.., Ok!” pinta Widyawati dengan nada sedikit meninggi, karena telinganya tidak terbiasa mendengar sumpah serapah.“Meytha.., tolong kamu hubungi HRD untuk ke ruangan ini,” pi
Meytha masuk ke dalam ruangan dan merapikan meja kerjanya. Terlihat Widyawati beranjak dari tempat duduknya melihat ke arah meja kerja Meytha. Saat Meytha meletakan bingkai photo yang berisi photo nya beserta si kembar, Widyawati pun bertanya padanya. “Anak kembar?” tanya Widyawati memandang ke arah Meytha. “Ya Buu..,” jawabnya mengangguk kecil. “Kok photo nya hanya bertiga?” tanya Widyawati kembali melirik ke arah Meytha. “Ayahnya pergi Buu,” jawabnya tersenyum hambar. Raut wajah Widyawati seketika berubah. Lalu, Andini pun meminta tanda tangan Widyawati. “Maaf Buu.., tolong tanda tangan surat pemecatan ini,” pinta Andini menyodorkan surat pemecatan itu. Dengan tangan gemetar, Widyawati menandatangani surat pemecatan Meytha. Walau hatinya sempat goyah saat dilihat dua anak kembar yang ada di photo tersebut dan berada dalam pangkuan Meytha, namun semua yang telah di ucapkan Widyawati, secara panjang lebar tentang aturan perusahaannya tidak bisa di batalkannya. Dalam hati Widyaw
Pagi sekali Meytha telah bangun dari tidurnya, hari ini ia akan ikut bersama si kembar ke kolam pancing. Dan Meytha sengaja tidak memberitahukan kedua anaknya kalau dia ikut ke kolam pancing. Semua itu dilakukan karena ia ingin membuat kejutan pada si kembar. “Bintang.., Bulan.., ayo cepat sarapan dulu,” ajak Meytha memberikan nasi uduk masing-masing satu bungkus. “Maa.., nasi uduknya dapat masing-masing satu bungkus?” tanya Bintang dengan mata berbinar. Meytha tersenyum dan menganggukkan kepala. “Makasih Maa.., ini buat Nek.., satu bungkus juga...,” ucap Bintang seraya membuka nasi bungkus tersebut. Bulan yang telah lebih dulu membuka nasi uduknya berucap dengan suara dan raut wajah penuh bahagia dan bersorak, “Horee.., isi telur, tempe sama bihun. Hari ini kita sarapan enak.., Kak Bintang..!” Biasanya Meytha selalu membeli sarapan hanya dua bungkus dan akan dibagi untuk berempat. Dan saat ini, ia memberikan jatah sarapan satu porsi dengan lauk berisi telur masing-masing satu but
Usai memancing dan mendapatkan hasil tangkapan, si kembar dan Reynaldi ke tempat bagian penimbangan ikan. Lalu, petugas bagian pemancingan berkata pada Reynaldi. “Bapak.., ini hasil tangkapan ada tujuh ekor, apa mau dibakar semua?” tanya seorang lelaki usai menghitung jumlah hasil tangkapan mereka berempat. Dan hanya Meytha saja yang tidak mendapatkan ikan. Dari tujuh hasil tangkapan, Bintang berhasil memancing ikan Nila. “Tunggu dulu Pak.., saya tanya Ibunya anak-anak dulu. Bintang, Bulan tunggu di sini dulu,” ucap Reynaldi berjalan ke arah Meytha yang masih terdiam memperhatikan beberapa orang memancing. “Mey.., ikannya dibakar semua, apa 4 dibakar dan 3 digoreng?” tanya Reynaldi menatap wajah yang sama cantiknya seperti sembilan tahun lalu. “Ooh.., langsung bisa dibakar dan digoreng.., Apa kita harus bayar?” tanya Meytha serius. “Iya, kita harus bayar hasil tangkapan kita, dihitungnya per kilo.., tetapi sedikit lebih murah dari harga ikan di pasar,” tutur Reynaldi menjelaskan s