Holaa Manteman ~~~ Selamat malam... terima kasih sudah baca CEO Tampan itu Suami Baruku. jangan lupa review kalau suka ya Manteman
Keesokan harinya Karen bekerja seperti biasa. Saat sampai dia segera menganti baju dan tidak lupa menutupi bekas luka di dahinya dengan headscarf coklat.Matanya terlihat sedikit membengkak. Bibirnya memerah secara alami juga terlihat membengkak. Bukannya membuat dia terlihat jelek hal itu justru membuatnya tampak lebih mempesona.Karena yang lain belum datang dia mengambil berinisiatif untuk menyiapkan segala keperluan dibagian caffe station."Selamat pagi!" sapa Karen kepada pelanggan pertama yang masuk dengan terburu-buru. Sebenarnya mereka belum buka, tetapi melihat wajah cemas pelanggan itu, Karen memutuskan untuk mendengar pesanannya."Maaf mengganggu... padahal kafenya belum buka. Tapi bisa saya memesan ini, kami sangat memerlukannya," ucap seorang wanita tua dengan wajah yang kusam.Melihat itu Karen tidak dapat menolak. Dia segera menjawab dan menyuruh Ibu itu untuk duduk dan menunggu.Jari-jari beningnya bergerak rapi m
Damian berbalik dan melambai-lambaikan tangannya sedikit. "Kenapa?" tanyanya setelah mendapat penegasan tidak beralasan dari Ian."Cari saja perempuan lain!" Ian berkata dengan mengontrol emosinya. Napas panjang dikeluarkan dari bibir tipisnya.Damian menasukan tangannya ke kantong celana, berdiri tegap, bahu lebar dan pinggang sempit membuat posturnya begitu kekar, seolah tidak nyata."Karena dia milikmu?" godanya yang langsung mendapat tatapan tajam dari Ian.Damian tidak memberikan kesempatan untuk lawannya berbicara. Sebelum pergi dia mengucapkan, "Sampai jumpa!"'Aku akan datang padanya ketika dia berguna.'***Di Buzz Bean Caffe. Karen membersihkan peralatan dengan hati yang gembira. Hari ini mereka tutup lebih awal karena malam nanti akan ada pesta kecil yang di adakan oleh Jessica.Semua karyawan sangat senang, mereka bergegas pulang untuk bersiap-siap. Karen yang terakhir membersihkan caffe st
Ian duduk dengan nyaman. Mata tajamnya melihat sekeliling dengan cepat. Suasana restoran yang sedikit ramai membuat kepalanya berdenyut. Dia benar-benar tidak suka keramaian."Direktur Yan. Ini minumannya!"Ian mengangkat matanya, menatap mata Yura yang penuh make up dengan perasaan bosan, lalu beralih pada minuman merah yang diletakkannya ke atas meja."Setelah ini kau bisa pergi!" Usir Ian terus terang. Tajam dan berat.Yura tersenyum kikuk, sudut bibirnya berkedut beberapa kali demi mempertahankan senyum palsunya. "Tentu! Setelah minumannya habis," jawabnya centil. Matanya memandang lembut pria beraura dominant di hadapannya ini.Senyum licik terpampang jelas di wajahnya. Disembunyikan dengan elok di balik gelas kaca yang berisi anggur merah, senada dengan lipsticknya."Hmm." Suara singkat itu terdengar sebagai jawaban.Ian menatap gelas kaca itu dengan malas. Jika bukan karena menghormati pertemuan terakhir yang mere
Kenapa? Karen juga tidak tahu harus menjawab apa, dia seharusnya tidak berbalik dan menolong orang di hadapannya sekarang.Seharusnya dia diam dan kembali ke tempatnya, dan kenapa dia marah? Dia juga tidak tahu."Karena hanya badanmu saja yang besar!" ejek Karen. Menurutnya itu cocok, karena Ian sangat keras kepala dan menilai orang kain berdasarkan egonya, mirip orang yang berpikiran sempit.Dia tidak ingin berdebat lebih jauh karena sejak awak dia tidak ingin berlama-lama dengan orang yang membencinya. Jadi dia berbalik sambil mengabaikan Ian yang masih berbicara dengannya.***Dua minggu berlalu setelah kejadian di restoran hotel hari itu. Karen masih tidak mengantar kopi ke tempat Ian.Meskipun Jessica yang meminta, Karen hanya meminta maaf, dia tahu dia tidak profesional, tapi dia benar-benar tidak ingin terlibat lebih jauh, karena semakin dia mulai terbiasa dengan seseorang, semakin banyak pula kesalahpahaman setelahnya.
Karen berhenti sesaat ketika sampai di zebracroos, sambil menunggu lampu berubah hijau dia mengernyitkan dahinya.'Kopinya?' batinnya seraya mengangkat tangan kanannya yang sudah kosong.Melihat itu dia menghela napas kasar sembari memijat ruang di antara kedua alisnya. Dia merasa baru saja melompat waktu karena lupa bagaimana proses mengantar kopi tadi.Lampu sudah hijau dan dia segera menyeberang bersama angin kencang yang bising. Tetapi sekali lagi itu bahkan tidak mengusiknya.Dia merasa Ian mengatakan sesuatu padanya, tapi dia benar-benar tidak menangkap perkataan orang tersebut. Karen menggeleng cepat dan masuk ke kafe dengan setengah fokus."Karen, Jessica menunggumu!" jelas seorang karyawan kafe laki-laki dengan santai. Karen menganguk dan berterima kasih.Sementara kakinya berjalan ke ruangan Jessica, tangannya mulai berkeringat dan gelisah. Dia takut Jessica akan memarahinya karena sikap buruknya, tetapi di sisi lain di
Beberapa waktu lalu, Ian menerima panggilan dari Jessica yang mengatakan Karen pulang seorang diri. Suara rendah itu bercampur dengan kekhawatiran yang jelas.Karena itu dia segera mengambil payung dan keluar, rapat pada malam itu segera diundur menjadi besok pagi. Saat gelap Ian berjalan dengan cepat sesuai arahan peta di telponnya. Melihat jarak yang cukup jauh membuat Ian memiliki banyak pertanyaan, tetapi itu hanya sampai hujan deras turun.Dia segera menerawang jalan yang sunyi dan gelap, meski lampu-lampu kecil menyala, hal tersebut tidak dapat mengusir kegelapan. Dia langsung berlari kencang menerobos hujan dengan pakaian yang basah.'Di mana dia?' Ian terus mencari ke sekitar sambil mengikuti arahan peta, kakinya berhenti tepat saat melihat gadis perambut pendek menatap gang gelap dengan tangan mengepal.'Kenapa dia tidak berlari melewati gang itu?' Punggungnya berkontraksi dan segera memakai payung, entah di mana dia l
Karen tampak memikirkan perkataannya. Pipinya langsung memerah. Kemudian dia langsung berpura-pura batuk dan berkata, "Terserah saja. Kau bisa tidur di sebelah kamarku."Ian tersenyum tipis dan mengangguk. "Apa tidak ada yang marah jika aku menginap?"Tangan Karen berhenti di udara sesaat lalu dengan cepat memakan supnya. Dulu mungkin ada yang marah, tapi pikiran itu juga tidak akurat. Karena tidak pernah ada tamu di rumah Jones, meskipun ada dia akan mengurung diri di kamar sampai tamu itu pulang."Ada!" jawab Karen tersenyum panjang dengan mata mengejek.Ian akhirnya menurunkan kembali sendoknya. "Siapa?""Tentu saja... Ibumu!" candanya sembari tertawa saat melihat bibir Ian melengkung ke bawah.Ian yang menyadari Karen menjahilinya segera menggelang dengan wajah datar. Kemudian makan dalam diam sambil menikmati rasa hangat dan gurih dari sup tersebut.Karen tampak berpikir sejenak, matanya memandang dalam pria di sebe
Ian memandangi pintu yang ditutup rapat di hadapannya. Seketika itu, rasa hangat yang ada menghilang dan digantikan oleh rasa kosong yang tak terlukiskan. Hatinya terasa hampa seolah-olah seluruh kebahagiaan telah diseret keluar bersama dengan Karen. Matanya tak mampu berkedip ketika mencoba memahami apa yang baru saja Karen sampaikan.'Kebohongan?' Mendengar kata itu Ian dapat mengerti, kenapa Karen memilih berbohong, bagaimana Karen tidak percaya padanya. Meski begitu dia tidak ingin terlalu memikirkannya, karena kepercayaan tidak bisa didapat dengan paksaan.Ian membuka tirai jendela di samping meja, melihat embun jendela yang hancur karena terpaan hujan, halaman luas dan gelap berangsur-angsur membuatnya nyaman, rasa sendiri dan tenang ternyata bisa didapatkan di rumah orang lain.Dia sangat jarang pulang ke rumah, meski termasuk tujuh besar orang terkaya di dunia, dia tidak suka mengoleksi barang-barang mahal. Dia hanya gila kerja, rumah besarnya mung