Beberapa waktu lalu Ian baru sampai ke kantor. Dia tetap kembali ke kantor meski tidak ada jadwal lqin di tenpat kerjanya itu.Setelah kembali dari luar kota. Dia mungkin sangat kelelahan tetapi nyatanya dia sudah terbiasa, jadi kesibukannya tidak pernah membuatnya mengeluh berlebihan.Dia ingin segera masuk ke kantornya dan memesan kopi, setelah itu dia berniat menghantarkan Karen pulang. Jadi dia senang karena jadwalnya tidak padat."Selamat malam, Tuan Damian sudah menunggu di dalam," ucap Sisil yang berdiri setelah membungkuk sedikit. Kali ini dia tampak tegap dan sangat menghormati Ian. Dia juga melupakan ada Karen di dalam sana.Ian mengangguk tanpa ekspresi, melewati Sisil seperti biasa. Saat sampai di pintu dia mencoba membuak pintu tersebut, tetapi itu di kunci dari dalam.Merasa menunggu cukup lama, dia segera mengeluarkan smartphonenya dan membuka kunci pintu tersebut menggunakan aplikasi yang sudah tertaut dengan smart lock pintu tersebut.Dia membuka pintu seperti biasa,
Siang yang sedikit cerah, langit-langit ditutupi awan kelabu, angin dingin bertiup kencang di luar jendela, tirai-tirai hitam dan tebal sedikit bergoyang, sesekali juga terbuka memperlihatkan cahaya redup dari matahari.Mata bengkak Karen awalnya tidak terganggu dengan cahaya tersebut, tetapi kemudian bulu matanya bergetar dikala telinganya menangkap suara pintu yang diketuk singkat.Matanya terasa berat saat dibuka, rambutnya yang lurus terlihat sedikit berantakan, Karen memegangi kepalanya yang terasa berdenyut.Hari indah yang seharusnya dipenuhi dengan kegiatan biasa, seketika hilang tepat saat otaknya mengingat kembali perlakuan kasar Damian, dia menekuk lututnya di dalam selimut, membenamkan kepalanya di sana dan benar-benar lupa dengan ketukan di pintu."Karen, boleh aku masuk?" tanya Ian dari liar pintu.Karen segera menghapus air matanya, menepuk-nepuk pipi dan bibirnya yang terasa bengkak.Dia tidak membalas melainkan segera berdiri dan berjalan untuk memebukakan pintu. "Maaf
Pertama-tama Karen memuat adonan kue sesuai resep yang sering dia pakai, lalu Ian membantunya untuk menakar gula, margarin, air, tepung, bubuk matcha dan beberapa mentega putih untuk membuat krim kue. Karen tersenyum 45 menit kemudian, saat kue besar dikeluarkan dari oven, terlihat coklat, bulat dan tidak ada cacat sama sekali, wanginya sangat menggoda, menambah rasa lapar di setiap perut yang ada di ruangan."Wah... aku ingin memakannya sekarang!" ucap Ian tiba-tiba berdiri di dekat Karen.Karen menghadap Ian. "Kau mau? Kita bisa membuat satu lagi." Karen memasang raut wajah kasihan, dia senang Ian ingin memakan kue yang mereka buat, tetapi kue ini harus sempurna untuk besok.Ian menepuk-nepuk pelan Kepala Karen, dia tersenyum. Jika bukan karena mereka sedang membuat kue dia ingin mengacak-acak rambut Karen sampai sang awak marah."Jangan khawatir, aku bisa menunggu. Apa kau tidak lapar?" tanya Ian.Hari ini mereka langsung membuat Kue, itu karena Karen menolak makan, jadi Ian memes
Karen bertanya dengan suara yang serak, dia putus asa, penolakan dari dalam dirinya terus membuat hatinya terluka. Dia bersikap dan membuat dirinya percaya pada keyakinan yang dia buat sendiri, tetapi kebaikan Ian berulang kali menghancurkan aturan di dalam dirinya.Ian sedikit panik saat melihat wajah Karen yang begitu kebingungan dan panik, dia segera mendekat dan akhirnya ikut berbaring sambil memeluk Karen."Shht.... Tenanglah, jika kau tenang aku akan memberitahumu!" ucap Ian seraya menepuk-nepuk punggung Karen, sambil memastikan ada jarak yang cukup untuk Karen.Karen merasa aneh, di dalam pelukan pria ini dia merasa aman dan dia tidak ketakutan, rasa memeberontak jika bersama pria asing tidak ada saat bersama Ian, dia semakin tidak memahami dirinya sendiri.Tepukan demi tepukan ringan di punggung membuatnya rileks, napasnya dalam dan teratur, tenang dan santai, satu-dua matanya terasa berat, satu-dua matanya benar-benar tertutup dan pergi ke alam mimpi.***"Karen, bagaimana kab
Air mata Karen berhenti. Matanya menatap cincin cantik dengan berlian indah di atasnya. Tampak bersinar saat memantulkan cahaya ruangan kembali ke iris mata.Mata Ian yang terlihat sangat penuh dengan ketulusan, pipi dan telinganya bereaksi alami dengan cara berubah warna menjadi merah. Ian yang berwajah kaku tampak begitu lucu dengan tampang pemalunya."Maaf Ian, aku tidak bisa menikah denganmu!" Setelah mengatakan itu Karen mengalihkan pandangannya, hidungnya terasa asam dan menyengat sampai ke mata.Ian masih tersenyum, dia tidak menutup cincin, hanya meletakkannya di atas meja. Dia berjalan mendekati Karen yang duduk di sofa, lalu duduk ke lantai di antara kedua paha Karen. Dia mendapati kegelisahan gadis itu, jadi dia memeluk kedua kaki Karen dan merebahkan kepalanya di lutut yang tertekuk itu."Aku tidak akan meminta apapun darimu, hanya biarkan aku tetap di sisimu .... Berikan aku kesempatan untuk menyembuhkanmu!" Pernyataan Ian seperti alat kejut yang membuat jantungnya meleda
"Pikirkan dulu Karen... Ibu tidak ingin memaksamu. Semuanya ada padamu, keputusan apapun yang kau ambil, kau akan tetap menjadi bagian dari keluarga kami!"Perkataan nyonya Abel terus menerus menguasai otaknya dua hari ini, Karen terkadang melamun memikirkan hasil pemeriksaannya beberapa hari lalu.Dokter mengatakan jika dia kemungkinan bisa hamil, hanya saja harus menjalani operasi untuk mengatasi penyumbatan tuba falopinya. Jika berhasil, maka kemungkinan untuk hamil akan semakin besar.Karen duduk di balkon menatap gerbang rumah Ian. Dua hari ini dia tidur di rumah besar itu, kafe sedang diliburkan selama seminggu karena pernikahan Jessica yang akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat.[Kapan kau pulang?] Karen mengirimkan pesan kepada Ian.Belum lama setelah pesan dikirim, Karen segera keterima balasan, dia tersenyum melihat kecepatan Ian dalam meresponanya.[Entahlah, Apa kau sudah merindukanku?]Karen membalas sambil tertawa. [Tidak, jangan lupa makan malam!]Ian sudah membacan
Setelah kepulangan Ian. Dia langsung menuju rumah sakit malam itu juga. Hal pertama yang dia lihat adalah Karen yang terbangun dengan keringat di dahinya."Karen? Apa sakit?" Alisnya berkerut banyak.Karen tersenyum, napasnya cepat dan putus-putus. "Sedikit, apa kau sudah makan?" tanya Karen.Ian tidak menjawab dia segera memanggil Dokter dan mengatakan jika Karen kesakitan, tetapi Dokter hanya tersenyum dan mengatakan jika itu adalah efek samping yang normal."Ian, Aku baik-"Karen terkejut saat melihat tatapan membunuh di mata Ian, detik itu juga dia segera menyuruh Dokter pergi dan mengatakan jika dia akan memanggil kalau ada keadaan darurat."Ian. Tenanglah! Hm?" Karen menarik lengan Ian yang masih melihat pintu dengan murka.Ian menghadap Karen dan tersenyum. "Karen!"Hanya satu nama yang bisa keluar dari mulutnya, dia marah dan ingin menyalahkan dirinya atas semua rasa sakit yang Karen terima pasca operasi, tetapi dia rasa itu hanya akan menambah beban pikiran Karen."Duduklah!I
Jantungnya berdegup kencang. Mati-matian Karen menyembunyikan wajah ketakutannya di balik topeng tenang, sementara telapak tangannya sudah basah oleh keringat.Karen menghembuskan napas. Menatap mata pria yang dia kenal itu dengan pandangan kosong. "Ya, aku benar-benar lupa," jawab Karen sambil tersenyum tipis."Lupa? Kau tidak akan pernah melupakanku," tukas Jones sedikit mengangkat tangan sambil berbicara.Karen tidak menjawab, kalimat yang keluar dari bibir mantan suaminya itu benar-benar menusuknya, dia merasakan dejavu, seolah dirinya kembali ke masa di mana pria ini memintanya bercerai dengan mudah."Bagaimana kabarmu?"Lupakan pertanyaan itu, di telinganya, kata sapaan itu hanya sebuah ejekan yang berarti 'apa kau bisa hidup dengan baik setelah pergi dariku'."Aku baik.""Kau bahkan bisa mendatangi acara pernikahan besar ini, kau pasti punya koneksi yang bagus!" Mata Jones berubah tajam tetapi senyum yang sangat tipis di bibirnya tetap ada di balik keredupan cahaya sekitar.Kar