Karen bertanya dengan suara yang serak, dia putus asa, penolakan dari dalam dirinya terus membuat hatinya terluka. Dia bersikap dan membuat dirinya percaya pada keyakinan yang dia buat sendiri, tetapi kebaikan Ian berulang kali menghancurkan aturan di dalam dirinya.Ian sedikit panik saat melihat wajah Karen yang begitu kebingungan dan panik, dia segera mendekat dan akhirnya ikut berbaring sambil memeluk Karen."Shht.... Tenanglah, jika kau tenang aku akan memberitahumu!" ucap Ian seraya menepuk-nepuk punggung Karen, sambil memastikan ada jarak yang cukup untuk Karen.Karen merasa aneh, di dalam pelukan pria ini dia merasa aman dan dia tidak ketakutan, rasa memeberontak jika bersama pria asing tidak ada saat bersama Ian, dia semakin tidak memahami dirinya sendiri.Tepukan demi tepukan ringan di punggung membuatnya rileks, napasnya dalam dan teratur, tenang dan santai, satu-dua matanya terasa berat, satu-dua matanya benar-benar tertutup dan pergi ke alam mimpi.***"Karen, bagaimana kab
Air mata Karen berhenti. Matanya menatap cincin cantik dengan berlian indah di atasnya. Tampak bersinar saat memantulkan cahaya ruangan kembali ke iris mata.Mata Ian yang terlihat sangat penuh dengan ketulusan, pipi dan telinganya bereaksi alami dengan cara berubah warna menjadi merah. Ian yang berwajah kaku tampak begitu lucu dengan tampang pemalunya."Maaf Ian, aku tidak bisa menikah denganmu!" Setelah mengatakan itu Karen mengalihkan pandangannya, hidungnya terasa asam dan menyengat sampai ke mata.Ian masih tersenyum, dia tidak menutup cincin, hanya meletakkannya di atas meja. Dia berjalan mendekati Karen yang duduk di sofa, lalu duduk ke lantai di antara kedua paha Karen. Dia mendapati kegelisahan gadis itu, jadi dia memeluk kedua kaki Karen dan merebahkan kepalanya di lutut yang tertekuk itu."Aku tidak akan meminta apapun darimu, hanya biarkan aku tetap di sisimu .... Berikan aku kesempatan untuk menyembuhkanmu!" Pernyataan Ian seperti alat kejut yang membuat jantungnya meleda
"Pikirkan dulu Karen... Ibu tidak ingin memaksamu. Semuanya ada padamu, keputusan apapun yang kau ambil, kau akan tetap menjadi bagian dari keluarga kami!"Perkataan nyonya Abel terus menerus menguasai otaknya dua hari ini, Karen terkadang melamun memikirkan hasil pemeriksaannya beberapa hari lalu.Dokter mengatakan jika dia kemungkinan bisa hamil, hanya saja harus menjalani operasi untuk mengatasi penyumbatan tuba falopinya. Jika berhasil, maka kemungkinan untuk hamil akan semakin besar.Karen duduk di balkon menatap gerbang rumah Ian. Dua hari ini dia tidur di rumah besar itu, kafe sedang diliburkan selama seminggu karena pernikahan Jessica yang akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat.[Kapan kau pulang?] Karen mengirimkan pesan kepada Ian.Belum lama setelah pesan dikirim, Karen segera keterima balasan, dia tersenyum melihat kecepatan Ian dalam meresponanya.[Entahlah, Apa kau sudah merindukanku?]Karen membalas sambil tertawa. [Tidak, jangan lupa makan malam!]Ian sudah membacan
Setelah kepulangan Ian. Dia langsung menuju rumah sakit malam itu juga. Hal pertama yang dia lihat adalah Karen yang terbangun dengan keringat di dahinya."Karen? Apa sakit?" Alisnya berkerut banyak.Karen tersenyum, napasnya cepat dan putus-putus. "Sedikit, apa kau sudah makan?" tanya Karen.Ian tidak menjawab dia segera memanggil Dokter dan mengatakan jika Karen kesakitan, tetapi Dokter hanya tersenyum dan mengatakan jika itu adalah efek samping yang normal."Ian, Aku baik-"Karen terkejut saat melihat tatapan membunuh di mata Ian, detik itu juga dia segera menyuruh Dokter pergi dan mengatakan jika dia akan memanggil kalau ada keadaan darurat."Ian. Tenanglah! Hm?" Karen menarik lengan Ian yang masih melihat pintu dengan murka.Ian menghadap Karen dan tersenyum. "Karen!"Hanya satu nama yang bisa keluar dari mulutnya, dia marah dan ingin menyalahkan dirinya atas semua rasa sakit yang Karen terima pasca operasi, tetapi dia rasa itu hanya akan menambah beban pikiran Karen."Duduklah!I
Jantungnya berdegup kencang. Mati-matian Karen menyembunyikan wajah ketakutannya di balik topeng tenang, sementara telapak tangannya sudah basah oleh keringat.Karen menghembuskan napas. Menatap mata pria yang dia kenal itu dengan pandangan kosong. "Ya, aku benar-benar lupa," jawab Karen sambil tersenyum tipis."Lupa? Kau tidak akan pernah melupakanku," tukas Jones sedikit mengangkat tangan sambil berbicara.Karen tidak menjawab, kalimat yang keluar dari bibir mantan suaminya itu benar-benar menusuknya, dia merasakan dejavu, seolah dirinya kembali ke masa di mana pria ini memintanya bercerai dengan mudah."Bagaimana kabarmu?"Lupakan pertanyaan itu, di telinganya, kata sapaan itu hanya sebuah ejekan yang berarti 'apa kau bisa hidup dengan baik setelah pergi dariku'."Aku baik.""Kau bahkan bisa mendatangi acara pernikahan besar ini, kau pasti punya koneksi yang bagus!" Mata Jones berubah tajam tetapi senyum yang sangat tipis di bibirnya tetap ada di balik keredupan cahaya sekitar.Kar
Suhan menaikkan dagunya, saat itu dia baru sadar jika ada orang lain di sana. Tanpa membuang-buang waktu, dia segera menghampiri Jones dan menyapa."Anda pasti lelah, terima kasih sudah datang!" Suhan menundukkan kepalanya sedikit, diiringi dengan suara kunci pintu yang terbuka. Suhan segera membuka pintu tersebut untuk Jones dan Karen."Selamat siang, silakan duduk!" ucap Ian dengan wajah datarnya.Jones merasakan aura kuat Ian yang menekan dirinya, tangannya mengepal kuat sebentar sebelum akhirnya duduk dan saat itu matanya menangkap pemandangan di mana Karen ikut masuk dan menaruh kopi di meja Ian.Dia tidak pernah membayangkan akan melihat mantan istrinya bekerja di depannya, terlebih lagi mereka sekarang tidak lebih dari orang asing satu sama lain."Kalau begitu saya permisi dulu, Tuan Yan!" ucap Karen kecil namun masih dapat didengar oleh telinganya lain di dalam ruangan tersebut.Ian mengernyitkan alisnya saat mendengar bahasa formal dari Karen, entah kenapa itu membuatnya mera
Karen seorang diri di kafe, terlihat jelas langit dan awan di luar jendela sudah gelap, bahkan pejalan kaki yang biasanya ramai mungkin hanya tersisa setengah.Sambil menggerakkan tangannya untuk mengepel lantai, Karen memeriksa telepon dan bertanya-tanya apa yang sedang Ian lakukan di luar sana. Dia merindukan sifat manja pria itu.Karen sedikit tersentak saat telepon yang dia pegang bergetar, layarnya menyala menampilkan tulisan "My Love."Bibirnya tidak berhenti tersenyum mengingat Ian sendiri yang menamai kontaknya di HP Karen.["Halo?"] ucap Karen memeriksa.["Babe. Hmm~~"] Ian tidak bisa mengungkapkan rasa rindunya.Karen tertawa lepas, beruntung dia sendirian di ruang besar kafe, panggilan baru dan jelas sekali Ian sedang merindukannya. ["Apakah sulit? Jangan menangis!"] ucap Karen santai namun tetap lembut.["Pekerjaannya tidak sulit, tapi aku merindukanmu."]Karen memainkan jarinya sambil mendengarkan ocehan Ian, dia lega Ian sangat terbuka padanya, jika Ian tidak banyak bica
Seminggu berlalu sejak Ian pergi ke luar negeri. Bagi Karen, hari tanpa Ian adalah hari yang terasa begitu lambat dan penuh dengan kesunyian.Tidak ada orang yang akan berjalan pulang bersamanya, ataupun orang yang terus menempel manja padanya.Tetapi semua kejenuhan itu akan berakhir hari ini, tepat saat Ian masuk dengan wajah yang penuh senyum bahagia."Babe...." ucapnya sambil memeluk Karen yang sampai terangkat ke udara. Mata tajamnya memancarkan kebahagiaan yang meluap-luap.Seminggu tanpa Karen benar-benar tidak bisa membuatnya beradaptasi di negeri orang. Bahkan kemampuan mimikrinya yang seperti bunglon terasa tidak berguna di sana, dia hanya ingin segera kembali dan beristirahat di tempat Karen berada.Karen yang sudah terbiasa dengan cara Ian memeluknya juga segera membalas perlakuan itu, dia menghirup aroma parfum akrab yang akhirnya dia rasakan kembali."En. Akhirnya kau datang!" Karen mengelus rambut Ian dengan sekali usapan.Ian menangkap tangan itu dan berkata, "Ayo maka