Seperti hari-hari sebelumnya.
Hari ini aku kembali ikut menemani Kak Reyhan mengamen, tapi di tempat yang berbeda dari biasanya.
Bukan hanya tempat yang berbeda, hari ini aku dan Kak Reyhan mengamen ditemani Kak Nindra dan beberapa teman Kak Reyhan yang lain.
Suasana ramai membuat aku merasa terhibur apalagi di saat Kak Nindra yang jahil terus saja menggodaku dengan Kak Reyhan.
"Udah dicium berapa kali sama Reyhan, Trin?" tanya Kak Nindra saat itu.
Mendengar pertanyaan frontal itu, Kak Reyhan langsung memelototi Kak Nindra yang jadi cengengesan. Sementara aku cuma bisa senyum-senyum.
"Reyhan mah banci, dia takut sama cewek," goda kawan-kawan yang lain.
Jangan lupa jejaknya ya...
Reyhan tertidur di mushola rest area tol Cipularang. Semalaman menyetir membuat rasa kantuk menguasai dirinya. Waktu tempuh enam jam Jakarta-Bandung-Jakarta cukup membuatnya kelelahan. Reyhan kaget begitu dilihatnya matahari sudah terbit begitu tinggi. Pukul 10.25 WIB. Shit! Reyhan bangkit dan mulai berjalan cepat ke arah mobil. Baterai Handphonenya lowbat. Semoga saja tidak terjadi masalah di kantor. Harapnya cemas. Reyhan sempat melirik kaca spion di atas kepalanya memastikan luka lebam di wajahnya tidak terlihat serius. Dia tidak mungkin mampir ke apartemen dulu untuk sekedar mandi dan berganti pakaian. Sementara dia tahu hari ini ada meeting dengan klien penting selepas jam makan siang. Reyhan mulai melajukan mobilnya
Di sebuah ruangan dengan lampu redup temaram, seorang wanita terkulai lemah tak berdaya di atas lantai beralaskan kardus-kardus bekas. Kesadarannya belum pulih sempurna. Dia mencoba untuk membuka mata. Kepalanya berkunang-kunang. Nafasnya terasa sesak. Wanita itu mencoba bergerak, tapi sia-sia. Ke dua kaki dan tangannya diikat begitu kencang. Hingga setelahnya dia hanya mampu berteriak. Meski suaranya hanya terdengar seperti orang yang sedang bergumam. "Tolooonggg.. Tolooonggg..." Anggia terus berusaha berteriak meski setelahnya yang keluar hanya suaranya yang pelan tertahan. Entah mengapa dia merasa tenaganya seperti sudah dikuras habis. Dan lagi dia merasakan nyeri di bagian kewanitaannya ketika dia mulai menggerakkan kakinya. Dan Anggia baru sadar kalau pakaian yang dia pakai sekarang bukanlah pakaian yang dia
Katrina terus menebak-nebak hal mendesak apa yang membuat Reyhan dan Hardin harus berbarengan untuk tidak masuk kantor selama beberapa hari. Namun tak ditemukannya juga jawaban yang tepat, sampai akhirnya Kak Zaenab meneleponnya dan penjelasan Kak Zaenab di telepon menjawab semuanya. "Teteh sekarang lagi di rumah Abi Syamsul, Trina. Gia, cucu bungsunya Abi Syamsul yang sekolah di Jerman diculik. Tadi sore Abi Syamsul telepon ke rumah minta Nini sama Teteh ke rumah beliau untuk temenin Umi Tantri, neneknya Gia. Merekakan nggak punya kerabat lagi di Bandung. Bantu doa ya, Trina, mudah-mudahan Gia cepat ditemukan." jelas Kak Zaenab di telepon. "Innalillahi, iya Teh. Trina pasti akan bantu doa. Gia itu sahabat Trina Teh, waktu Trina tinggal di Jakarta." Katrina benar-benar kaget. Anggia diculik? Ya Allah SWT, semoga t
Engsel-engsel jendela besi itu berdecit ketika angin menerpa kerapuhannya. Menghadirkan suara pedih yang menyayat hati. Lorong-lorong rumah sakit yang gelap dengan dinding-dindingnya yang dingin menjadi saksi bisu atas hati yang terpuruk. Dia berusaha untuk bangkit namun sulit. Tubuhnya kini hanya menyisakan raga tanpa jiwa. Terseok dalam kehidupan fana yang penuh dengan kepalsuan. Merintih kesakitanpun tak akan ada yang mendengar. Kini semua terasa hampa baginya. Kosong. Dia akui, dia memang bukan orang yang baik. Dia hanya seorang bajingan yang mencoba bahagia dengan caranya sendiri. Meski dia tahu cara itu salah. Bukan! Itu bukan bahagia. Dia tak pernah jumpai kebahagiaan yang sesungguhnya, bahkan selama 29 tahun hidupnya berlangsung. Yang dia tahu hanya sebatas cara menikmati hidup, tanpa ada kebahagiaan yang
Lima hari kemudian pihak kepolisian sudah berhasil membekuk Bimantara. Hardin tak mau melewatkannya. Dia harus bertatap muka langsung dengan otak pelaku kejahatan terhadap Anggia. Hardin harus membuat perhitungan langsung dengannya. Di dalam sebuah ruangan tertutup, tempat dimana pihak kepolisian biasa mengintrogasi para pelaku kejahatan. Hardin dipertemukan dengan laki-laki setengah baya yang bernama Bimantara itu. Reyhan ada disana. Berdiri di belakang Hardin. Hardin dan Bimantara duduk saling berhadapan. Mata mereka sama-sama menyiratkan kebencian yang mendalam. "Lu mau tau apa yang gua rasain sekarang? Gua puas! Dan gua nggak perduli walau gua harus mati membusuk di penjara!" ucap Bimantara. Tangannya terborgol di bel
Hari ini Reyhan baru kembali dari Surabaya. Dia menagih janji Hardin untuk memberinya cuti. Walau pada akhirnya Reyhan tidak bisa bertahan cukup lama disana. Karena dia masih mengkhawatirkan keadaan Anggia. Dan lagi Reyhan sudah menyewa orang lain untuk mencari tahu keberadaan Katrina di Surabaya. Mungkin itu akan lebih membantunya. Saat sore tadi Reyhan sampai di Jakarta dia langsung menuju rumah sakit untuk melihat perkembangan Anggia. "Belum ada kemajuan sampai saat ini, Nak." ucap Abi Syamsul yang berdiri di samping Reyhan. Dari raut wajahnya yang keriput termakan usia, Reyhan bisa melihat keputusasaan disana. Abi Syamsul pergi meninggalkan Reyhan setelah laki-laki tua itu menepuk pelan bahu Reyhan. Pandangan Reyhan kembali pada Anggia. Wajah yang selalu terlihat
Sore tadi Bibi Atiqah, Mang Fu'ad dan Mang Adnan baru tiba di Jakarta. Mereka berniat untuk menjenguk Anggia. Tapi sebelum itu mereka mampir ke rumah Om Rudy dulu. Hingga setelahnya mereka bersama Om Rudy, juga Katrina pergi ke rumah sakit selepas melaksanakan shalat Maghrib. Setibanya di rumah sakit mereka mendapati banyak orang berkumpul di halaman parkir di depan ruangan loby rumah sakit. Katanya ada orang yang mau bunuh diri. Pandangan mereka tertuju pada seorang wanita yang berdiri di pinggir atap gedung rumah sakit berlantai lima itu. Dan wanita itu adalah Anggia. "Subhanallah, itukan Gia?" pekik Bibi Atiqah. Mereka semua b
Bertahun-tahun yang lalu... Seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun tengah menangis memeluk seorang wanita yang terbaring lemah tak berdaya. Perlahan anak itu menutupi tubuh sang Ibu dengan selimut yang dia ambil dari kamarnya. Agar tubuh telanjang yang dipenuhi luka memar itu tidak terlihat oleh siapapun. Lalu dia mulai memakaian pakaian kepada sang Ibu sebisa yang dia lakukan. "Jangan Reyhan. Biar Ibu saja. Tolong ambilkan Ibu air di baskom kecil. Ibu mau basuh badan Ibu dulu," "Baik, Bu." Reyhan kecil belum mengerti apapun saat itu. Yang dia tahu, Ibunya kini hanya bisa te