Engsel-engsel jendela besi itu berdecit ketika angin menerpa kerapuhannya. Menghadirkan suara pedih yang menyayat hati. Lorong-lorong rumah sakit yang gelap dengan dinding-dindingnya yang dingin menjadi saksi bisu atas hati yang terpuruk. Dia berusaha untuk bangkit namun sulit. Tubuhnya kini hanya menyisakan raga tanpa jiwa. Terseok dalam kehidupan fana yang penuh dengan kepalsuan. Merintih kesakitanpun tak akan ada yang mendengar. Kini semua terasa hampa baginya. Kosong.
Dia akui, dia memang bukan orang yang baik. Dia hanya seorang bajingan yang mencoba bahagia dengan caranya sendiri. Meski dia tahu cara itu salah.
Bukan! Itu bukan bahagia.
Dia tak pernah jumpai kebahagiaan yang sesungguhnya, bahkan selama 29 tahun hidupnya berlangsung. Yang dia tahu hanya sebatas cara menikmati hidup, tanpa ada kebahagiaan yang
Semoga suka jangan lupa bubuhkan ulasan kalian...
Lima hari kemudian pihak kepolisian sudah berhasil membekuk Bimantara. Hardin tak mau melewatkannya. Dia harus bertatap muka langsung dengan otak pelaku kejahatan terhadap Anggia. Hardin harus membuat perhitungan langsung dengannya. Di dalam sebuah ruangan tertutup, tempat dimana pihak kepolisian biasa mengintrogasi para pelaku kejahatan. Hardin dipertemukan dengan laki-laki setengah baya yang bernama Bimantara itu. Reyhan ada disana. Berdiri di belakang Hardin. Hardin dan Bimantara duduk saling berhadapan. Mata mereka sama-sama menyiratkan kebencian yang mendalam. "Lu mau tau apa yang gua rasain sekarang? Gua puas! Dan gua nggak perduli walau gua harus mati membusuk di penjara!" ucap Bimantara. Tangannya terborgol di bel
Hari ini Reyhan baru kembali dari Surabaya. Dia menagih janji Hardin untuk memberinya cuti. Walau pada akhirnya Reyhan tidak bisa bertahan cukup lama disana. Karena dia masih mengkhawatirkan keadaan Anggia. Dan lagi Reyhan sudah menyewa orang lain untuk mencari tahu keberadaan Katrina di Surabaya. Mungkin itu akan lebih membantunya. Saat sore tadi Reyhan sampai di Jakarta dia langsung menuju rumah sakit untuk melihat perkembangan Anggia. "Belum ada kemajuan sampai saat ini, Nak." ucap Abi Syamsul yang berdiri di samping Reyhan. Dari raut wajahnya yang keriput termakan usia, Reyhan bisa melihat keputusasaan disana. Abi Syamsul pergi meninggalkan Reyhan setelah laki-laki tua itu menepuk pelan bahu Reyhan. Pandangan Reyhan kembali pada Anggia. Wajah yang selalu terlihat
Sore tadi Bibi Atiqah, Mang Fu'ad dan Mang Adnan baru tiba di Jakarta. Mereka berniat untuk menjenguk Anggia. Tapi sebelum itu mereka mampir ke rumah Om Rudy dulu. Hingga setelahnya mereka bersama Om Rudy, juga Katrina pergi ke rumah sakit selepas melaksanakan shalat Maghrib. Setibanya di rumah sakit mereka mendapati banyak orang berkumpul di halaman parkir di depan ruangan loby rumah sakit. Katanya ada orang yang mau bunuh diri. Pandangan mereka tertuju pada seorang wanita yang berdiri di pinggir atap gedung rumah sakit berlantai lima itu. Dan wanita itu adalah Anggia. "Subhanallah, itukan Gia?" pekik Bibi Atiqah. Mereka semua b
Bertahun-tahun yang lalu... Seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun tengah menangis memeluk seorang wanita yang terbaring lemah tak berdaya. Perlahan anak itu menutupi tubuh sang Ibu dengan selimut yang dia ambil dari kamarnya. Agar tubuh telanjang yang dipenuhi luka memar itu tidak terlihat oleh siapapun. Lalu dia mulai memakaian pakaian kepada sang Ibu sebisa yang dia lakukan. "Jangan Reyhan. Biar Ibu saja. Tolong ambilkan Ibu air di baskom kecil. Ibu mau basuh badan Ibu dulu," "Baik, Bu." Reyhan kecil belum mengerti apapun saat itu. Yang dia tahu, Ibunya kini hanya bisa te
Ini hari pertama Reyhan kembali masuk kantor. Pagi ini dia bangun sebelum shubuh. Karena selama ini shalat selalu menjadi prioritas utama Reyhan. Walau dia bukan seorang muslim yang taat, tapi setidaknya dia ada keinginan untuk lebih memperdalam ilmu agamanya. Karena dia selalu merasa hatinya jadi lebih tenang setiap kali selesai menunaikan shalat. Reyhan baru saja selesai berpakaian ketika tiba-tiba pintu apartemen yang dia tempati saat itu terbuka. Hardin muncul dari balik pintu masih dengan setelan kantor yang kemarin dia pakai. Karena sepulang kantor sore kemarin, Hardin langsung ke rumah sakit dan stay di sana sampai pagi. Bahkan ketika sang Omah menyuruhnya pulang Hardin tetap tidak mau. Hal itu Hardin lakukan karena dia ingin menunjukkan pada Anggia kalau dia benar-benar menyesal dan juga supaya
"Aku nggak bisa, lagi banyak kerjaan." tolak Hardin. Dia baru saja melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya. Wajahnya terlihat tidak tenang. "Serius kamu nggak bisa? Aku kangen banget loh sama kamu, Sayang. Kitakan udah lama nggak ketemu. Kalau kamu nggak bisa keluar malam ini, gimana kalau aku yang dateng ke apartemen kamu? Oke? Aku punya sesuatu buat kamu. Kamu pasti suka? Ayolah nggak usah sok jual mahal sama aku, nanti kamu loh yang nyesel!" ancam suara di seberang. Suaranya lembut dan manja, bahkan dengan diiringi suara desahan yang menggoda. Dara memang paling jago dalam hal merayu laki-laki. Sial!!! Hardin merutuk dalam hati. Bayangan Dara dengan bikininya yang seksi menutupi bagian paling sensitif dari wanita itu terbayang jelas dalam pikiran Hardin. Bahkan han
"Kamu harus makan atuh Gia, dari pagi kamu cuma minum susu. Kasihan itu yang diperut, nanti dia juga ikut kelaparan," rayu Omah Tantri. Tangannya mencoba menyuapi Anggia dengan makanan yang baru saja diantarkan oleh pihak rumah sakit. Tapi Anggia tidak mau bangun. Dia terus tidur dengan posisi miring dengan bibir yang cemberut. Kepalanya menggeleng dan bibirnya semakin dia tutup rapat setiap kali sesendok makanan di dekatkan ke mulutnya oleh Omah Tantri. Omah Tantri berdecak seraya menaruh piring yang sedari tadi dipegangnya di atas meja. Merawat Anggia itu lebih-lebih dari merawat seorang anak kecil. Bisik batinnya, bingung. "Omah keluar sebentar ya," kata Omah kepada Gia. "Kak Reyhan mau kesini jam berapa sih, Omah? Katanya sehabis makan siang di Kantor dia langsung kesini," tanya Gia setelah matanya kembali melirik jam dinding di ruangan itu untuk yang kesekian kali. Jam itu kini menunjukkan pukul 15.15 WIB. Padahal
Setelah lusa kemarin Katrina menjenguk Anggia bersama rombongan karyawan lain, sore ini Katrina datang seorang diri untuk kembali menjenguk Anggia sebab ada amanah dari Aki dan Nini yang harus dia sampaikan. Untungnya, hari ini Katrina tidak melihat keberadaan Reyhan di kamar rawat Anggia. Setidaknya dia tidak perlu merasa gugup di dalam sana. Setelah menyelesaikan tugasnya, Katrina pun mohon pamit pada Abi dan Umi. Dia hendak pulang ketika langkahnya terhenti di ambang pintu sebab kedatangan Hardin dan Reyhan. Ke dua laki-laki itu sempat terkejut. "Loh, Katrina? Kamu sendirian ke sini?" tanya Hardin spontan, sementara Reyhan hanya diam dan langsung berlalu dari pintu karena Anggia sudah memanggilnya lebih dulu. "Iya Pak. Habis mengantar sesuatu untuk Abi dan Umi. Titipan dari Aki dan Nini di Bandung," jawab Katrina seadanya. "Sekarang, kam