Ranti tidak terlalu mempedulikan Oscar sejak dia bekerja lagi di rumah itu. DIa resmi dipekerjakan oleh Darius dan memiliki misi sendiri sekarang. Terutama karena pria itu telah mencoba sangat keras untuk tetap dapat emngingat Ranti setiap hari, saat dia bangun tidur pagi.Ketika malam hari Ranti membereskan meja tempat Darius biasa berkegiatan, dia bisa melihat buku terbuka di mana tertulis namanya, di antar orang-orang yang ingin terus diingat oleh Darius. Hatinya menghangat melihat usaha keras pria tersebut.“Tuan, hari sangat cerah. Apakah Anda tidak ingin pergi keluar dan jalan-jalan ke suatu tempat, misalnya?” tanya Ranti saat mengangkat bekas sarapan Darius di kamar.“Apa kau punya saran yang bagus?” Pria itu balik bertanya. Itu dilakukannya untuk menutup kelemahannya. Betapa banyak hal di luar dirinya yang telah dia lupakan. Termasuk tempat-tempat yang menurut gadis itu indah.“Apakah Anda suka melihat laut?” tanya Ranti dengan wajah bersemangat.Darius sedikit lama terdiam me
Pagi itu setelah dokter datang mengunjungi kediaman, Ranti langsung menceritakan perihal lemarin malam. “Apakah mungkin penyakit Tuan sembuh perlahan jika kami memberinya kebahagiaan dan mengalihkannya perhatiannya dari penyakit itu?” tanya Ranti tak sabar.Dokter diam sejenak di ruang tamu. Pak Hendra juga menunggu dengan tak sabar penjelasan dokter.“Saya akan mengevaluasinya lebih dulu sebelum bisa membuat kesimpulan,” ujar Dokter.Ranti dan Pak Hendra merasa tidak puas dengan jawaban itu, namun keduanya tak bisa melakukan hal lain selain menunggu pemeriksaan dokter lebih lanjut.Di kamar, Oscar yang sudah rapi, mengherankan Ranti. Pria muda itu berpamitan pada Darius. “Aku dipanggil Kakek ke rumah besar,” katanya.“Dia akan meracunimu juga!” Darius mengingatkan dengan wajah tak senang.“Seperti yang tadi kukatakan, Papa tidak usah khawatir,” balas Oscar.Darius mengangguk dan mengawasi putranya keluar kamar dengan mata khawatir yang tak ditutupi.“Anda tampak lebih sehat hari ini!
Pria di depan makam itu mengangkat kepalanya dan berdiri dengan segera.“Saya akan melakukannya dengan lebih baik kali ini. Saya sangat senang Anda mempercayakan hal ini pada saya!” ujar pria itu hormat.“Aku memberimu kesempatan kedua. Hanya dengan cara ini kau bisa menebus kesalahanmu pada Evelyn!” tandas Dharmajie pedas sebelum berbalik dan meninggalkan pria itu sendirian.Pria membungkukkan sedikit badannya ke arah Dharmajie yang sedang berjalan pergi di jalan setapak. Kemudian dia dengan cepat pergi ke arah yang berlainan.***“Apa yang dikatakan kakekmu?” tanya Darius malam itu.“Aku harus mulai kerja, besok!” ujar Oscar sambil menyuapi papanya dengan telaten.“Kau harus berhati-hati!” pesan Darius serius. “Tolong buka laci di sana dan ambil catatan di saat kematian mamamu!”Pria muda itu merasa aneh dengan perkataan papanya. Namun, dia menurutinya dan membuka laci lemari hias yang dimaksudkan Darius. Dengan segera wajah tercengangnya muncul. Ada banyak sekali buku catatan sepe
Oscar menunggu beberapa saat di dalam mobilnya. Mengira, siapa pun pria yang tadi menguntitnya, mungkin akan datang menemui. Namun, setelah menunggu hingga lima menit tak ada yang datang, maka diputuskannya untuk melangkah menuju kompleks pemakaman yang teratur rapi dan rindang.Dengan sebuket bunga di tangan, pria muda itu melangkah menyusuri jalan setapak menuju makam sang mama. Dengan informasi dari Pak Hendra, dia bisa menemukan dengan mudah makam itu. Matanya terpaku pada rangkaian bunga di atas makam sang nenek.“Apakah Pak Hendra datang ke sini kemarin?” pikirnya heran. Namun, begitu melihat makam sang mama tidak ada buket bunga sama sekali, maka dia langsung menepis pikiran tadi.“Mama, aku sudah kembali!” sapanya seraya meletakkan buket bunga di depan papan nama. “Apa Mama merindukanku? Aku akan menjaga Papa mulai sekarang. Mama jangan khawatir lagi.”Pria muda itu terdiam lama dan tenggelam dalam pikirnnya sendiri. Kemudian dia bangkit berdiri. “Aku juga akan mencari tahu s
Asep diam dan menunduk sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan tak kentara. “Saya hanya mempertimbangakan keselamatan Anda, Tuan Muda. Tapi jelas, saya mendapat amanat untuk menjaga Anda!”“Bagus! Setelah ini, mari ikut ke rumah. Aku ingin kita membahas beberapa hal!” Orscar berdiri dari duduk dan pergi dari sana. Asep segera bangkit dan mengikutinya dengan tenang.Pak Hendra terkejut saat pukul sebelas siang, tuan mudanya sudah kembali dengan wajah buruk. Dia mengerti bahwa pasti telah terjadi sesuatu di perusahaan. Dan lebih terkejut lagi saat melihat seorang pria mengikuti langkah Oscar hingga ke lantai dua.“Siapa dia?” tanya Ranti melihat seorang pria asing langsung ikut naik ke lantai dua, di mana Oscar tinggal sendiri di sana.“Sstt ...!” Pak Hendra meletakkan jari di bibir, mengisyaratkan agar Ranti tidak banyak bertanya. “Siapakan saja makan siang untuk Tuan!”Sudah hampir selesai!” sahut gadis itu, kembali ke pekerjaannya. Pak Hendra membuatkan minuman dingin untuk diantar
Asep menoleh sebentar pada Oscar, meminta persetujuan. Pemuda itu mengangguk. Dia merasa, papanya besok juga akan melupakan apa yang barusan mereka bicarakan. Jadi, biarkan saja.“Malam itu, saya mengantar Nyonya pulang dari kantor. Di tengah jalan, Nyonya minta mobil berhenti di depan apotik untuk membeli obat Anda. Saya lihat apotik itu sepi, jadi saya turun dan berharap transaksi akan selesai dengan cepat. Nyonya tinggal di mobil berdua dengan sopir Rahmat!”Pria itu memejamkan matanya sejenak, mengingat kejadian yang telah bertahun lalu lewat. “Tak saya duga, lima menit kemudian saat saya keluar dari apotik, mobil Nyonya sudah tidak ada. Saya menghubungi Rahmat, namun dia tidak mengangkat telepon. Saya melacak nomor ponsel Nyonya dan mengikuti dengan taksi.”“Jadi, kau meninggalkannya sendiri?” Darius memotong penjelasan dan bertanya dengan suara penuh tuduhan.“Nyonya yang meminta saya turun.” Asep menjawab dengan tenang. Dia bisa memaklumi bahwa konsektrasi Darius bisa mudah ter
Asep melebarkan matanya tak mengerti maksud perkataan pria itu. Dia menunggu Darius untuk melanjutkan ucapannya. Kepalanya bahkan sedikit miring setelah mengangguk pelan, dan melempar pertanyaan lewat manik matanya.Karena tak mendapatkan penjelasan, akhirnya Asep menyerah. “Anda ingin mengatakan apa, Tuan?” tanyanya sopan,Darius masih mengamatinya dengan mata disipitkan. Tampak sekali pria itu sedang berpikir keras. Kemudian dia menyerah dan kembali duduk seelegan yang dia bisa. “Kau siapa?”Asep tak dapat menahan rasa terkejut mendengar pertanyaan itu. Mereka baru saja membicarakan hal penting bersama-sama, dan sekarang Darius sudah melupakannya. Pria itu tak tahu harus menjawab apa. Dilihatnya Darius bahkan sudah melupakan pertanyaan tadi. Pria itu terlihat gelisah dan melihat ke kanan dan kiri seperti mencari sesuatu, namun dia sendiri tidak ingat apa yang sedang dicarinya.“Tuan, hari sudah sore. Sebaiknya Anda kembali ke kamar.”Suara Pak Hendra menyelamatkan suasana yang cang
Gadis itu menarik sebuah kursi lagi dan duduk di depan Darius. Dia menurut saja meskipun perutnya sudah merasa lapar. Yang ada di pikiran Ranti hanya agar pria itu lebih tenang setelah fase emosionalnya tadi.Gadis itu tersenyum penuh candaan, “Kalau saya tidak bisa membantu banyak jangan marahi saya, Tuan.”Terbukti, Darius bisa ikut tersenyum mendengar kata-kata gadis itu. “Aku hanya sedang tak ingin sendirian,” jawabnya jujur.Jawaban itu merubah raut wajah Ranti seketika. Rasa iba muncul ke permukaan, dan dia tak suka itu. Darius telah berusaha sangat keras melawan penyakitnya. Dia tak butuh rasa iba, namun penghormatan yang dalam. Dengan menelan ludah kasar, gadis itu menepis rasa itu dari hatinya.“Anda punya saya, Pak Hendra dan Tuan Muda Oscar di rumah ini. Jangan pernah merasa sendirian. Jangan melemah, karena kami semua mendukung Anda.”Darius yang siap untuk menulis huruf demi huruf di kertas, terhenti mendengar kata-kata yang dilontarkan Ranti. Pria itu mengangkat kepala d