“Din, tolong bersihin kamar Bima ya. Ganti sprei dan selimutnya juga. Malam ini dia pulang.”
“Baik, Bu.”
Adinda segera berdiri dan mengikuti Kartika, yang menjadi majikannya selama beberapa tahun terakhir. Mereka keluar dari dapur dan menyusuri koridor, menaiki tangga hingga sampai di lantai dua rumah besar itu.
“Sekalian kamar mandinya dibersihakan juga, ya. Biar Bima betah tinggal lama-lama di sini,” Kartika mengucapkan perintahnya dengan lembut. Inilah salah satu yang membuat Adinda begitu bersyukur mendapatkan Kartika dan keluarganya sebagai majikan. Mereka kaya raya dan terpandang, tetapi selalu memperlakukan semua pekerjanya dengan sangat baik. “Heran saya sama Bima itu, orang tua masih lengkap gini kok jarang banget pulang ke rumah.”
“Mungkin Mas Bima memang sibuk ngurusi pekerjaannya di Amerika, Bu,” kata Dinda sabar. Dia sudah hapal sifat Kartika di rumah. Meski penampilannya seperti ibu-ibu sosialita yang sedang arisan, di dalamnya masih khas seperti ibu-ibu yang menunjukkan sayang dengan cara cerewet dan sering mengomeli anaknya.
Kartika menghela napas. “Ya biarpun sibuk, harusnya tetap inget rumah dong, Din. Ini telepon saja nggak pernah kalau bukan saya yang nelpon dulu. Dalam setahun ada libur tahun baru, libur lebaran, natalan, juga nggak pulang.”
“Mungkin Mas Bima niatnya ingin ngajakin Bu Tika liburan di luar negeri, jadi sengaja nggak pulang biar pada ke sana.”
“Ah, kamu itu nggak kenal sama anak saya, Din. Emang itu anak cueknya nggak ketulungan.”
Kali ini Dinda hanya meringis karena tidak tahu harus membalas apa. Dia sudah paham apa yang harus dilakukan saat Kartika mulai mengomel. Dengarkan dan dengarkan hingga Kartika lelah. Sikap sabar Dinda itulah yang membuat Kartika betah berlama-lama ngobrol satu arah dengan gadis itu, yang baginya adalah pendengar yang baik.
“Ya sudah, kamu tolong kerjain apa yang saya bilang barusan ya, Din. Jangan lupa kamarnya harus wangi. Saya mau creambath dulu, pusing mikirin anak satu itu.”
“Baik, Bu.” Adinda tersenyum melihat kepergian Kartika. Dalam hati menjerit jika mengingat biaya yang dikeluarkan Kartika tiap harinya untuk sekedar creambath atau massage atau perawatan lainnya di salon. Dinda pernah tidak sengaja menemukan tagihan salon Kartika, dan hanya bisa melongo. Satu kali perawatan saja bisa untuk membeli mobil. Jadi wajar saja Kartika tetap terlihat muda dan segar meski usianya sudah berada di pertengahan lima puluh.
Mungkin memang nasib Adinda tidak seberuntung Kartika. Untuk hidup saja dia harus menumpang dan bekerja di sini sejak usia enam belas tahun. Awalnya Kartika berniat memasukkan Dinda ke sekolah menengah atas. Tetapi dia menolak dan lebih memilih ikut kejar paket agar tetap bisa bekerja. Adinda tidak ingin menumpang secara gratis dan merepotkan orang lain. Ia ingat kata-kata ayahnya sebelum mereka berpisah di depan rumah besar Kartika.
“Kamu ikut Ibu Kartika dulu ya, Din. Tinggal di sana, tapi jangan menyusahkan mereka. Bantu mereka sebisa kamu. Ayah tahu kamu pintar bersih-bersih rumah dan memasak. Kamu bisa bantu nyapu atau ngepel. Atau cuci piring. Nanti kalau Ayah sudah punya rumah lagi, kamu Ayah jemput. Kita akan tinggal sama-sama lagi seperti dulu.”
Bahkan setelah tujuh tahun berlalu, Adinda masih sering menangis saat mengingat perpisahannya dengan sang ayah. Setelah perpisahan itu, tidak ada kabar tentang ayahnya. Dinda sudah berkali-kali datang ke rumah lama mereka, menanyakan keberadaan ayahnya pada tetangga atau kenalan yang ia tahu, tapi nihil. Harapannya hanya ayahnya belum lupa pada janjinya dan menjemputnya di rumah Kartika. Itulah mengapa Dinda begitu gigih dan rajin bekerja. Dia ingin Kartika menyayanginya dan tidak punya alasan untuk memecat atau mengusirnya dari rumah itu. Hanya rumah Kartika-lah yang menjadi penghubung antara Dinda dan ayahnya.
Setelah selesai membersihkan tempat tidur, Dinda beralih ke kamar mandi yang lebih kotor dari dugaannya. Kamar ini memang jarang digunakan selama tujuh tahun terakhir. Saat Dinda pindah ke rumah ini, Bima sang pemilik kamar dan anak kedua Kartika, tengah melanjutkan kuliahnya di New York. Bima hanya pulang beberapa kali dalam waktu tujuh tahun terakhir, tetapi Dinda tidak pernah melihatnya. Seringkali Kartika dan keluarganya yang lain yang akhirnya mengalah dan mengunjungi Bima di New York. Bahkan jika bukan karena sering diperlihatkan fotonya oleh Kartika dan anak perempuannya, Sarah, Dinda tidak akan mengenali wajah Bima.
Hampir satu jam Dinda habiskan untuk menggosok bathtub, wastafel, dan kloset di kamar mandi yang ukurannya hampir dua kali lebih luas dari kamarnya di samping dapur. Pinggangnya seperti mau putus karena terlalu lama berjongkok. Setelah dirasa cukup bersih, Dinda lalu mengumpulkan alat-alat kebersihannya dan keluar dari kamar mandi.
“Siapa lo? Ngapain di kamar gue?”
“Siapa lo? Ngapain di kamar gue?”Dinda yang terkejut hampir menjatuhkan ember yang ada di tangannya. Di depannya menjulang anak laki-laki kesayangan yang sedang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh Kartika. Lebih tepatnya anak laki-laki yang telah tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan dan gagah.“Saya... ART di sini, Mas,” jawab Dinda terbata.Bima bersedekap, matanya menatap menilai Dinda. Harus diakui, meski hanya dengan celana olahraga selutut dan kaos kedodoran yang warnanya sudah mulai pudar, Dinda tetap terlihat cantik. Kulitnya langsat dan bersih, berbanding terbalik dengan pakaiannya. Rambutnya yang panjang diikat ekor kuda agar tak mengganggunya saat bekerja. Lekuk tubuhnya tersembunyi di balik kaos dan celana olahraga yang satu ukuran lebih besar dari yang seharusnya.“ART? Sejak kapan Mama ganti ART?” Ketidakpercayaan Bima semata-mata hanya karena heran ada ART di rumahnya yang secantik ini. Seingatnya hanya ada Bik Sinah dan Bik Yati yang sudah cukup tua, yang ada di rumah
Adinda sedang membantu memotong sayuran ketika suara berisik terdengar dari ruang keluarga.“Kak Dindaaaa!”Hanya berselang beberapa detik Dinda merasakan kedua kakinya dipeluk erat oleh dua orang anak berseragam.“Hai, Sayang,” balas Dinda riang. Dia meninggalkan kegiatannya dan menurut saat kedua bocah itu menariknya keluar dari dapur.“Kak, tadi Tasya dapat nilai paling tinggi satu kelas,” kata anak perempuan berkuncir kuda. “Kalau Rasya nomor dua.” “Tadi pensil Rasya patah, makanya harus diraut dulu. Jadinya Rasya belum sempet ngisi soal nomor terakhir. Kalau enggak pasti Rasya bisa ngalahin Tasya,” kata anak laki-laki yang dipanggil Rasya.Anak perempuan itu, Tasya, mencibir tidak terima.“Sudah, nomor satu sama nomor dua sama-sama hebat,” kata Dinda buru-buru menengahi, kalau tidak bisa berjam-jam mereka akan terus beradu mulut.“Nanti bantuin Rasya bikin pe-er ya, Kak,” kata Rasya.“Nanti bacain cerita lagi ya, Kak,” Tasya masih tak mau kalah.Dinda hanya mengangguk mengiyakan
Setelah mencuci piring bekas makan malam biasanya tugas Dinda sudah selesai. Dia pergi ke kamarnya dan berniat menyelesaikan tugas kuliahnya. Sama seperti saat sekolah menengah, Dinda memilih kuliah di universitas terbuka yang jam kuliahnya malam hari atau Sabtu Minggu agar dia tetap bisa bekerja. Saat waktu menunjukkan pukul satu dini hari, Dinda baru menyelesaikan tugas-tugasnya. Matanya sudah berat, tetapi tenggorokannya begitu kering. Terpaksa dia keluar dan pergi ke dapur mengambil air minum.“Bisa sekalian bikinin gue makanan?”“Aahh!”Dinda berteriak karena dikejutkan oleh keberadaan Bima yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya.“Mas Bima ngapain di situ? Bikin kaget saja,” keluh Dinda sambil mengusap-usap dadanya, berusaha menetralkan debaran jantung yang melonjak karena terkejut tadi.Bima mengabaikan pertanyaan Dinda dan mengulangi perintahnya. “Bikinin makanan, terus bawa ke kamar gue.”“Mau dibikinin apa, Mas?”Dinda menghela napas panjang, menyabarkan diri mengha
“Din, kamu dipanggil sama Bu Tika. Suruh ke ruang keluarga,” Bik Yati memberitahu Dinda yang sedang menyelesaikan tugas kuliahnya di kamar.“Iya, Bik.”Dinda bangkit dan pergi ke ruang keluarga. Samar-samar terdengar suara Kartika dan Bima seperti sedang beradu argumen.“Kamu ini susah banget dibilangin. Makin gede bukannya makin nurut. Ini malah makin pinter jawab orang tua,” gerutu Kartika saat Dinda masuk ke ruangan itu. Kartika, Iskandar, dan Bima sedang duduk di sofa, sepertinya sedang membahas sesuatu yang penting jika dilihat dari raut wajah mereka.“Maaf Bu, Pak. Tadi Bik Yati bilang saya diminta ke sini sama Bu Tika,” kata Dinda sopan.Kartika yang sedang memberengut sambil menatap tajam pada anak laki-lakinya menghela napas panjang menyerah dan beralih pada Dinda. “Kamu siap-siap, gih. Bawa baju-baju dan barang-barang kamu juga,” ucapnya lembut.“Saya dipecat, Bu?” sergah Dinda kaget.“Oh, bukan itu, Din. Mulai hari ini kamu ikut Bima ke apartemennya. Tugas kamu menyiapkan m
“Iya, Bu?”Nada dering khusus untuk Kartika sengaja Dinda pasang agar dia bisa segera menjawab saat bosnya itu menelepon.“Kamu sudah masak?”“Belum, Bu. Ini baru saja mau siap-siap.”“Bagus, jangan masak dulu. Saya bawa makanan untuk makan malam kalian. Sebentar lagi saya sampai di apartemen.”Dinda tak sempat menjawab karena Kartika telah lebih dulu mematikan sambungan telepon. Rupanya wanita itu hanya ingin memastikan kalau Dinda ada di aparteman. Benar saja, hanya berselang beberapa menit suara bel terdengar.“Selamat malam, Bu,” sapa Dinda begitu Kartika masuk.“Malam, Din. Bima belum pulang?” Kartika menyerahkan tas berisi makanan pada Dinda. “Bik Sinah tadi masak rendang sama sambel goreng ati. Tinggal kamu angetin kalau kalian mau makan.”“Baik, Bu. Mas Bima belum pulang. Biasanya baru pulang di atas jam sepuluh.” Selama tiga hari terakhir Bima memang selalu pulang larut. “Kemarin malam malah baru pulang setelah jam dua belas, Bu.”Kartika menghela napas sambil melihat jam di
Beberapa hari setelah ancaman itu, Kartika menelepon Dinda. Seperti yang sudah Bima prediksi, hampir setiap hari Kartika menanyakan kegiatan Bima. Wanita itu berpikiran kepindahan Bima ke apartemen ada hubungannya dengan teman perempuannya. Kartika menebak kalau penyebab utama Bima pindah adalah bahwa anaknya itu sudah punya pacar hingga tidak ingin dijodohkan dan ingin bebas seperti saat di luar negeri. Tetapi sejauh ini jawaban Dinda selalu monoton. Bima bangun pagi kemudian berangkat kerja. Hari sudah larut saat Bima kembali ke apartemen. Dia bahkan belum pernah membawa teman-temannya ke rumah.“Mas Bima mau makan malam?” Itu adalah pertanyaan rutin Dinda setiap Bima baru pulang, tak peduli jam berapapun pria itu kembali.“Nasi goreng aja, Din. Yang cepet. Gue udah laper banget.”Tak seperti biasanya, malam ini Bima pulang lebih cepat. Dia pun tak langsung masuk ke kamarnya untuk mandi, melainkan duduk di meja makan sambil menunggu Dinda menyiapkan makan malam untuknya. Selang bebe
“Tinggal nambahin beberapa referensi aja, Din. Yang lain sudah oke. Kamu harus dapat referensi yang bagus kalo mau cepet lanjut.”Dinda mengangguk-angguk paham saat menghadap Adam yang menjadi dosen pembimbingnya. Dosen itu masih muda, usianya baru di awal tiga puluhan. Karenanya, Adam akrab dan dekat dengan mahasiswanya, termasuk Dinda. Ditambah lagi parasnya cukup tampan. Rasanya jarang sekali melihat Adam seorang diri tanpa dikelilingi mahasiswanya di kampus. Adam pun tak segan-segan meminjamkan buku atau mengajari mereka di luar jam kuliah selama Adam ada waktu luang. Untuk itu, dia menjadi dosen favorit di jurusan Dinda.“Saya sudah nyari di perpus tapi nggak ketemu, Pak. Kalaupun ada, pasti sedang dipinjam dan daftar tunggunya panjang sekali,” keluh Dinda.Adam tersenyum. “Ya jangan di perpus, dong. Perpus kita masih kurang lengkap. Kamu beli saja di toko buku, kemarin waktu ada pameran saya lihat ada beberapa yang bagus.”“Baik, Pak.” Dinda terpaksa mengiyakan. Adam dan teman-t
Dinda dan Bima menghabiskan sisa hari itu di kediaman keluarga Iskandar. Seharian Dinda menemani Rasya dan Tasya bermain. Hingga saat makan malam usai, keduanya menangis karena Dinda berpamitan untuk kembali ke apartemen bersama Bima. Butuh waktu setengah jam lebih untuk menenangkan keduanya, dengan tambahan bermacam-macam janji manis dari Sarah dan Kartika.“Lo bisa nyetir nggak, Din?” tanya Bima saat mereka sampai di carport. “Gue capek.”“Maaf, Mas. Saya nggak pernah belajar nyetir.”Bima menghela napas lelah dan mengisyaratkan Dinda untuk masuk ke mobil.“Kapan-kapan gue ajarin lo nyetir,” kata Bima ketika mereka melaju di jalan raya. “Biar lo bisa nyupirin gue kalo pas capek kaya gini.”“Iya, Mas.”Mereka tiba di apartemen tak lama kemudian. Begitu keluar dari lift yang membawa mereka ke unit milik Bima, keduanya disambut beberapa pria yang entah sejak kapan ada di depan pintu.“Akhirnya lo pulang juga, Bim. Kita udah jamuran nungguin elo dari tadi.”Bima menepuk dahi. “Sori, gue