Share

CINTA TERLARANG TUAN MAJIKAN
CINTA TERLARANG TUAN MAJIKAN
Author: bianglalala

Bab 1

“Din, tolong bersihin kamar Bima ya. Ganti sprei dan selimutnya juga. Malam ini dia pulang.”

“Baik, Bu.”

Adinda segera berdiri dan mengikuti Kartika, yang menjadi majikannya selama beberapa tahun terakhir. Mereka keluar dari dapur dan menyusuri koridor, menaiki tangga hingga sampai di lantai dua rumah besar itu.

“Sekalian kamar mandinya dibersihakan juga, ya. Biar Bima betah tinggal lama-lama di sini,” Kartika mengucapkan perintahnya dengan lembut.  Inilah salah satu yang membuat Adinda begitu bersyukur mendapatkan Kartika dan keluarganya sebagai majikan. Mereka kaya raya dan terpandang, tetapi selalu memperlakukan semua pekerjanya dengan sangat baik. “Heran saya sama Bima itu, orang tua masih lengkap gini kok jarang banget pulang ke rumah.”

“Mungkin Mas Bima memang sibuk ngurusi pekerjaannya di Amerika, Bu,” kata Dinda sabar. Dia sudah hapal sifat Kartika di rumah. Meski penampilannya seperti ibu-ibu sosialita yang sedang arisan, di dalamnya masih khas seperti ibu-ibu yang menunjukkan sayang dengan cara cerewet dan sering mengomeli anaknya.

Kartika menghela napas. “Ya biarpun sibuk, harusnya tetap inget rumah dong, Din. Ini telepon saja nggak pernah kalau bukan saya yang nelpon dulu. Dalam setahun ada libur tahun baru, libur lebaran, natalan, juga nggak pulang.”

“Mungkin Mas Bima niatnya ingin ngajakin Bu Tika liburan di luar negeri, jadi sengaja nggak pulang biar pada ke sana.”

“Ah, kamu itu nggak kenal sama anak saya, Din. Emang itu anak cueknya nggak ketulungan.”

Kali ini Dinda hanya meringis karena tidak tahu harus membalas apa. Dia sudah paham apa yang harus dilakukan saat Kartika mulai mengomel. Dengarkan dan dengarkan hingga Kartika lelah. Sikap sabar Dinda itulah yang membuat Kartika betah berlama-lama ngobrol satu arah dengan gadis itu, yang baginya adalah pendengar yang baik.

“Ya sudah, kamu tolong kerjain apa yang saya bilang barusan ya, Din. Jangan lupa kamarnya harus wangi. Saya mau creambath dulu, pusing mikirin anak satu itu.”

“Baik, Bu.” Adinda tersenyum melihat kepergian Kartika. Dalam hati menjerit jika mengingat biaya yang dikeluarkan Kartika tiap harinya untuk sekedar creambath atau massage atau perawatan lainnya di salon. Dinda pernah tidak sengaja menemukan tagihan salon Kartika, dan hanya bisa melongo. Satu kali perawatan saja bisa untuk membeli mobil. Jadi wajar saja Kartika tetap terlihat muda dan segar meski usianya sudah berada di pertengahan lima puluh.

Mungkin memang nasib Adinda tidak seberuntung Kartika. Untuk hidup saja dia harus menumpang dan bekerja di sini sejak usia enam belas tahun. Awalnya Kartika berniat memasukkan Dinda ke sekolah menengah atas. Tetapi dia menolak dan lebih memilih ikut kejar paket agar tetap bisa bekerja. Adinda tidak ingin menumpang secara gratis dan merepotkan orang lain. Ia ingat kata-kata ayahnya sebelum mereka berpisah di depan rumah besar Kartika.

“Kamu ikut Ibu Kartika dulu ya, Din. Tinggal di sana, tapi jangan menyusahkan mereka. Bantu mereka sebisa kamu. Ayah tahu kamu pintar bersih-bersih rumah dan memasak. Kamu bisa bantu nyapu atau ngepel. Atau cuci piring. Nanti kalau Ayah sudah punya rumah lagi, kamu Ayah jemput. Kita akan tinggal sama-sama lagi seperti dulu.”

Bahkan setelah tujuh tahun berlalu, Adinda masih sering menangis saat mengingat perpisahannya dengan sang ayah. Setelah perpisahan itu, tidak ada kabar tentang ayahnya. Dinda sudah berkali-kali datang ke rumah lama mereka, menanyakan keberadaan ayahnya pada tetangga atau kenalan yang ia tahu, tapi nihil. Harapannya hanya ayahnya belum lupa pada janjinya dan menjemputnya di rumah Kartika. Itulah mengapa Dinda begitu gigih dan rajin bekerja. Dia ingin Kartika menyayanginya dan tidak punya alasan untuk memecat atau mengusirnya dari rumah itu. Hanya rumah Kartika-lah yang menjadi penghubung antara Dinda dan ayahnya.

Setelah selesai membersihkan tempat tidur, Dinda beralih ke kamar mandi yang lebih kotor dari dugaannya. Kamar ini memang jarang digunakan selama tujuh tahun terakhir. Saat Dinda pindah ke rumah ini, Bima sang pemilik kamar dan anak kedua Kartika, tengah melanjutkan kuliahnya di New York. Bima hanya pulang beberapa kali dalam waktu tujuh tahun terakhir, tetapi Dinda tidak pernah melihatnya. Seringkali Kartika dan keluarganya yang lain yang akhirnya mengalah dan mengunjungi Bima di New York. Bahkan jika bukan karena sering diperlihatkan fotonya oleh Kartika dan anak perempuannya, Sarah, Dinda tidak akan mengenali wajah Bima.

Hampir satu jam Dinda habiskan untuk menggosok bathtub, wastafel, dan kloset di kamar mandi yang ukurannya hampir dua kali lebih luas dari kamarnya di samping dapur. Pinggangnya seperti mau putus karena terlalu lama berjongkok. Setelah dirasa cukup bersih, Dinda lalu mengumpulkan alat-alat kebersihannya dan keluar dari kamar mandi.

“Siapa lo? Ngapain di kamar gue?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
NACL
aku mampir Kak Author \(^o^)/
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status