Bima selalu berhati-hati saat berhubungan dengan Dinda. Selain di waktu-waktu saat Dinda tidak dalam masa ovulasi, Bima selalu menggunakan pengaman. Tujuannya sudah jelas. Walapun status mereka telah berubah, Bima sepertinya masih tidak menginginkan kehadiran seorang anak.Tetapi yang Dinda rasakan justru sebaliknya. Dari ucapan beberapa orang termasuk Daniel, Dinda menyimpulkan keinginan terbesar Kartika saat ini adalah memiliki cucu dari putra satu-satunya. Untuk sekali ini, Dinda berada di kubu yang sama dengan ibu mertuanya itu. Terlepas dari masa lalunya, Dinda ingin mencoba lagi. Dia menginginkan sebuah keluarga.Jadi rencananya adalah menggoda Bima hingga ia terlena dan lengah hingga pria itu tidak lagi bisa berpikir jernih untuk memakai pengaman atau menggunakan pencegahan lainnya. Sebenarnya tidak sulit. Dinda hanya perlu memberanikan diri dan menebalkan muka.Seperti saat ini.Dia menyambut kepulangan Bima─yang akhir-akhir ini selalu pulang larut─dengan mengenakan lingerie b
Dinda tahu cepat atau lambat hal seperti itu akan terjadi. Tetapi dia tidak berpikir malam ini, di tempat dengan orang-orang yang mengagungkan tata krama dan etika berkumpul. Dan tidak di depan Kartika.Sekilas Dinda bisa merasakan suasana di lingkaran itu menjadi hening dan canggung. Mereka menanti jawaban Felix dan bersiap menilainya.Tetapi pria itu tampak santai. Bahkan bibirnya masih menyunggingkan senyum tipis. “Memangnya Dinda sekontroversial apa, Bu Ratna?”“Merebut tunangan perempuan lain dan berhubungan dengan bos sendiri bukan sesuatu yang kontroversial?”Felix mengibaskan tangannya seperti mengusir lalat yang mengganggu. “Bu Ratna belum dengar berita terbaru? Atau mungkin Ibu Kartika belum menjelaskan?”Seketika semua orang di sana mengalihkan perhatian pada Kartika, menanti tanggapan dan reaksinya. Tentu saja. Topik seperti ini adalah sesuatu yang banyak diminati, hampir di semua kalangan.Dinda melihat kehebatan Kartika dalam mengontrol emosinya. Wajahnya tetap tidak ter
Setelah mengucapkan terima kasih pada Cindy yang meresepkan obat dan suplemen untuk Dinda, Bima tidak mengatakan apa-apa lagi. Selama perjalanan pulang Dinda menahan dirinya untuk tidak menangis sementara Bima menyetir dalam diam. Bungkamnya Bima membuat dirinya takut dan khawatir.Seharusnya Dinda senang karena rencananya berhasil. Dia hamil. Tetapi melihat reaksi Bima─meski sudah ia bayangkan sebelumnya─tetap membuatnya takut dan khawatir. Dalam hatinya diam-diam Dinda berharap Bima telah berubah pikiran. Dinda membayangkan meskipun terkejut, Bima akan dengan gembira menerima kehamilannya. Setelah itu mereka akan menemui Kartika dan memberitahu kabar itu.“Bagaimana bisa?” tanya Bima dengan nada datar saat mereka tekah berada di ruang duduk apartemen. Dia duduk di samping Dinda yang sedang melepas sepatunya. Rambutnya berantakan karena beberapa waktu tadi dia berkali-kali mengusap kepalanya dengan kasar. “Aku selalu hati-hati.”Dinda tidak tahu mana yang lebih menyakitkan. Kehilanga
“Kalian serius?” tanya Iskandar. Pandangannya tertuju pada sang putra. Balita di gendongannya merengek dan dia mengelus punggung anak kecil itu untuk menenangkannya. “Kalian nggak sedang main-main, kan?”Bima mengangkat satu alisnya. “Kenapa aku harus main-main dengan hal seperti ini, Pa?”“Karena kamu selalu menolak waktu Mama membahas pernikahan dan menghasilkan keturunan!” semprot Kartika. Wajahnya memerah, entah karena bahagia atau marah mendengar kabar itu. Dia lalu berjalan mendekati Bima hingga mereka berhadapan.“Mama nggak mau ngucapin selamat?” tanya Bima dengan senyum di bibirnya.Kartika memukul lengan putranya itu sebelum memeluknya. “Kenapa harus seperti ini, Bim? Kenapa kamu membuatnya jadi rumit?”“Aku bikin rumit?” Bima mendengus tak percaya. “Mama tuh, yang ribet,” gerutunya, yang membuatnya mendapat sebuah pukulan di punggung.“Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Sayang.” Kartika melepas pelukannya dan mundur satu langkah. Tubuhnya berputar hingga sekarang dia mena
“Din, tolong bersihin kamar Bima ya. Ganti sprei dan selimutnya juga. Malam ini dia pulang.”“Baik, Bu.”Adinda segera berdiri dan mengikuti Kartika, yang menjadi majikannya selama beberapa tahun terakhir. Mereka keluar dari dapur dan menyusuri koridor, menaiki tangga hingga sampai di lantai dua rumah besar itu.“Sekalian kamar mandinya dibersihakan juga, ya. Biar Bima betah tinggal lama-lama di sini,” Kartika mengucapkan perintahnya dengan lembut. Inilah salah satu yang membuat Adinda begitu bersyukur mendapatkan Kartika dan keluarganya sebagai majikan. Mereka kaya raya dan terpandang, tetapi selalu memperlakukan semua pekerjanya dengan sangat baik. “Heran saya sama Bima itu, orang tua masih lengkap gini kok jarang banget pulang ke rumah.”“Mungkin Mas Bima memang sibuk ngurusi pekerjaannya di Amerika, Bu,” kata Dinda sabar. Dia sudah hapal sifat Kartika di rumah. Meski penampilannya seperti ibu-ibu sosialita yang sedang arisan, di dalamnya masih khas seperti ibu-ibu yang menunjukka
“Siapa lo? Ngapain di kamar gue?”Dinda yang terkejut hampir menjatuhkan ember yang ada di tangannya. Di depannya menjulang anak laki-laki kesayangan yang sedang ditunggu-tunggu kedatangannya oleh Kartika. Lebih tepatnya anak laki-laki yang telah tumbuh menjadi pria dewasa yang tampan dan gagah.“Saya... ART di sini, Mas,” jawab Dinda terbata.Bima bersedekap, matanya menatap menilai Dinda. Harus diakui, meski hanya dengan celana olahraga selutut dan kaos kedodoran yang warnanya sudah mulai pudar, Dinda tetap terlihat cantik. Kulitnya langsat dan bersih, berbanding terbalik dengan pakaiannya. Rambutnya yang panjang diikat ekor kuda agar tak mengganggunya saat bekerja. Lekuk tubuhnya tersembunyi di balik kaos dan celana olahraga yang satu ukuran lebih besar dari yang seharusnya.“ART? Sejak kapan Mama ganti ART?” Ketidakpercayaan Bima semata-mata hanya karena heran ada ART di rumahnya yang secantik ini. Seingatnya hanya ada Bik Sinah dan Bik Yati yang sudah cukup tua, yang ada di rumah
Adinda sedang membantu memotong sayuran ketika suara berisik terdengar dari ruang keluarga.“Kak Dindaaaa!”Hanya berselang beberapa detik Dinda merasakan kedua kakinya dipeluk erat oleh dua orang anak berseragam.“Hai, Sayang,” balas Dinda riang. Dia meninggalkan kegiatannya dan menurut saat kedua bocah itu menariknya keluar dari dapur.“Kak, tadi Tasya dapat nilai paling tinggi satu kelas,” kata anak perempuan berkuncir kuda. “Kalau Rasya nomor dua.” “Tadi pensil Rasya patah, makanya harus diraut dulu. Jadinya Rasya belum sempet ngisi soal nomor terakhir. Kalau enggak pasti Rasya bisa ngalahin Tasya,” kata anak laki-laki yang dipanggil Rasya.Anak perempuan itu, Tasya, mencibir tidak terima.“Sudah, nomor satu sama nomor dua sama-sama hebat,” kata Dinda buru-buru menengahi, kalau tidak bisa berjam-jam mereka akan terus beradu mulut.“Nanti bantuin Rasya bikin pe-er ya, Kak,” kata Rasya.“Nanti bacain cerita lagi ya, Kak,” Tasya masih tak mau kalah.Dinda hanya mengangguk mengiyakan
Setelah mencuci piring bekas makan malam biasanya tugas Dinda sudah selesai. Dia pergi ke kamarnya dan berniat menyelesaikan tugas kuliahnya. Sama seperti saat sekolah menengah, Dinda memilih kuliah di universitas terbuka yang jam kuliahnya malam hari atau Sabtu Minggu agar dia tetap bisa bekerja. Saat waktu menunjukkan pukul satu dini hari, Dinda baru menyelesaikan tugas-tugasnya. Matanya sudah berat, tetapi tenggorokannya begitu kering. Terpaksa dia keluar dan pergi ke dapur mengambil air minum.“Bisa sekalian bikinin gue makanan?”“Aahh!”Dinda berteriak karena dikejutkan oleh keberadaan Bima yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakangnya.“Mas Bima ngapain di situ? Bikin kaget saja,” keluh Dinda sambil mengusap-usap dadanya, berusaha menetralkan debaran jantung yang melonjak karena terkejut tadi.Bima mengabaikan pertanyaan Dinda dan mengulangi perintahnya. “Bikinin makanan, terus bawa ke kamar gue.”“Mau dibikinin apa, Mas?”Dinda menghela napas panjang, menyabarkan diri mengha