"Bu, Leyka berangkat ya."
Ibu tersenyum sambil membereskan meja bekas kami sarapan. Setelah itu, ia akan pergi kerumah Abay. Bukan untuk beres-beres ataupun memasak melainkan hanya untuk menemani Tante Juwita. Menemaninya mengobrol, itu merupakan permintaan Tante Juwita sendiri.
"Ibu mau dianterin Predi gak?" Usulku pada Ibu daripada ia harus naik ojek.
"Lho? Kan Predi nganterin kamu sekolah."
Aku tiba-tiba akan hal tersebut. Kedatangan Predi adalah untuk menjemputku menuju sekolah, mengapa aku justru mengusulkan hal tersebut pada Ibu seolah-olah Predi tidak akan keberatan?
Ibu tersenyum dan mengusap bahu ku pelan.
"Gakpapa, ibu bisa naik ojek. Ibu berangkat duluan ya, jangan lupa kunci pintu."
Setelah ia pergi, akupun mengunci pintu dan menunggu jemputan Predi diluar.
Bukannya Predi yang datang, tapi Abay. Abay dengan sepeda motor, entah dikemanakan mobilnya.
"Pagi Debuy."
Ia menyapaku saat sudah turun dari motor
Pulang tadi aku masih tetap naik ojek. Tidak ingin melihat ada keributan lagi yang terjadi antara Abay dan Predi.Selepas ini, kami semua berjanji akan berkumpul di rumah Abay untuk menuntaskan masalah ku dengan Tasya.Tidak lupa kubawa map berisi tanda tangan itu. Dan yang paling tidak kulupakan adalah berdo'a. Memohon kelancaran dan semoga semuanya baik-baik saja, aku tidak pernah tahu bagaimana pemikiran Tasya."Debiiii!!"Seseorang menyerukan suaraku dengan sangat lantang dari luar sana."Kayak dihutan aja sih!" Tukasku dengan ketus."Lama amat sih, mau ke TPU aja mesti dandan." Ujar nya lagi.Abay memang seperti itu. Aku dandan, salah. Aku tidak berdandan, juga salah. Hidupnya risih soal penampilanku."Lho? Kok TPU sih? Katanya ke rumah lo." Ujarku sambil masih belum menghampirinya."Ganti destination. Yuk buruan."Ia menarik paksa tanganku dan kami pergi menuju TPU dengan menggunakan sepeda motor
"Saya ingin membebaskan tahanan atas nama Lukman Wijayanto."Saat sudah sampai di kantor polisi, aku langsung menunjukan dokumen yang di bungkus map biru itu."Luman Wijayanto? Yang sudah dipenjara selama 9 tahun itu ya atas kasus perampokan perusahaan?"Aku membulatkan bola mataku sempurna saat mendengar kurun waktu Om Lukman di penjara 9 tahun yang lalu? Lalu berapa usia Tasya saat kejadian naas itu terjadi? Dan berapa usianya sekarang? Pasti sudah cukup tua. Aku tidak habis pikir pada wajah nya yang sangat awet muda itu."Maaf, siapa disini yang bernama Malik Nugraha? Beliau lah yang berhak mencabut tuntutan dan membebaskan saudara Lukman."Kami saling berbagi pandangan masing-masing sesaat sebelum aku kembali angkat bicara."Beliau telah meninggal. Sebelum meninggal, ia menitipkan sebuah surat kepada kami yang isi nya surat cabutan hukuman saudara Lukman, disertai dengan tanda tangan nya."Kuserahkan langsung surat itu pada polisi
"Disini rumah saya."Om Lukman memberhentikan kami disebuah rumah. Rumah yang bisa terbilang cukup mewah nan megah. Sayangnya, rumah ini seperti yang digambarkan Tasya tadi. Kotor, dan sangat tidak terurus.Bagian luar rumah sudah dijadikan sarang oleh Laba-Laba. Selain itu, rumput dan dedaunan liar tumbuh mekar begitu saja."Huft. Sepertinya saya akan menjadi Tukang sebentar lagi." Ujar Om Malik sambil terkekeh.Yang ia maksud adalah dirinya akan membersihkan rumah ini sendirian."Itu benar." Kataku.Aku menghampiri nya dan memegang tangannya."Tapi Om tidak sendiri."Om Lukman menatapku dengan kebingungan. Ia pasti bertanya-tanya apa maksudku itu. Tidak hanya Om Lukman, yang lainnya pun ikut menatapku."Maksudnya Ley?" Tanya Ina.Aku maju beberapa langkah kedepan hingga akhirnya aku berdiri di depan mereka."Gimana kalau kita bersihin rumah ini bersama-sama?" Ajak ku dengan penuh antusias.Bu
Kami semua berhenti di rumahku. Kejadian tadi, cukup menyita tenaga kami dan membuat kami sedikit lelah juga lapar. Dan saat ini, kami ingin memakan sesuatu.Tidak, aku tidak akan meminta Ibu memasak makanan untuk kami. Justru aku ingin mengajak nya makan di luar."Assalamualaikum, bu."Tidak ada jawaban, sepertinya Ibu sedang di dalam.."Assalamualai-""Waalaikumsalam."Ibu keluar dengan bebalutkan mukena. Kami maju beberapa langkah dan menyalami Ibu secara bergantian."Makan di luar yuk bu." Ajak ku langsung ke intinya.Ibu terlihat berpikir, setelah cukup lama berpikir barulah ia membuat sebuah keputusan."Ibu makan di rumah aja ya."Aku memanyunkan sedikit bibirku menandakan bahwa aku kecewa karena Ibu tidak ikut."Udah lah. Kalian aja ya anak muda. Ibu di rumah aja."Aku tidak memaksa Ibu. Kasian kalau ia pergi tapi dengan terpaksa. Akhirnya, kami pergi sendiri menuju sebuah restoran
Aku menata diriku, mengenakan baju seragam sekolah dan memasukan buku-buku yang akan digunakan untuk hari ini. Sebelum beranjak pergi, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa hari ini aku harus bahagia. Tidak boleh ada kesedihan apapun, tidak boleh menangis. Tidak boleh terluka karena Abay. Aku bisa mendapatkan kebahagiaan yang tidak hanya bisa diberikan oleh pria. Lewat teman, aku juga bisa bahagia. *** "Pagi Deb." Pagi-pagi sekali Abay sudah datang menjemputku. Aku tidak menyangka bahwa dirinya yang akan datang, kupikir akan Predi yang datang. Tapi tidak masalah. Siapa yang datang lebih awal, maka ia yang pergi denganku. Yang terpenting aku bisa sampai disekolah. "Bareng gue yuk." Ajaknya padaku. Aku mengangguk, tidak ingin ada penolakan pagi ini. Abay rupanya belum selesai dengan sepeda motornya, ia masih menggunakan itu. Mungkin dirinya nyaman. "Deb?" "Hmm?" "Maaf." Gumamny
"Debi?!" Tanpa sadar, ternyata Abay sudah memanggilku sedari tadi. Aku terlalu sibuk melamun hingga tidak sadar akan seruannya."Eh iya?" Ujarku gelagapan."Kenapa sih? Kok ngelamun mulu kayak nya?"Aku tersenyum, lalu dengan lantang aku nengatakan."Bay, kita udahan aja." Ujarku seperti sedang memutuskan seorang pacar."Udahan apa nya? Kan belum nyampe. Lo kebelet, terus mau berhenti di jalan?" Aku tahu bahwa Abay akan salah tangkap."Eh enggak deh."Tidak. Meski aku akan menyudahi oengorbanan dan perjuangan ku sebagai seseorang yang akan membahagiakan Abay, aku tidak boleh memberitahu nya.Sebagaimana keadaan yang memberitahu ku, aku juga akan membiarkan keadaan yang memberitahu perubahan ku.Perlahan tapi pasti, Abay pasti akan menyadari perubahan yang terjadi pada diriku. Perubahan diriku yang mulai menjauhinya.Meski aku akan berhenti mencintainya, bukan berarti aku bisa menyakitinya. Dengan menga
Pertanyaan Abay barusan seperti mesin waktu yang dapat menghentikan waktu untuk sesaat.Kami diam mematung. Ada yang melihat Abay, melihatku dan juga melihat Predi.Aku sendiri tidak habis pikir. Maksudku, jika memang benar ciri-ciri nya mirip denganku, haruskah Abay menanyakannya sekarang? Kita memiliki waktu yang banyak untuk bersama saat di luar sekolah nanti. Abay bisa mengatakan wakru twrsebut.Kecuali ada sesuatu yang ia maksud dari pertanyaannya itu."Kenapa diam? Pertanyaannya cukup sulit ya?" Tanya Abay lagi dengan bertambah lantang."Ekhem. Maksud Anda Debi yang mana? Siapa? Ada begitu banyak nama Debi di muka bumi ini." Tanya Predi."Nama lengkapnya adalah Leyka Mutiara Anatasya, nama panggilannya Debi. Gadis 17 tahun yang kini sedang duduk di samping saya."Mata Abay tertuju padaku, begitupun mataku. Aku masih menatapnya tidak percaya."Oh itu haha. Bagaimana Anda bisa mengira itu dia?" Tanya Predi sambil sala
"Hallo guys."Impianku mendapatkan pria dan cinta yang kuinginkan tidak terwujud setidaknya aku tetap bahagia.Aku menghampiri Ina, Daffa, Abay yang saat ini sedang duduk di satu kursi di kantin sana."Heboh banget lu, pake guys guy segalanya." Tukas Ina, ia memang sewot kalau aku sewot."Woiya dong. Kalau orang lagi happy kan heboh."ujarku.Tanpa dipersilahkan, aku langsung duduk dengan begitu anggun dan mengibaskan rambut ku sehingga terbang ke belakang."Tuh rambut lu terbang, awas gak balik lagi." Ujar Daffa, sama nyinyirnya dengan Ina."Iya dong. Rambut gue terbang gara-gara hati gue terbang." Ujar ku sambil cengengesan dan tersenyum sangat lebar.Bagaimana? Langkah awal ku berpura-pura hebat kan? Orang mana yang saat ini tahu bahwa aku sedang sedih? Tidak ada kan?"Bu Susum, gehu 10, nasi goreng satu piring pake acar 3 kantong terus risol 10 sambal nya jangan lupa sesendok ya terus bakso 3!"Aku memesa