(Davina, dengan apa aku harus menebus perasaan bersalah ini? Aku berada di ujung kebimbangan. Faiza dan Fathan sedang menghabiskan waktu di Kanada tanpa kamu tahu. Faiza sudah menyukai Fathan sejak kalian berdua bertemu. Dia mengakui itu kepadaku tapi mulutku terpaksa bungkam. Ghina, Arumi, Faiza. Mereka bertiga sama saja! Davina, terkadang aku ingin mengakhiri hidup seperti dulu.)* "Faiza, Anda belum menjawab pertanyaan saya. Apakah Anda yang mengusulkan kepada Pak Fathan agar menyingkirkan Lulu karena terlalu banyak tahu rahasia kalian, terutama saat kalian liburan ke Kanada?"Faiza mendengkus. Pertanyaan Bripda Estu Saragih terasa sangat memojokkan dirinya. Iya memang Lulu tahu semuanya, karena dirinya juga tidak berkelit tentang hubungannya dengan Fathan. Dia justru marah kenapa Fathan bisa nekat dan ceroboh mempercayai Lulu, teman yang sengaja dikirim Davina ke Fathan Corp untuk menjadi mata-mata.* Air Terjun Niagara menjadi tujuan mereka berdua sebelum mereka kembali ke tana
(Davina, saat ini aku benar-benar malu. Kamu sudah sangat baik padaku, tapi apa yang kulakukan padamu membuatku tak ingin menatap dunia lagi. Ingin rasanya aku mengakhiri hidup seperti dulu saat laki-laki bajingan itu menghancurkan hidupku. Tidak. Hidupku sudah hancur dari sebelum itu. Aku sudah menceritakan semuanya kepadamu, bukan? Davina, aku harus bagaimana?)* "Buang bayi itu atau aku bunuh dia!" teriak Lulu kepada Bidan Danarsih.Bidan Danarsih segera memberikan isyarat kepada asistennya untuk menjauhkan bayi laki-laki yang baru lahir. Butuh waktu tujuh bulan bagi Bidan Danarsih meyakinkan Lulu agar dia tetap melanjutkan kehamilannya. Kondisi kejiwaan gadis delapan belas tahun itu belum siap untuk punya anak. Namun, Bidan Danarsih sudah terbiasa menghadapi para ibu muda yang syok menyambut kehadiran bayi yang tak diinginkan.Lulu masih terbaring di ranjang seusai melahirkan. Rasa nyeri di perutnya menghebat setelah proses melahirkan yang panjang. Tadinya dia berpikir rasa saki
(Davina, apakah kamu masih mengingat pertemuan kita setelah sekian lama aku menghilang dari kalian? Kamu menemukan aku di kafe dan mengundangku datang bertemu kalian. Saat itu aku merasa sangat tidak nyaman. Aku melihat kalian semua sudah berubah lebih cantik dan dewasa. Apakah hanya perasaanku saja yang saat itu bilang kalian semua seperti sedang menyimpan sesuatu.) *Bidan Danarsih segera membawa Lulu ke rumah sakit. Beruntung nyawanya masih bisa diselamatkan. Tiga hari kemudian Lulu diperbolehkan pulang. "Apakah bayi saya sudah mati?" tanya Lulu ketika mereka dalam perjalanan pulang."Apa maksudmu, Lulu?" Bidan Danarsih memandang iba Lulu yang wajahnya masih terlihat pucat paci."Apakah bayi ini sudah tidak ada?" tanya Lulu sembari memegang perutnya."Kamu ... jadi benar kamu hamil?" Bidan Danarsih tak bisa menutupi rasa terkejutnya. Mereka hidup bertetangga. Dulu nenek Lulu kerap mengiriminya makanan. Setelah neneknya meninggal, Lulu tinggal seorang diri di rumah itu. Bidan Da
(Davina, apakah kamu tahu bahwa kamu adalah orang yang paling baik yang pernah kukenal? Aku berbohong padamu, tapi kamu malah mendukungku. Aku berselingkuh dengan suamimu tapi kamu mempercayaiku. Ribuan kata maaf tidak akan pernah cukup menebus dosa ini. Akulah pagar itu. Pagar yang memakan tanaman. Bukan hanya aku, kami semua adalah pagar laknat yang sekarang bingung harus bersikap bagaimana kepadamu.]*"Lu, kamu baik-baik saja, kan? Aku perhatikan dari tadi kamu banyak melamun." Davina mendekatkan wajahnya ke arah Lulu."Oh, ehm, aku oke. Aku sedang mengagumi kalian yang sekarang berubah semua. Makin cantik, sukses dan matang. Aku jadi minder berteman sama kalian," ujar Lulu dengan raut muka mendung. "Hei, kamu ngomong apa? Besok aku akan mengajakmu ke suatu tempat, jam sembilan aku jemput, be ready, oke?""Emang kamu mau ajak aku kemana?" tanya Lulu tak bersemangat. Dia merasa tak pantas bergaul dengan kawan-kawannya Geng Cokelat.Davina hanya mengedipkan matanya. Wajar jika Lu
(Davina, kalau ada piala Oscar untuk best actress maka teman-teman kita. Ghina, Faiza dan Arumi layak mendapatkan itu. Di depanmu mereka seolah-seolah teman, tetapi di belakang mereka berpesta dengan suamimu. Aku tak sanggup lagi menjadi bagian dari mereka. Aku memilih mengakhiri semua ini.]*Lulu kembali ke kantor setelah makan siang dengan Davina. Pikirannya berkecamuk tak keruan. Pertemuannya dengan istri bos yang selalu baik kepadanya selalu menyisakan sesal yang perlahan menggerus pertahanannya. Pada satu titik di mana dia sudah tak mampu menekan rasa bersalah, perempuan berkulit sawo matang itu memutuskan untuk membicarakan hubungannya dengan Fathan."Pak, saya mau bicara." Lulu menutup pintu ruangan Fathan. Pria yang disapa sedang duduk serius menatap laptopnya. "Hai, Lu, ada apa? Silakan duduk." Mereka memang sepakat bersikap resmi saat berada di kantor."Saya mau membicarakan masalah pribadi.""Kenapa? Apakah bonus yang aku berikan kurang?" Lulu terkesiap sejenak, tak meny
(Davina, aku minta maaf kemarin belum sempat berpamitan. Aku harus pergi jauh untuk menyelamatkan Keenan supaya kami tak terpisah lagi. Aku sudah muak dengan semuanya. Aku pergi Vi. Maafkan semua kesalahanku. Terima kasih atas rasa sayangmu yang begitu besar kepadaku.)* Lulu turun dari taksi dengan panik. Dia berlari membuka pintu rumah dan mendapati Rizal sedang merokok di ruang tamu. "Lo gila, ya? Udah gue bilangin berapa kali jangan ngerokok di dalam rumah!" teriaknya berang. Berkali-kali Lulu mengingatkan Rizal bahwa asap rokok bisa membahayakan pernafasan Keenan. Rizal hanya melengos sambil menaikkan kakinya ke atas meja. Lulu berlari ke kamar Keenan dan meraba dahinya. Suhu tubuh Keenan tidak panas. Ini pasti ulah Rizal si pembohong itu sengaja menelepon dan bilang bahwa Keenan sakit. "Oh, syukurlah," bisik Lulu sambil mengusap keningnya sendiri. Ibu mana pun pasti akan panik mendengar buah hatinya sakit. Tega sekali Rizal mengabarkan berita yang membuatnya panik. "Mana k
(Davina, jika terjadi sesuatu padaku tolong jaga Keenan untukku. Bidan Danarsih bisa menjadi Ibu yang baik. Tetapi kau tetap harus mengawasi dan menjadi pelindung Keenan. Aku percaya padamu, Vi. Aku capek jadi sapi perahan Rizal. Do'akan kami baik-baik saja. Kamu masih ingat pantai tempat kita dulu sering bolos dan menghabiskan waktu di sana? Aku rindu pantai itu, aku rindu menghabiskan waktu berdua bersamamu.)*"Vi, secepatnya aku akan kasih kabar jika sampai di tempat baru. Makasih banyak karena kamu sudah bantuin aku sejauh ini. Kamu sahabat yang baik, sangat baik.""Hei, apa-apaan ini? Sepertinya kamu akan pergi jauh. No, tidak akan bisa. Di manapun kamu tinggal nanti, aku pasti akan mencarimu. Jangan pernah berharap lepas dari aku lagi."Davina memeluk Lulu sekali lagi. Lulu tak bisa lagi menahan butiran bening di sudut matanya. Sungguh perasaannya bercampur aduk. Dia sangat menyayangi Davina, hingga pengkhianatannya terasa mustahil untuk dimaafkan. Dekat dengan Davina membuatnya
"Semoga bukti ini menjadi bisa menjadi petunjuk bagi pihak kepolisian untuk segera meringkus Rizal. Saya sangat yakin dia pelakunya. Rizal yang membunuh Lulu." Davina tak kuasa menahan kesedihannya di depan Bripda Estu Saragih. Dia menyerahkan file catatan Lulu yang sudah dicopy pada sebuah flashdish juga surat pengunduran diri yang belum sempat dia berikan kepada Fathan."Terima kasih Ibu Davina, informasi ini sangat berharga bagi kami. Kalau saya perhatikan pria di video yang dikirimkan korban kepada Faiza, ciri fisiknya memang mirip dengan Rizal. Ada beberapa foto Rizal di laptop korban. Kami akan mengabari Anda begitu kami bisa meringkus pelakunya.""Terima kasih Bu Estu. Saya permisi. Semoga pembunuh itu membusuk di penjara." Davina meluapkan amarahnya. Sekarang sudah jelas bahwa dia, Fathan dan sahabat-sahabatnya terbebas dari tuduhan sebagai pembunuh Lulu. Davina kembali ke apartemennya untuk mengemasi barang-barangnya. Keesokan harinya Davina mendapat telepon dari Bripda Es