Share

Demi Kehidupan!

Tentu saja Vanesha menjadi tak tenang mengingat apa yang terjadi pada dirinya semalam. Di depan cermin ia menatap bayang dirinya. Perlahan meraba permukaan bibirnya yang kering. Lalu mengoleskan lipbalm pada permukaan itu.

"Merubah skrip?! Yang benar saja!" gumamnya.

Seperti mimpi baginya mengingat bagaimana tadi malam seorang bintang besar seperti Vander mengecup bibirnya. Entah apa ia harus bersyukur karena kecupan itu diberikan oleh pria tampan nan kaya, atau merasa terpuruk karena masa depannya dipertaruhkan demi uang.

"Hh! Pasti bisa!" gumamnya kemudian sembari menatap wajahnya di depan cermin. "Apa yang aku lakukan adalah untuk diriku! Untuk melalui kesulitan yang selama ini membuatku tak bisa hidup dengan tenang!"

Vanesha beranjak dari tempatnya. Ia mengepak kembali beberapa baju yang ia keluarkan dari lemarinya ke dalam koper. Karena kesepakatan itu mengharuskan dirinya menuruti ketentuan yang Vander berikan. Vanesha harus pindah dari tempat kecil itu ke sebuah apartement yang sudah Vander persiapkan.

Usai mengepak semua barangnya, Vanesha meraih jaket hitam dan sebuah topi berwarna senada miliknya. Ia mencoba menyembunyikan wajahnya yang sudah sejak tadi malam tersebar di media sosial dan berbagai acara di televisi sebagai sosok wanita cantik yang berkencan dengan seorang Vander Anderson.

Dan ketika ia keluar dari tempat huninya itu, ia sudah disambut dengan sosok Hesti. Wanita muda itu menyeringai lebar.

"Tak kusangka kawanku yang miskin berjodoh dengan lajang lapuk yang tampan nan kaya!" goda Hesti sembari merangkul lengan Vanesha. "Kalau begitu, aku harus mengantarmu sampai ke mobil sebelum kita sulit untuk bertemu!"

Vanesha mendadak melepas rengkuhan sahabatnya itu. Lalu menatap mata Hesti dengan pandangan sinis. Seketika membuat Hesti perlahan tersadar dengan keadaannya.

"A-aku pikir, seorang Vander tidak buruk untuk me-melakukan itu dan..."

"Itu ciuman pertamaku! Dan aku memberikannya pada pria yang mengontrakku sebagai istrinya!" potong Vanesha.

Hesti mencoba merayu sahabatnya itu. Ia kembali merengkuh lengan Vanesha lalu menyandarkan kepala di pundaknya.

"Bersabarlah, Nes! Ingat, semua ini demi kehidupanmu!"

Vanesha menghela napas. Lalu mengangguk.

"Kau benar!" tukasnya yang seketika membuat Hesti tersenyum. "Demi kehidupanku! Kalau begitu, sekalian kau bawakan koperku sampai ke mobil!" imbuhnya lalu melempar koper kecil miliknya itu yang dengan sigap ditangkap oleh Hesti.

"Kecil sekali?! Apa yang ada di dalam sini sudah seluruhnya?" Hesti heran ketika melihat ukuran mini koper yang ia tangkap dari Vanesha.

"Apa menurutmu, wanita miskin seperti aku memiliki banyak pakaian? Bahkan pakaian itu pun barang bekas yang aku beli secara online dengan harga melarat!"

Hesti hanya menggeleng pelan sambil menahan tawa mendengar celetukan ringan Vanesha. Ia mengimbangi langkah Vanesha, mengantar sahabatnya itu sampai ke depan. Lalu tersenyum lega ketika seorang sopir membiarkan Vanesha masuk ke dalam mobil itu setelah meletakkan koper Vanesha ke bagasi mobil mewah mereka.

Ketika pintu mobil hendak ditutup, Hesti mencegahnya. Ia meraih tangan sahabatnya itu, menatapnya dengan senyuman.

"Meski ini pekerjaan, berjanjilah padaku jika kau menikmatinya untuk kehidupanmu yang lebih tenang, Kawan! Dan jangan lupa menelponku jika ada hal yang tak bisa kau bagi dengan Tuan Vander!" tukas Hesti.

Vanesha menepuk pelan punggung tangan Hesti. Lalu tersenyum serta menganggukkan kepalanya.

"Aku janji, Hes!" jawabnya. "Terimakasih karena sudah sudi menjadi kawanku sampai di detik ini!"

Hesti melepas kepergian Vanesha dengan senyuman. Melambaikan tangannya dan tak berhenti tersenyum meski tangis membuat pipinya basah. Sementara Vanesha hanya bisa menghela napas. Ia mencoba melawan rasa haru usai mendengar perkataan sahabatnya. Ia juga mencoba menenangkan hatinya yang mulai gugup karena sesaat lagi seorang Vander akan merubah cerita hidupnya.

Vanesha merelakan hatinya untuk sebuah kontrak yang tak biasa. Mencoba tenang dan tak memikirkan masa depannya jika hal buruk terjadi setelah kontrak berakhir di kemudian hari. Kegelisahan yang kian merajam benaknya itu membuat Vanesha berulang kali meneguk air mineral yang sudah disediakan di samping tempat duduknya.

"Bukankah harusnya berbelok setelah lampu merah tadi, Pak?" protes Vanesha ketika menyadari rute yang diambil oleh sang sopir adalah arah berlawanan dari sebuah hunian yang sudah dijelaskan oleh Vander melalui pesan.

"Tuan Vander berkata bahwa Nyonya harus makan siang dulu sebelum pulang ke rumah." jelas sang sopir sambil terus fokus pada kemudi di tangannya.

'Lelaki itu apakah juga berakting di depan sopirnya?' gumam Vanesha dalam hati usai melihat sikap santun sang sopir saat berucap padanya.

Hanya diam yang bisa Vanesha di sela pertanyaan di dalam pikirannya. Tak banyak yang bisa ia tanyakan lagi pada sang sopir hingga tak lama mobil mewah itu menghentikan lajunya. Mobil itu berhenti di depan sebuah restoran mewah yang anehnya nampak tak seorang pun pengunjung di sana.

Dengan wajah bingung Vanesha turun dari mobil setelah sopir membuka pintu untuknya. Sejenak ia melihat sekeliling. Memperhatikan bagaimana tempat itu tanpa seorang atau sebuah kendaraan di sekitarnya selain mobil yang ia naiki.

"Tuan Vander sudah memesannya khusus untuk Nyona agar tidak ada yang mengganggu kenyamanan Nyonya untuk sarapan." jelas sopir itu ketika menyadari betapa kebingungannya Vanesha.

"Ah, baiklah!"

Maka Vanesha pun melanjutkan langkahnya. Ia masuk ke dalam restoran mewah yang sudah menyambut kedatangannya dengan dua orang pelayan di depan pintu. Mereka mengantar Vanesha ke mejanya, memperlakukannya layaknya seorang ratu.

"Terimakasih..." tukas Vanesha yang disambut dengan senyuman oleh para pelayan yang melayaninya kala itu.

Ia duduk di kursi yang sudah dipersiapkan. Lalu tak lama datang beberapa menu yang tentu saja membuat kedua matanya berbinar.

"Untuk pertama kalinya aku bisa sarapan dengan tenang..." gumamnya lalu mulai menyantap semua makanan yang ada di hadapannya.

Tak peduli dengan pandangan beberapa pelayan, Vanesha tanpa ragu menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri, maju serta mundur kembali untuk mengambil makanan yang disukainya. Ia menyantap makanan itu sambil berulang kali menggerak-kerakkan kepalanya tanda senang. Mengabaikan pandangan pelayan yang sedang memperhatikan bagaimana cara makannya.

"Hh, apa kau berniat menghancurkan reputasi kakakku?!"

Hingga sebuah suara mengejutkannya. Suara seorang wanita dengan potongan rambut sebahu dan pakaian branded ternama yang melekat di tubuhnya.

Vanesha terpaku. Dengan paha ayam yang masih ada di mulutnya itu ia menatap wanita asing di hadapannya.

Wanita asing itu melipat kedua tangannya di depan dada. Memperhatikan gaya Vanesha yang tentu saja biasa-biasa saja.

"Bagaimana mungkin kakakku akan menikahi wanita bergaya tarzan seperti ini? Ckckckckck!" gumam wanita itu kemudian ikut duduk di hadapan Vanesha.

Perlahan Vanesha menyingkirkan paha ayam di mulutnya, setengah tersenyum menatap wanita asing di hadapannya.

"Kau ini adiknya Tuan Vander?" tanya Vanesha sedikit gugup.

Wanita mengangguk.

"Velove Anderson! Satu-satunya saudara Vander yang akan menentang rencana pernikahan kalian!"

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status