Melihat Airin dan Raihan keluar dari kamar setelah berjam-jam, menimbulkan dua perasaan yang bertolak belakang dalam hati Bu Dewi, Ibunda Raihan. Satu sisi ia lega, putranya tidak melakukan hal buruk, namun di sisi lain, ia juga khawatir.
Setelah ada celetukan kerabatnya untuk menikahkan mereka berdua, dia khawatir. Khawatir karena dalam keputusan hatinya yang paling dalam, ia setuju dengan kerabatnya itu, tapi kondisi saat ini juga begitu mengkhawatirkannya.
Tapi .. Jika Airin jauh dari Raihan, Bu Dewi tidak tahu hal apa yang akan terjadi nanti karena Raihan jelas akan menjadi penyendiri. Dia tidak tahu harus mengandalkan siapa lagi, karena hingga saat ini, hanya Airin yang dapat diandalkan untuk mempercayakan Raihan padanya.
Dia memutuskan untuk keluar, mengikuti Raihan dan Airin.
Saat sampai di teras balkon, Airin meninggalkan Raihan sendirian, mematung di sana. Bu Dewi mengikutinya yang ternyata ia ke dapur.
Saat di dapur, Bu Dewi hanya bisa menatap Airin tanpa bisa menanyakan apapun. Mereka saling berpandangan. Dengan yang satu pandangannya sembab khawatir, dan satunya lagi kosong tanpa ada harapan.
Dalam diam, hanya dengan pandangan mata, seolah-olah masing-masing dari mereka berkata ‘Tidak ada sesuatu yang sedang baik-baik saja’. Semua rencana berantakan, harapan tiba-tiba hilang, dan parahnya lagi, sama sekali tidak terlihat adanya jalan yang baik untuk mereka semua ke depan.
Siang yang cerah seolah redup karena keputus asaan mereka. Pada akhirnya, keduanya hanya bisa pasrah atas takdir yang datang kepada mereka.
Mereka tau, takdir seperti ini bukan secara tiba-tiba untuk mereka. Takdirnya sudah ditetapkan, datangnya pada kita yang kadang membuat putus harapan.
Bu Dewi menghampiri Airin yang sedang meneguk segelas air untuk menenangkan dirinya. Pasalnya ia tak bisa berbuat apapun kecuali merangkul pundaknya erat.
“Gimana?”
“Dia hampir bunuh diri.”
Bu Dewi sedikit terkejut, ternyata itu alasan kenapa banyak bercecer darah di kamar tadi. Hari pertama saja sudah berniat menghabisi nyawa, bagaimana kedepannya nanti? Tiba-tiba kepalanya pusing.
Dia memandang Airin yang tampilannya sudah awut-awutan. Riasan yang bergelantungan di rambut yang sudah semrawut, make up yang sudah tak berbentuk karena tangisan, dan baju yang sudah tidak ada rapi-rapinya.
Bu Dewi melihat tangan Airin yang merah. Saat gadis itu berniat mencuci gelas yang digunakan barusan, Airin tiba-tiba menarik tangannya setelah tersiram air wastafel.
“Akh..” Dia memegang telapak tangan kanan nya.
Mengetahui ternyata noda merah itu adalah darah yang mengering, Bu Dewi terbelalak dan segera mengambil kotak P3k yang ada di dalam rak dapur.
Dilihat dari lukanya, sangat jelas ini adalah luka sayatan pisau. Tidak .. Bukan sayatan, ini lebih seperti kamu sengaja menancapkan telapak tanganmu di atas pisau tajam.
Bu Dewi menekan telapak tangan Airin.
“Aakkhh..” Desis Airin lebih nyaring.
Lukanya cukup dalam. Pikir Bu Dewi. Terlihat bagaimana Airin meringis begitu kesakitan hingga secara reflek mengeluarkan air mata.
Ibu Raihan melihat wajah gadis itu sendu, dia pikir, sudah tidak perlu diragukan lagi betapa Airin bisa melakukan apapun untuk kebaikan Raihan. Tapi di lain sisi dia juga bingung apakah benar dengan menyakiti dirinya sendiri seperti ini?
Diambilnya tangan Airin lagi, dibersihkan, lalu diperban seadanya.
“Kamu nyegah Raihan mati, tapi kamu sendiri mau mati.” Bu Dewi mulai membuka pembicaraan.
Airin tidak menjawab. Di pikirannya saat ini, dia kembali membayangkan bagaimana jika tadi Raihan benar-benar mati di depan matanya.
Seperti Zahra tadi pagi.
Pada akhirnya Airin hanya menangis. Berusaha untuk tidak mengotori pikirannya di sela-sela bahan memperburuk pikirannya saat ini.
Sementara Bu Dewi, dalam pikirannya sudah terpusat satu tujuan penuh yang cukup yakin akan ia sampaikan pada Airin.
“Kenapa kamu sampe bikin tangan kamu hampir putus gini, Rin?”
“Raihan tadi udah masang persiapan buat potong nadi dihadapan Airin, Ma.” Airin lesu.
“You.. too much u’ve do for him.” Bu Dewi mulai berdesis, mengatakan kata-kata yang membuat Airin semakin malas berlama-lama di sini.
“Udah, ma. Itu udah dulu banget, jangan dibahas lagi.” Airin mengalihkan pandangan menuju jendela. Kalimat yang akan dikatakan Bu Dewi setelah ini hanya akan membuatnya mengingat masa lalu yang mungkin terlalu menyakitkan untuk Raihan, daa itu jelas akan membuat Bu Dewi kembali mengingatnya juga.
“Gimana caranya mama bales kebaikan kamu selama ini, Rin?”
“Ma..”
Airin lelah.
Tolong jangan bahas hal itu dulu.
“Kalo kamu gak ada juga mungkin Raihan 10 tahun yang lalu udah nggak sama mama.” Bu Dewi mulai menangis.
“Mama gak bisa jaga dia dengan baik, mama gak tau gimana kalo nggak ada kamu, Rin.”
Airin segera memeluknya. Dia terlalu sering mengungkit masa-masa dimana dia akan menganggap dirinya tidak becus menjadi seorang ibu untuk Raihan.
15 tahun yang lalu, di saat Raihan dan Airin masih duduk di bangku SMP, menjadi awal di mana Raihan menemukan titik balik hidupnya setelah kelam yang panjang ia pendam sendirian.
Bu Dewi masih mengingat betul bagaimana cerobohnya ia saat Raihan hampir celaka, tapi dirinya masih sibuk bekerja dan tidak memberi perhatian lebih kepada putranya.
Masih terngiang jelas bagaimana berhari-hari ia bisa-bisanya tidak menerima kabar kehilangan anaknya hanya karena pekerjaan yang katanya untuk menghidupi keluarga.
Karena kejadian itu, Bu Dewi terus menerus merasa bersalah dan menyalahkan diri karena tidak bisa menjaga putranya dengan baik. Bahkan sampai putranya sembuh total seperti sebelum kejadian malam ini.
Mungkin setelah melihat darah bercucuran dan putranya yang tantrum tadi, ia kembali teringat pada masa kelam hari-hari itu.
Ia mungkin takut malam-malam gelap kembali mencekam hidupnya yang dipenuhi rasa bersalah, sehingga ia tidak berani menghadapi putranya secara langsung.
Melihat wanita muda di depannya yang menjadi saksi segala ketakutannya sekaligus menjadi orang yang selalu ada untuk menyelesaikannya,
…bahkan termasuk hari ini juga, sepertinya ia sudah yakin tentang apa yang harus diungkapkannya sudah di ujung bibir.
“Rin..” Panggil Bu Dewi serius.
Airin langsung menolehkan wajahnya kepada Ibu dari sahabatnya itu, menanti apa yang akan ia katakan selanjutnya.
“Kamu yang bakal jadi pengantinnya Raihan.”
“Raihan bukan orang yang baru kenal kemarin sore, tapi juga tidak kamu siapkan untuk hidup bersama dia selamanya sebelum ini. Tapi kami, tidak akan menanyakan kenapa kamu memilih keputusan ini” Rabu, 16 Juni 2021, Rumah keluarga Raihan, Puncak. “Kamu yang bakal jadi pengantinnya Raihan.” Airin menatap ibu Raihan makin serius sekaligus terkejut. “Apa maksud Mama?” “Acara pernikahannya nggak jadi batal hari ini. Cuma pengantinnya yang diganti.” Airin mengerutkan kening, menyatukan alisnya. Wajar saja, siapa yang tidak terkejut dengan kalimat itu? Sahabatnya baru saja kehilangan calon istri dan batal menikah, tiba
Kamis, 17 Juni 2021, Rumah keluarga Raihan, Puncak. Airin membuka matanya berat. Dilihat samping ranjangnya kosong dan suara shower kamar mandi terdengar kencang, mungkin Raihan di sana. Dia beranjak duduk, sadar bahwa dirinya tak memakai apapun, Airin mengeratkan selimut, memutari tubuhnya. Ia bangkit mencari bajunya yang berserakan di lantai untuk dipakainya lagi. Belum selesai memungut, tiba-tiba saja Raihan keluar dari kamar mandi hanya dengan memakai handuk berwarna putih melingkar menutupi pinggang. Dia dan Airin sama-sama terkejut saat melihat satu sama lain. Lalu berakhir canggung setelah Airin reflek mengalihkan pandangan sesaat melihat ke arah badan Raihan yang atletis sedang terbuka jela
Kamis, 17 Juni 2021, lt.17 gedung kantor bersama, ruangan Consultant Engineering, Airin Wijaya.Airin hanya diam menatap pemandangan gedung-gedung tinggi dari jendela kantornya pada pagi hari menjelang siang ini. Sejak keluar dari rumah Raihan tadi pagi, yang harus melalui 2 jam perjalanan naik turun bukit menuju apartemennya, hingga perjalanan menuju kantor tempat ia bekerja, pikirannya hanya mengarah pada satu hal,“Seberapa rendah posisinya saat ini?”Pagi ini, sebenarnya bisa saja dia tidak pergi ke kantor karena tidak ada hal mendesak yang harus diurus secara langsung. Tapi juga sangat tidak menyenangkan jika Raihan kesanan nantinya. Kantor di lantai 17 ini adalah satu-satunya tempat dimana
Jum’at, 18 Juni 2021Meja makan rumah Raihan yang terletak di dataran tinggi dan bersebelahan dengan kebun teh keluarga itu terlihat penuh dengan perintilan soto. Raihan yang baru datang dan melihat makanan itu tiba-tiba teringat pada Airin. Entah dimana wanita itu berada sekarang.“Kamu mu ngurus berkas nikah kapan? Nggak baik ditunda terus meskipun sah agama.” Bu Dewi bertanya pada Raihan.“Hari ini, ma.” Spontan saja ia menjawab, karena ia membatalkan cuti dan akan mulai masuk kerja esok hari. Tidak ada perbincangan lagi, Raihan mengetik pesan singkat pada Airin.Hari ini ke kantor sipil&m
“Percuma saja menikah, jika mereka sama-sama tidak bahagia.”Kesalahpahaman sudah tidak lagi dapat dicegah diantara Raihan dan Airin. Saat sampai di rumah, Raihan melanjutkan untuk tidak terlalu memperdulikan Airin sehingga membuat wanita itu makin salah paham.Pintu kamar ditutup begitu saja dengan keras di depan Airin tanpa mempersilahkannya masuk terlebih dahulu. Hl itu sukses membuat Airin berpikir keras mengulang kejadian sehari ini, apakah dia ada kesalahan?Suasana rumah sepi dan hari sudah gelap. Badan Airin benar-benar meminta untuk diistirahatkan tapi masih banyak masalah yang harus dia hadapi sekarang.Dia mengurungkan diri masuk ke kamar dan melangkahkan kakinya ke dapur. Sejenak meluruskan punggung dan meneguk beberapa tegukan air yang melegakan te
“Rasa yang ia miliki dengan Airin berbeda. Rasa aman, lega, dan tenang melangkah ke depan, sebagai sahabat yang selalu ada, belum dimiliki pada diri Zahra.”Pasangan muda yang baru saja ‘berbaikan’ kemarin itu sibuk menata perabot yang baru datang dari mobil pick up di depan rumah mereka. Candaan dan saling melempar godaan tak henti keluar dari mulut mereka.Sungguh begitu beruntung jika diberi kesempatan untuk hidup bersama dengan orang yang sudah lama kita kenal. Ada banyak yang sudah kita ketahui tentang orang tersebut, dan pula banyak alasan untuk memahami sifatnya yang membuat kita cepat luluh.Situasi yang sama terjadi pada Raihan dan Airin.
Rumah baru Airin dan Raihan, atau lebih tepatnya adalah rumah yang sebelumnya disiapkan Raihan untuknya dan Zahra, terletak agak jauh dari rumah orang tua Raihan, tapi lebih dekat ke tempat kerja mereka.Hanya perlu berjalan kaki melewati 2 lampu merah untuk sampai ke tempat kerja Raihan, dan satu kali naik metromini ke tempat kerja Airin. Memang, rumah ini terletak di perumahan elit yang rimbun di tengah kota metropolitan.Mobil bisa langsung masuk ke depan lobi dan menurunkan penumpang tepat di depan teras yang bernuansa warm white itu. Setelah insiden sofa tadi siang, Raihan malas membangkitkan dirinya untuk beraktivitas. Dia lebih suka seperti saat ini, berbaring, melihat Airin mondar-mandiri di depannya. Apalagi ia sedang dicampakkan, maka makin semangat ia mencari
Sinar matahari pagi mencoba masuk di sela-sela kelambu yang masih tertutup rapat. Mencoba mengingatkan dua insan yang saling berangkulan di atas ranjang bertutup selimut warna soft blue itu agar segera bangun dan memulai hari mereka.Tapi apalah daya, tidak ada satupun dari mereka yang berkutik atas peringatan mentari pagi. Wajar saja, mungkin mereka kelelahan oleh aktivitas yang seharian tanpa henti di kemarin hari. Pagi hingga petang, Raihan dan Airin disibukkan dengan urusan perpindahan rumah, perabot, hingga mengunjungi orang-orang penting di komplek perumahan mereka untuk sekedar bertegur sapa.Bukan dengan maksud tertentu, hanya saja agar mereka bisa full seharian tidur dan berbaring