“Mbak ini uangnya,” ucap seorang wanita menyerahkan uang pada Elya. Elya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Gadis itu menerima uang dari staf di toko perhiasan. Elya menghitungnya cepat, senyum manis mengembang pada gadis itu. Untungnya harga emas sedang naik, dan dia bisa mendapatkan lebih banyak dari yang ia kira. Jam tangan juga sudah ia jual dan menghasilkan uang.Seorang perempuan mengerutkan dahinya tatkala melihat seorang gadis kecil menghitung uang dengan senyum mengembang di wajahnya. Perempuan yang baru membeli gelang itu mendekati gadis yang disukai anaknya.“Elya,” panggil Putri membuat Elya terkesiap. Elya menatap seorang perempuan berdiri di hadapannya, gadis itu mengulurkan tangannya pada Bu Putri, menyalaminya sebagai bentuk sopan santun.“Bu Putri,” panggil Elya.“Kamu menjual apa?” tanya Bu Putri sembari menyambut uluran tangan Elya. Elya mencium tangan Bu Putri dengan sopan.“Eh itu, Bu. Jual kalung sama anting,” jawab Elya. Bu Putri melihat penampilan Elya dari
Elya menatap mangkuk bakso yang sangat banyak. Di kedai bakso yang kecil itu pelanggan sangat ramai, tetapi hanya ada Mas Bima yang melayani pembeli. Dengan semangat Elya mencuci semua mangkuk-mangkuk dengan cekatan. Untuk Elya yang sering melakukan pekerjaan serabutan, hal seperti ini tidaklah sulit untuk Elya. Sesekali Elya akan menyeka keningnya. Perut Elya terus berbunyi karena lapar, tadi siang ia gagal makan karena Bariqi yang menyebalkan, saat bersama Bu Putri pun ia tidak menghabiskan sotonya. Kini perutnya keroncongan, tetapi gadis itu tidak mempedulikan suara perutnya. Elya harus menyelesaikan pekerjaannya karena pelanggan terus berdatangan sedangkan mangkuk sudah habis.Mas Bima datang mengambil mangkuk yang sudah dikeringkan Elya, pria itu tersenyum kecil melihat Elya yang semangat bekerja. Bima menggelengkan kepalanya pelan, ia sangat sulit mencari tukang cuci, tetapi hari ini keberuntungan ada di pihaknya saat seorang gadis datang menawarkan diri dengan semangat.Elya mu
Setelah selesai makan, Elya kembali melayani pelanggan yang kembali berdatangan. Bima mencuri-curi pandang ke arah Elya, menurut Bima, Elya sangat hiperaktif dan tidak ada capek-capeknya. Dari awal datang sampai sudah menjelang malam, gadis itu tidak mengeluh lelah sedikit pun dan tetap ramah pada pelanggannya. Hingga waktu sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam dan bakso sudah habis. Bima segera memberesi peralatannya sembari menunggu orang-orang selesai makan.“Elya, kalau boleh tahu, kamu asli orang mana?” tanya Bima sembari membereskan mangkuk-mangkuknya. Elya yang turut membantu Bima pun menolehkan kepalanya.“Asli Tulungagung, Mas. Tahu kan kota itu? Kota yang khas dengan kopinya. Kalau aku pulang kampung, aku bawain deh kopi khas Tulungagung, biar Mas bima lebih semangat buat baksonya,” ujar Elya.“Aku sering ke kota itu untuk mengirim brokoli. Kapan-kapan kalau aku ke Tulungagung dan kamu ada di sana, aku akan mampir ke rumahmu.”“Boleh, nanti aku ajak jalan-jalan. Ba
Malam ini kota Batu diguyur hujan deras, Bariqi duduk termenung di balkon kamarnya. Di tangannya menimang-nimang hpnya, pikiran Bariqi berkecamuk. Sejak bertemu dengan Elya tadi, pikiran Bariqi tidak bisa tenang. Bariqi menatap ranjangnya, di sana ada uang tiga juta lebih yang Elya berikan padanya. Selama ini Bariqi tahu keadaan perekonomian Elya yang sulit, tetapi kini Elya memberinya uang yang tidak sedikit.“Bariqi,” panggil Putri membuka kamar anaknya.“Bariqi, ibu goreng pisang, nih dimakan!” ujar Putri membawa pisang goreng yang masih mengepul asapnya.“Eh, tumben gajian pakai uang cash,” tambah Putri saat melihat uang di ranjang anaknya.“Ini uang dari Elya,” jawab Bariqi. Putri meletakkan pisang goreng di meja, setelahnya perempuan itu menatap Bariqi bingung.“Kenapa Elya kasih kamu uang?” tanyanya. Bariqi menggelengkan kepalanya.“Bariqi, Elya punya hutang sama kamu?”“Tidak, Bu. Beberapa kali aku membelikan dia bahan makanan, sekarang Elya mengembalikan uangnya padaku,” jawa
Hari sudah berganti, malam yang diguyur hujan deras kini sudah terganti dengan pagi. Suara ayam berkokok membangunkan orang-orang dari tidur lelapnya, bau tanah basah menguar masuk di indra penciuman. Elya keluar dari messnya, gadis itu sudah lengkap memakai pakaian kerjanya. Setelah mengunci messnya, Elya segera berangkat bekerja dengan berjalan kaki. Setiap hari Elya selalu berharap harinya akan lebih baik dari kemarin, meski itu hanya sebuah harapan kecil. Harapan Elya lainnya, semoga dari hari ke hari ia tetap diberikan kesehatan. Di sini Elya bergantung hanya pada dua kakinya sendiri.Perjalanan yang tidak terlalu jauh, kini Elya sampai ke tempat kerjanya. Sebelum memasuki dapur, Elya meletakkan berkas pengunduran diri di meja Manager Food and Baverage service. Setelahnya Elya segera ke dapur untuk memulai pekerjaannya. Di sana sudah ada Vino dan teman-temannya yang lain.“Selamat pagi, Elya,” sapa Vino dengan ramah.“Pagi juga,” jawab Elya mengusung senyum. Dengan cekatan Elya m
“Elya, apa ada masalah sampai kamu ingin keluar dari pekerjaan ini?” tanya Pak Satya menatap Elya dengan lekat.“Gak ada, Pak. Saya hanya ingin keluar dari pekerjaan.”“Apa yang kamu lakukan setelah keluar?”“Tidak ada, saya hanya ingin istirahat,” jawab Elya.“Elya, ada masalah dengan rekan kerja? Kamu bilang saja, saya akan bantu carikan solusi. Bagaimana pun juga, kamu sudah lama bekerja di sini, kami akan merasa kehilangan kalau kamu benar-benar pergi,” ucap Pak Satya.Elya mengangguk-anggukkan kepalanya. Elya juga berat pergi dari perusahaan tempatnya bekerja, ada teman-temannya yang selama ini sudah baik padanya, tetapi Bariqi, Elya sudah berada di titik terendahnya untuk terus menolelir sikap Bariqi kepadanya.“Pak, saya hanya butuh tanda tangan bapak untuk menyetujui pegunduran diri saya. Saya harap Pak Satya mau menandatanganinya,” ujar Elya.“Kalau itu keputusan kamu, saya tidak bisa apa-apa selain membiarkan kamu pergi. Di mana pun nanti kamu bekerja, saya harap kamu bisa b
Elya memeluk tubuh Vino dengan erat, gadis itu menumpahkan seluruh tangisannya pada Vivo. Luis dan Bariqi berdiri, kedua pria itu menatap Elya yang saat ini menangis tersedu-sedu. Bariqi mendengar jelas apa yang diucapkan Elya, Bariqi tebak Elya tengah berbicara dengan ibunya. Selama ini Bariqi tidak pernah tahu apa yang ditanggung Elya, ketika mendengar keluhan Elya, Bariqi sangat iba dengan gadis itu. Gadis yang selalu tertawa, ternyata menyimpan banyak beban yang ditanggung sendiri.Mendapat pelukan dari Elya membuat Vino bingung, kendati demikian, Vino membiarkan Elya menangis. Untuk pertama kalinya Vino melihat Elya yang menangis tersedu-sedu. Setiap hari Vino hanya melihat senyum ceria Elya, saat melihat Elya menangis, perasaan Vino ikut sakit.“Menangislah, tidak apa-apa, Elya,” ucap Vino mengelus punggung Elya dengan pelan.Bariqi mengepalkan tangannya melihat Elya dan Vino berpelukan di depan matanya sendiri. Bariqi ingin memisahkan keduanya, tetapi Pak Edo menarik tangan Bar
Bariqi mendongakkan kepalanya, mengebulkan asap rokok yang keluar dari bibirnya. Saat ini Bariqi dan Pak Edo tengah berada di halaman belakang dapur, di tangan kedua pria beda usia itu tengah terselip batang rokok. Awalnya Bariqi ingin minta maaf pada Elya karena kesalahannya, tetapi rasa amarah kembali hadir di benak Bariqi saat Elya memilih bercerita dengan Vino dari pada dengannya.Tidak mudah mendekati Elya, Bariqi harus bersaing dengan rekan-rekan kokinya yang umurnya di bawahnya. Namun saat Bariqi sudah berhasil mendekati Elya, menghabiskan waktu bersama Elya, tetapi Elya lebih percaya pria lain dari pada dirinya. Harga diri Bariqi yang tinggi merasa diinjak oleh Elya. Selama Elya susah pun, Bariqi selalu memberikan apa kebutuhan gadis itu.“Kenapa kamu kayak mau marah?” Setelah lama terdiam, akhirnya Pak Edo membuka suaranya.“Hah, enggak, Pak,” jawab Bariqi.“Kamu suka ya sama Elya?” tanya Pak Edo.“Kok bisa bapak tanya begitu? Bukankah Pak Edo mau mengenalkan anak Pak Edo pad