Bariqi mendongakkan kepalanya, mengebulkan asap rokok yang keluar dari bibirnya. Saat ini Bariqi dan Pak Edo tengah berada di halaman belakang dapur, di tangan kedua pria beda usia itu tengah terselip batang rokok. Awalnya Bariqi ingin minta maaf pada Elya karena kesalahannya, tetapi rasa amarah kembali hadir di benak Bariqi saat Elya memilih bercerita dengan Vino dari pada dengannya.Tidak mudah mendekati Elya, Bariqi harus bersaing dengan rekan-rekan kokinya yang umurnya di bawahnya. Namun saat Bariqi sudah berhasil mendekati Elya, menghabiskan waktu bersama Elya, tetapi Elya lebih percaya pria lain dari pada dirinya. Harga diri Bariqi yang tinggi merasa diinjak oleh Elya. Selama Elya susah pun, Bariqi selalu memberikan apa kebutuhan gadis itu.“Kenapa kamu kayak mau marah?” Setelah lama terdiam, akhirnya Pak Edo membuka suaranya.“Hah, enggak, Pak,” jawab Bariqi.“Kamu suka ya sama Elya?” tanya Pak Edo.“Kok bisa bapak tanya begitu? Bukankah Pak Edo mau mengenalkan anak Pak Edo pad
Elya, Bariqi dan Vino terdiam di hadapan Pak Prasetya yang kini menatap ketiga pemuda itu dengan tatapan yang menuntut penjelasan. Namun, ketiga pemuda itu diam. Elya tidak bisa menahan air mata yang terus mendesak keluar. Beberapa hari ini Elya merasakan jalan hidup yang ia jalani sangat berat, dan kini harus terlibat kasus begini. Bertengkar dengan rekan kerja saja tidak diperbolehkan, tetapi ini sampai adu jotos.“Ekhem.” Pak Prasetya berdehem pelan. Kini pandangan Prasetya mengarah lurus pada anak semata wayangnya, Bariqi. Bariqi yang ditatap pun memalingkan wajahnya. Enggan memberikan penjelasan.Pak Prasetya, direktur utama sekaligus owner Hotel Sunflowers adalah ayah Bariqi. Bariqi yakin saat pulang nanti, pasti ayahnya akan memarahinya habis-habisan. Meski tidak banyak yang tahu kalau Bariqi anak dari Pak Prasetya, tetapi sikap Bariqi yang seperti ini sangat membuat malu.“Bariqi, ada yang mau kamu jelaskan?” tanya Pak Prasetya.“Tidak ada,” jawab Bariqi. Brak!Elya dan Vino
Elya mengepak seluruh pakaiannya dalam tas besar, gadis itu membawa barang-barangnya tanpa sisa, karena ia yakin ia akan memilih resign saja.Elya sudah berpamitan pada pemilik toko sekaligus Mas Bima. Elya merasa bersalah karena belum apa-apa sudah meninggalkan Mas Bima. Namun, Mas Bima sangat baik, tidak keberatan saat Elya pergi.Elya memakai tas punggungnya, gadis itu menatap seluruh ruangan yang selama ini sudah ia tinggali. Ruangan itu, ruangan yang menjadi saksi kehidupan Elya. Mulai dari dia bahagia, dia sedih bahkan menangis dan meraung pun dia di sana. Tidak mengelak kalau semua kenangan ada di sana. Namun, Elya tidak ingin lagi berada di sana. Elya ingin pergi, sudah cukup ia berada di tempat yang tidak bisa menghargainya.Elya menutup pintunya, meletakkan kunci di kursi karena ibu pemilik mes sedang pergi. Dengan membawa barang-barangnya, Elya pergi meninggalkan tempat itu. Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya, sudah tidak ada yang tersisa lagi di sini, harga di
Bariqi menatap jendela kereta api yang menampilkan kerlap-kerlip lampu jalanan yang ia lewati. Selama dua puluh delapan tahun Bariqi hidup, Bariqi sudah mengenal banyak wanita. Mulai dari wanita baik, polos, naif, dan berbagai jenis sifat lainnya. Namun, ia baru menemukan sosok wanita yang sangat istimewa di hatinya. Wanita itu terlihat biasa saja, tetapi Bariqi tidak bisa jauh-jauh dari wanita itu.Elya Rembulan, gadis yang namanya sudah tertancap permanen di hati Bariqi. Dengan siapapun Bariqi dekat, tetap nama Elya yang terus menjadi pemenangnya. Sekarang, Bariqi harus melepaskan gadis itu. Entah dalam waktu sebentar atau dalam waktu yang lama. Harapan Elya kembali ke Sunflowers sangat sedikit, setelah apa yang ia lakukan, Bariqi tidak tahu pasti apa Elya akan kembali.Bahu Bariqi bergetar, pria itu menangis dalam diam. Bariqi sudah berusaha menengadahkan kepalanya agar tidak ada air mata yang jatuh. Namun, Bariqi sudah tidak mampu lagi, pria itu menangis karena perempuan bernama E
Pukul dua belas malam, seorang gadis dengan bahu bergetar terus berkutat dengan papan gambar yang tersambung dengan laptopnya. Sudah beberapa jam berlalu, tetapi rasa sakit hatinya tidak kunjung reda. Elya terpaksa tetap tinggal di rumah ibunya, lebih tepatnya di kamar samping dapur yang sangat sempit. Elya tidak bisa keluar dari rumah karena hujan kembali turun dengan deras, sedangkan ayahnya juga menahannya untuk tetap di sana.Sudah berjam-jam berlalu, kata maaf tidak kunjung Elya dengar dari bibir adiknya. Kemarahan Elya yang tadi sangat menggebu-gebu, tetapi di sudut hatinya terselip rasa kasihan untuk adiknya itu. Selama ini dia yang mengurus adiknya, dari kecil pun saat ibu dan ayahnya bekerja, mereka meninggalkannya bersama sang adik. Rasa sayang Elya pada Rafa sangat besar. Meski sudah dikecewakan, bodohnya Elya masih mengharap adiknya meminta maaf padanya.Perempuan memang begitu, gampang tidak tega meski sudah disakiti berkali-kali. Ia hanya menampar Rafa, tetapi Rafa memuk
Tiga hari sudah Elya dan Bariqi tidak bertemu. Jangankan bertemu, bertegur sapa saja tidak mereka lakukan. Bariqi merasa sangat tidak bersemangat di setiap harinya. Meski presentase kembalinya Elya bekerja sangat minim, tetapi Bariqi tidak berhenti berharap kalau Elya akan kembali. Setiap saat Bariqi mengecek hpnya, berharap ada pesan yang dikirimkan Elya. Bariqi takut Elya kenapa-napa, Bariqi takut kalau Elya tidak diterima di keluarganya. Perasaan Bariqi tidak enak dan sangat ingin bertolak ke Tulungagung. Namun, ayahnya malah mengancamnya, Ayahnya mengatakan akan memblacklist namanya agar tidak diterima bekerja di mana pun.Sebenarnya blacklist hanya berlaku kalau Bariqi bekerja di dunia kuliner. Kalau pun Bariqi mau bekerja jadi montir pun tidak masalah, Bariqi juga tidak keberatan. Hanya saja ia sudah terlanjur cinta dengan pekerjaannya.Sudah banyak korban yang tidak bersalah mendapat bentakan dari Bariqi. Luis dan Vino lah contohnya. Tidak ada angin tidak ada hujan, dan tidak a
Seorang pria tengah duduk di depan televisi dengan wajah yang tertekuk masam. Pria berkaus hitam itu sudah berada di level marah paling tinggi. Marah pada dirinya sendiri karena sudah membuat Elya pergi. Televisi itu menampilkan kartun kucing dan tikus, salah satu kartun kesukaannya saat kecil. Kendati demikian, Bariqi sama sekali tidak fokus pada kartun itu.“Anak ibu cemberut mulu, gantengnya ilang loh,” goda Putri menoel-noel pipi putra semata wayangnya. Meski Bariqi sudah dewasa, Putri memang suka menggoda anaknya itu seolah anaknya masih kecil.“Apaan sih, Bu,” ketus Bariqi menepis tangan ibunya.“Kenapa? Lagi marah sama siapa?” tanya Putri masih menoel-noel pipi putrnya. Lagi lagi Bariqi menepis tangan ibunya, tidak suka diperlakukan seperti bayi.“Bariqi, ayah dengar banyak yang jadi korban kamu hari ini. Kenapa marah-marah? Kurang sajen?” tanya Prasetya yang ikut duduk di samping anaknya.“Ya kurang sajen sama minyak kemenyan,” jawab Bariqi.“Itu di rumah tetangga ada kembang
“Kita mau kemana?” tanya Elya menatap sahabat baiknya yang saat ini sudah berdandan rapi seraya nangkring di atas motor sportnya.“Jalan-jalan lah. Kamu kan baru pulang dari merantau, ya kali gak menyisihkan waktu buatku yang jadi rebutan para wanita,” jawab Dewa seraya menyugar rambutnya ke atas.Dewa Dirgantara, sahabat baik Elya sejak masa SMP. Berawal dari extra kulikuler basket, kedua orang itu bertemu. Kurang lebih delapan tahun sudah mereka bersahabat, tetapi sudah satu tahun ini mereka jarang bertemu karena pacar Dewa yang sangat possesive.Sudah Elya hapal, saat punya pacar, Dewa akan menjauhinya, tetapi saat tidak punya pacar, Dewa akan kembali padanya. Elya pun sadar diri tidak mau mengganggu sahabatnya.“Pacar kamu kemana?”“Putus,” jawab Dewa.“Putus lagi?” tanya Elya tercekat.“Sekarang buat apa setia kalau bisa bertiga,” jawab Dewa.“Sok ganteng banget.”“Ayo cepat naik, kita jalan-jalan.”“Males ah, capek.”“Tampang boleh pemuda, tapi otot lansia. Cepet!” Dewa menarik