Arinda tampak tenang, ia sedang melakukan pemeriksaan MRI setelah rangkaian pemeriksaan lainnya. Kembali ia datang seorang diri, tanpa ada yang menemani karena memang itu kemauannya. Hasil pemeriksaan kesehatannya juga tak langsung di dapat hari itu, menunggu hingga empat hari paling cepat.
Saat ia diminta beristirahat setelah melakukan MRI, ia termenung, mendadak rasa getir mampir dihatinya. Bukan karena hal lain, tapi, karena saat ia sakit, kedua anaknya tak ada yang bersamanya. Air mata perlahan turun, namun dengan segera ia menghapusnya dengan punggung tangan. Kembali ia mengatur napas lalu menunjukkan sisi kerasnya yang sekuat batu. Jemarinya mengusap layar ponsel, ia membaca satu pesan masuk dari Ghania.
Ghania : “Bunda. Ghania mau kasih kabar, Ghania hamil, udah masuk tujuh minggu. Doain semoga kehamilan Ghania sehat, dan lancar sampai lahiran nanti.&rdqu
Rangga menghadiahkan Aya acara tujuh bulanan yang diadakan di rumahnya, sanak saudara dan teman dekat diundang hadir. Acara berlangsung ramai dan penuh rasa bahagia, hanya minus Arinda yang sudah pasti tak akan muncul. Banyak hadiah diberikan untuk Aya dan calon bayinya yang fix, berjenis kelamin perempuan. Dekorasi di halaman rumah itu serba warna pink dan putih, foto-foto hasil USG empat dimensi bergelantung indah, membuat tamu yang hadir begitu senang melihatnya. Bapak dan Ibu untuk sementara diminta Aya tinggal bersamanya, menempati kamar Sean, Sean sendiri senang bisa tidur bersama kakek dan neneknya. Ibu mengusap perut Aya, terasa bergerak pelan. “Aktif, ‘Nak,” ucap ibu. Aya mengangguk. “Aya, Bapak dan Ibu apa nggak kelamaan kalau di sini, kamu lahiran masih dua bulan lagi, kan?” Ibu yang tak enakan padahal
Arinda mengamuk saat suaminya berkata jika Rangga dan Aya akan menemuinya. Wanita itu menjerit disertai sumpah serapah untuk anak serta menantunya. Adam miris, ia bahkan mendadak menangis atas kondisi istrinya. Kenapa hatinya sekeras itu. Tanpa disadari keduanya, di depan pintu kamar rawat, Rangga dan Aya saling menggenggam, merasa sedih mendengar penolakan Arinda, namun Rangga, merasa memang bundanya keterlaluan. Bukannya sadar diri dengan kondisinya yang sudah sakit, dengan murkanya Arinda menolak kehadiran anak dan menantunya. “Ayo, sayang, kita pergi dari sini. Aku udah bilang kamu, kan, kalau Bunda tetap keras kepala mau sebaik kita menunjukkan sikap dan sekeras apa usaha kita.” Rangga menggenggam jemari Aya sambil berjalan ke arah lift. “Rangga…, tapi dia Bunda, Ibumu, kita nggak bisaa—“ Rangg
Aya sedang merapikan pakaian bayi ke dalam lemari yang sudah disiapkan. Memasuki usia kehamilan minggu ke empat puluh, membuat ia tak bisa aktifitas keluar rumah. Rangga melarang, pun kedua orang tuanya."Ma… ini, Nenek bawain susu kurma untuk Mama," ucap Sean sembari menyerahkan gelas. Aya duduk di tepi ranjang, Sean mengusap perut Aya sembari ia ciumi. "Aurora kapan lahirnya, Ma?" Sean mendongak menatap Aya lekat."Secepatnya. Sean udah nggak sabar mau ketemu Adek, ya?" Jemari tangan Aya menyugar rambut Sean."Iya, Ma. Ma… Sean berangkat les bahasa inggris, ya, ditemenin Kakek. Pak Bagus udah nunggu di depan." Sean meraih tangan kanan Aya, lalu menyalimnya. Tak lupa, Sean mencium pipi Aya."Hati-hati, ya, Nak, i love you, Sean gant
Rangga dan Aya bersuka cita menyambut putri cantik mereka. Sean yang datang bersama kakek begitu bahagia saat melihat Aurora tertidur di gendongan Aya. Sean menciumi lembut wajah adiknya. Rangga ikut duduk di atas ranjang rumah sakit, memangku Sean yang sangat semangat dengan kelahiran adiknya.Pintu kamar rawat terbuka, sosok Adam masuk sembari membawa hadiah terbungkus kertas kado. Rangga menduduk Sean di atas ranjang, ia berjalan cepat memeluk ayahnya yang juga membalas pelukan tak lalah erat."Selamat sudah menjadi seorang Ayah, Rangga. Impianmu berumah tangga, memiliki anak dengan Aya, terwujud." Adam melepaskan pelukan. Rangga mendekat ke ranjang, mengambil alih Aurora supaya ayahnya bisa menggendongnya. Bayi mungil itu berpindah ke lengan Adam yang mendadak mengharu biru.
Rangga berjalan cukup terburu-buru setibanya di rumah sakit. Ia juga segera bergegas ke lantai lima di mana Arinda dirawat. Sebenarnya ia malas, karena sudah terbayang kemurkaan Arinda. Tapi, kali ini akan mencoba, lagi pula Adam meminta ia hadir terkait kondisi bunda dari Rangga itu yang tak sadarkan diri. Pintu kamar terbuka, Adam duduk sembari menggenggam jemari tangan Arinda yang terpasang infus. “Yah,” sapa Rangga. Adam tersenyum, ia meminta Rangga masuk dengan dagunya yang mengangguk. Suara alat terdengar mengiringi telinga putra sulung Arinda. Rangga tak kuasa, tangisnya pecah, melihat keadaan bunda yang menyebabkan perang dingin diantara mereka kini lemah dengan tubuh kurus yang membuat wajah Arinda begitu tirus. Air ma
Arinda membuka kedua matanya perlahan, cahaya lampu kamar ruang rawat yang ia tempati sedikit membuatnya mengerjap pelan karena silau. Adam beranjak, menyadari istrinya membuka mata setelah tiga hari seperti orang koma. Padahal, itu efek obat tidur yang memang diberikan dokter. “Bun…,” sapanya. Arinda menoleh ke kanan, melihat suaminya yang tersenyum dengan tangan membelai surai gelap istrinya. “Akhirnya kamu bangun, mau minum?” tawar Adam. Arinda mengangguk pelan. Adam bergeser ke arah meja, mengambil air di gelas dengan sedotan. Dengan perlahan, ia membantu Arinda minum dengan sedotan. “Pelan-pelan,” bisik Adam pelan. Arinda tampak kehausan, itu sudah pasti. “Jangan tidur lagi, ya, bangun.” Adam menggenggam jemari
Kedua mata Arinda menatap suaminya nanar saat Adam tengah membersihkan tubuh dirinya dengan handuk hangat, menyekanya perlahan karena tangan Arinda masih diperban. “Kenapa lihatinnya kayak gitu, Bun?” Adam melirik seraya tersenyum menatap istrinya. “HPku mana? Apa nggak ada telepon masuk, dari teman-teman aku, Yah?”Arinda menoleh ke arah Adam yang menggelengkan kepala.“Mereka, pembohong. Bilangnya teman, sahabat, disaat aku sakit, mereka menjauh,” dumal Arinda.“Harusnya kamu sadar, teman-teman kamu kualitasnya seperti apa. Dari dulu sudah aku ingatkan, tapi kamu nggak mau dengar. Rin, apa… kamu nggak mau ketemu cucu kita? Aurora?” Adam mencoba terus membujuk. Ari
Tangan Aya dengan lembut menyeka seluruh badan Arinda yang masih tak sadarkan diri, sudah dua hari Arinda dalam keadaan seperti itu. Aya meminta kepada perawat supaya ia yang membersihkan tubuh Arinda dengan perlahan. Hati Aya miris, saat ia mendapatkan kesempatan berbakti kepada ibu mertuanya, namun kondisi bunda dalam keadaan tak sadarkan diri. “Bunda, Aya di sini. Maafin Aya kalau bikin Bunda nggak nyaman karena Aya lakuin ini. Aya… cuma mau berbakti ke Bunda. Maafin Aya ya, Bunda.” Begitu lembut Aya berbicara, ia dengan telaten mengelap juga memotong kuku jari tangan dan kaki Arinda. Dari luar kaca ruang ICU, Ghania yang melihat itu hanya bisa tersenyum. Setelah selesai, Aya segera berjalan keluar ruang ICU, karena Ghania akan masuk ke dalam, juga Aya harus ke kamar Adam. Di sana ada Rangga dengan Aurora yang terpaksa dibawa karena tak bi