“Kami telah menerima hasil pemeriksaan dari rumah sakit. Apakah benar bahwa Anda hanya mengalami benturan pada kepala bagian belakang, sementara istri Anda mendapat luka di hampir sekujur badan?”
Hati Max bergetar mendengar pertanyaan pria yang mengenakan lencana polisi itu. Dengan tangan terkepal erat, ia mengangguk. “Benar.”
“Dan Anda menduga bahwa Nyonya Gabriella terluka lebih parah karena berusaha melindungi kepala Anda?”
Sekali lagi, Max berdeham, mengatasi rasa panas dalam kerongkongannya. “Ya.”
Pria di hadapannya spontan menyipitkan mata dan menegakkan punggung. “Apakah ada alasan yang logis mengapa pelaku tidak memukul badan Anda seperti yang dilakukannya terhadap Nyonya Gabriella?”
Mendapat pertanyaan semacam itu, kedipan Max mendadak kaku. Sebuah pemikiran telah melintas dalam benaknya. “Sepertinya, orang itu mengetahui tentang cedera kepala yang pernah saya alami. Saya sempat gegar otak dan dokter mengimbau agar tidak terjadi
Begitu melihat Max, senyum Gabriella langsung merekah. Meski wajahnya masih pucat, wanita itu merentangkan tangan dengan penuh semangat. “Apakah urusanmu banyak sekali? Aku sudah menunggumu sejak tadi,” ujar Gabriella yang tak sabar menanti sang suami menyambut pelukannya. Sambil mempertahankan lengkung bibir yang tipis, Max mendekap sang istri lalu mengusap punggungnya dengan sangat lembut. “Ya. Aku harus menyelesaikan administrasi rumah sakit dan memberi keterangan kepada polisi,” jawabnya pelan. “Apakah sudah ada kemajuan?” tanya sang wanita sembari mempertemukan pandangan. “Belum,” sahut Max seraya menggeleng samar. Ia merasa sangat berdosa karena harus membohongi istrinya. Sedetik kemudian, pria itu menarik napas cepat. Arah pembicaraan harus segera dialihkan. “Bagaimana kondisimu? Apakah sudah membaik?” tanyanya sembari menyelipkan helaian rambut yang menjuntai ke belakang telinga Gabriella. Tanpa berpikir panjang, sang wa
Dengan penuh perhatian, Max memapah istrinya berjalan menuju toilet. Ketika tiba di depan pintu, wanita itu tersenyum kepadanya. “Yang terluka hanya punggungku, Max. Aku bisa berjalan sendiri,” ujar Gabriella santai. “Tapi kau tetap harus diawasi,” timpal sang pria dengan kerut alis gelisah. Sambil menepuk-nepuk tangan suaminya, sang wanita mengerucutkan bibir. “Aku tidak mau dianggap sebagai perempuan manja. Jadi, biarkan aku melakukannya sendirian. Jika ada apa-apa, aku pasti memanggilmu.” “Tapi—“ “Aku hanya buang air kecil, Max,” ucap Gabriella seraya mengangkat sebelah alis. Setelah menghela napas, sang pria akhirnya melepas tangan istrinya. “Tidak usah mengunci pintu.” Sang wanita pun tertawa kecil dan mengangguk. “Aku akan baik-baik saja,” ujarnya sebelum masuk. Selama beberapa saat, Max berdiri dengan alis berkerut gelisah. Dokter telah menjelaskan bahwa pendarahan masih akan terjadi. Ia benar-benar takut jika Ga
Menyaksikan diamnya sang istri, hati Max semakin merana. Dengan lembut, ditariknya wanita itu ke dalam dekapan. “Ini sama sekali bukan salahmu. Jadi, jangan menghukum dirimu sendiri. Mengerti?” bisik pria yang ketakutan jika ia harus kehilangan istrinya juga. Anehnya, beberapa detik berlalu, Gabriella sama sekali tidak menjawab. Tatapan wanita itu masih menerawang. Matanya yang berkaca-kaca enggan menumpahkan kesedihan. Sesekali, ia mendesah. Namun, tetap tidak ada suara yang terdengar. Hal itu menimbulkan tanda tanya besar bagi sang pria. “Gaby?” panggil Max sembari membelai kepala yang bersandar padanya. Lagi-lagi, hanya isak tangis dirinya sendiri yang terdengar. Sambil melawan sesak dalam dada, pria itu memeriksa ekspresi istrinya. Begitu melihat wajah pucat yang begitu datar, alisnya langsung berkerut melukiskan tanya. “Gaby? Apakah kau baik-baik saja?” Perlahan-lahan, pandangan wanita itu bergeser ke arah sang pria. Ketika mereka s
Ketika pelupuk mata Gabriella mulai bergetar, Max langsung beranjak dari kursi. Dengan lengkung bibir yang menenangkan, ia menyambut istrinya. “Bagaimana keadaanmu, Gaby?” tanyanya sambil membelai wajah yang masih pucat itu. Selama beberapa detik, sang wanita hanya berkedip lambat di bawah kerut alis. Setelah menarik napas panjang, barulah ia menjawab, “Apa yang terjadi?” “Semalam kau demam tinggi, tapi sekarang sudah membaik. Apakah kau pusing?” tanya Max seraya menaikkan alis. “Sedikit,” sahut Gabriella dengan suara serak. “Lalu, apakah punggungmu masih sakit?” Dengan gerak lemah, sang wanita menggeleng. “Sudah jauh lebih baik.” Selang satu embusan napas, senyum sang pria mengembang. Dengan penuh perhatian, ia mengecup kening wanita yang tak pernah lolos dari pandangannya itu. “Kalau begitu, apakah kau mau keluar dari sini?” bisik Max sebelum kembali menunjukkan keceriaan. Mendapat ajakan tak terduga itu, alis
Gabriella berbaring dengan mata sendu tertuju pada matahari terbenam. Napasnya kini setenang lautan. Tidak ada lagi gemuruh yang mencekik kerongkongan. Tekanan yang mengimpit dadanya telah menghilang bersama tangis. “Apakah kau yakin Pangeran Kecil akan segera kembali?” gumam wanita itu sambil terus mendengar detak jantung suaminya. “Ya, tentu saja. Kita tidak benar-benar melepasnya. Dia pasti akan kembali,” sahut Max sambil mengelus rambut Gabriella. “Bagaimana kalau yang kembali adalah jiwa yang berbeda? Kita tidak boleh meminta maaf pada pangeran yang salah,” celetuk sang wanita sebelum mengerutkan alis dan menarik napas berat. Merasakan perubahan pada ritme paru-paru sang istri, Max pun menaikkan alis. “Apakah kau mau mengadakan ritual agar Pangeran Kecil kita tidak tersesat ketika kembali?” Perlahan-lahan, Gabriella mengangkat kepala hingga pandangannya menemukan mata sang suami. “Ritual apa?” Dengan hati-hati, Max membantu wanita
Langkah Max dan Gabriella terhenti ketika mata mereka menangkap bayangan seseorang yang tak terduga. Suasana yang sebelumnya hangat seketika berubah beku. Tidak ada lagi percakapan ataupun desah tawa yang mengudara. Keheningan telah menemani pasangan yang berdiri diam menyambut sang tamu. “Apa kabar, Max?” sapa orang itu dengan sudut bibir yang terangkat kaku. Mendengar nada sok akrab itu, pria yang masih menggandeng tangan istrinya sontak mendengus. “Ada apa kau datang kemari? Apakah kau dikirim oleh ayahmu untuk membunuhku secara langsung?” balasnya sinis. Dengan raut bersalah, tamu yang tidak diundang itu menggeleng. “Bukan begitu. Aku datang ke sini atas kemauanku sendiri.” “Untuk apa?” tanya Max seolah tak mengenal kata ramah. Bukannya mengutarakan maksud kedatangan, pria dengan kerut alis resah itu malah berkedip-kedip mencari keberanian. Lelah menunggu, Max akhirnya menarik tangan sang istri untuk ikut melangkah bersamanya. “Jik
Begitu pintu kamar tertutup rapat, Max akhirnya melepas tangan sang istri. Pria itu terlihat kesulitan mengatur napas. Sesak dalam dada telah menjadi duri bagi jantungnya. “Max, apakah kau baik-baik saja?” tanya Gabriella dengan penuh keraguan. Bahkan, tangannya pun maju mundur hendak menyentuh lengan sang suami. Setelah membasahi kerongkongannya yang gersang dan mendongak menahan air mata, pria itu menarik napas cepat. “Rasanya sakit sekali, Gaby,” sahutnya sambil memukul dada, berharap jika paru-paru dapat kembali normal. Malangnya, udara di sekitar malah semakin berat, mendesak kesedihan untuk tumpah dari pelupuknya. “Kita sudah menjauh dari mereka, tapi kenapa mereka malah meminta kita kembali dengan alasan yang tidak masuk akal seperti itu? Apakah mereka tidak bisa membiarkan kita hidup damai?” “Max,” desah Gabriella dengan mata yang ikut berkaca-kaca. Wanita itu dapat merasakan kesakitan suaminya. Sang pria telah bersusah payah menata hati yang
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Gabriella sembari mengintip pekerjaan suaminya. Mendapat perhatian dari sang istri, pria yang semula mengerutkan alis pun langsung tersenyum. “Mengurusi hal-hal yang sempat tertunda,” sahut Max sebelum mengecup kening istrinya. “Ada apa?” Bibir sang wanita perlahan mengerucut. “Bisakah kau meninggalkan pekerjaanmu lagi hari ini? Mia sedang berada di sini. Bagaimana kalau kita mengajaknya berjalan-jalan? Itu akan menyenangkan.” Hanya dalam sekejap, lengkung bibir Max berubah kaku. Setelah memiringkan kepala, ia menyipitkan mata. “Apakah dia yang mengusulkan ide ini kepadamu?” “Kenapa kau jadi mudah curiga seperti ini? Tentu saja tidak. Ini sepenuhnya ideku. Kasihan dia jika jauh-jauh datang kemari hanya untuk memasak,” celetuk Gabriella dengan tampang lugu. Melihat kejujuran di mata sang istri, sang pria sontak bersandar di kursi dan mendesah. “Memangnya, kau mau mengajaknya ke mana?” Bola ma